Salah satu pulau legendaris yang kini dikelola menjadi destinasi wisata menarik di Provinsi Fujian, Tiongkok adalah Pulau Gulangyu.
M.RIDWAN – CANDRA GUPTA, Fujian
BANDUL jam saat itu (3/5) menunjukkan pukul 13.30 ketika rombongan tiba di pelabuhan penyeberangan sebuah kota di pesisir Xiamen, Provinsi Fujian, Tiongkok.
Karena bus yang membawa rombongan tak bisa langsung menurunkan penumpang di depan pelabuahan, maka rombongan harus jalan kaki sekitar 1,5 kilometer.
Tak lupa sebelum menyeberang ke Pulau Gulangyu semua harus menyerahkan paspor sebagai turis kepada petugas pelabuhan. Syukurnya, semua berjalan lancar karena sudah ditangani oleh tim profesional lapangan.
Meski kota pesisir tapi penataan taman kotanya asri, hijau, dan indah. Di setiap sudut jalan terlihat warna-warni bunga.
Tidak sampai 10 menit kapal fery yang memuat sekitar 500 hingga 1.000 penumpang sudah sandar di Pelabuhan pulau kecil dengan luas 2 km2 bernama Gulangyu.
Begitu turun dari kapal, terlihat ribuan wisatawan sudah menyemut. Umumnya, wisatawan domestik dari berbagai provinsi lain di Tiongkok.
Seorang pemandu langsung mengajak ke sebuah vila memberikan penjelasan tentang denah dan monografi Pulau Gulangyu.
Pulau ini menjadi terkenal karena masyarakatnya hingga kini tetap mempertahankan nilai sejarah di pulau yang berpenduduk sekitar 20 ribu lebih ini.
Bukan hanya itu, Pulau Gulangyu menjadi tanah konsesi kaum imperialis selama bertahun-tahun.
Bahkan, puncaknya pulau ini menjadi arena medan tempur perang candu di Tiongkok, di mana penjajah Inggris saat itu
memaksa rakyat Tiongkok membeli candu (opium) di abad 18 silam pasca perjanjian Nanking, pada 29 Agustus 1842.
Perjanjian itu dianggap tidak adil karena merugikan Tiongkok, hingga kemudian memicu perang candu.
Tidak tanggung-tanggung. Pulau kecil ini tercatat pernah menjadi rebutan 13 negara penjajah. Antara lain, Inggris, Perancis, Belanda, dan Jepang.
Tak heran jika kemudian pulau ini disebut sebagai tanah konsesi. Hingga kini masih terdapat kantor konsulat sejumlah negara termasuk gereja, meski tak ditempati lagi.
Bangunan-bangunan sisa kolonial tersebut kini dimanfaatkan sebagai museum yang dikelola menjadi destinasi wisata menarik oleh masyarakat setempat.
“Jutaan orang datang silih berganti ke pulau ini setiap hari,” sebut Prof. Cai Jincheng alias Profesor Gunawan, yang mendampingi rombongan.
Tidak ada transportasi khusus untuk mengitari pulau ini. Semua wisatawan yang datang jalan kaki mengitari sudut-sudut perkampungan yang mempertahankan bangunan lama ini.
Di sejumlah sudut terlihat banyak orang membuka lapak, menjual penganan dan buah-buahan segar.
Sebagian besar penduduknya juga membuka usaha, termasuk menjual hasil laut. Nyaris tak ditemukan mobil, melainkan sepeda gayung yang banyak disewakan.
Meski begitu, cara transaksi masyarakat Tiongkok sudah sangat modern meski hidup di pulau kuno.
Bahkan, membeli mangga iris pun transaksinya mengguakan uang elektronik. Yaitu, dengan aplikasi Wechat yang sudah di top up.
“Di sini sangat jarang orang belanja dengan uang tunai, sebab uang elektronik jauh lebih aman,” ujar Ten Jun, seorang pedagang mangga dengan bahasa Mandarin yang kemudian diterjemahkan.
Namun, sebagian orang—umumnya orang tua masih lebih suka belanja dengan uang tunai. “Saya karena sudah umur lebih suka pakai uang tunai jika belanja, karena takut salah ketik angka kalau di handphone,” celoteh Prof. Gun.
Setelah agak letih menyusuri jalan, seluas gang, rombongan lalu diajak ke sebuah bangunan yang letaknya di atas bukit.
Itulah sebuah museum piano paling kesohor di Negeri Tirai Bambu ini. Ada puluhan piano kuno yang dikoleksi di museum ini.
Seorang pemandu lalu memaparkan ikhwal museum legendaris ini. “Ini piano peninggalan tahun 1820 yang dibuat serba dengan kayu,
namun piano ini nada suaranya tak stabil karena dibuat dengan cara manual dan tradisional,” ujar Prof. Gunawan yang menerjemahkan penjelasan sang pemandu.
Lama kelamaan kata dia, kaum imperialis yang suka mengiringi musik di gereja membuat piano dengan modifikasi kayu dan besi baja.
“Piano modifikasi kayu dan baja ini mampu menghasilkan gaung resonansi suara yang lebih indah didengar,” tukasnya.
Menariknya salah satu di antara yang dikoleksi, ada piano yang pernah digunakan oleh pemimpin perang Perancis, Napoleon Bonaparte pada tahun 1868.
Koleksi piano yang paling terakhir dibuat tahun 1977, merupakan sumbangan orang kaya di Tiongkok.
Yang membuat decak kagum wisatawan, sang pemandu lalu meminta seorang pianis memainkan salah satu piano. Dengan lihainya sang pianis memainkan nada-nada indah.
“Banyak orang Gulangyu ini mahir memainkan piano hingga kini berkat diajari kaum penjajah di masa lampau,” ujar Prof. Gunawan.
Saking legendarisnya piano itu, hingga bangunan Pelabuhan Gulangyu pun dibentuk persis piano.
Konsep wisatanya lanjut Prof. Gunawan, memadukan unsur sejarah dengan pola modern tanpa merusak nilai-nilai lokal.
Itulah katanya, mengapa tanpa mengenal hari jutaan wisatawan datang ke pulau tanah konsesi ini.
“Banyak di antara wisatawan yang datang melakukan pre wedding di Pulau Gulangyu, ini,” pungkas Prof. Gunawan. (*/bersambung)