27.8 C
Jakarta
12 Desember 2024, 1:14 AM WIB

Sepupu Gusti Ngurah Rai, Nama Alias Werkudoro, Tinggalkan Catatan

I Gusti Ngurah Raka,  adalah figur kawan seperjuangan sekaligus sepupu pahlawan nasional, Brigjen Anumerta I Gusti Ngurah Rai. Sabtu lalu (16/9), mendiang berpulang, meninggalkan sejumlah catatan era perjuangan.

 

 

DWIJA PUTRA, Mangupura

PEKAK (kakek) yang veteran asal Puri Carangsari, Petang, Badung, ini tutup usia pada umur 92 tahun. Semasa hidup mendiang terkenal disiplin dan keras dalam mendidik.

Senin kemarin (18/9) Jawa Pos Radar Bali ini bertandang ke rumah duka pria kelahiran tahun 1925 ini di Carangsari. Jaraknya sekitar 19 kilometer dari Puspem Badung dan memakan waktu sekitar sejam. 

Saat memasuki rumah duka, sudah tampak para anak, cucu dan juga sanak keluarganya, yang berkumpul di dalam rumah. Suasana duka masih terasa.

Seperti diketahui, mendiang Ngurah Raka ini memiliki empat istri. Yakni mendiang I Gusti Ayu Raka Isma (putri I Gusti Ngurah Putra), Jro Jempiring, Jro Nyoman Wati, dan Jro Nyiman Puspa.

Beliau meninggalkan 14 anak, yang terdiri dari 10 putra dan empat putri. Mereka adalah AA Kurniati, AA Ngurah Wira Negara, AA Supadmi, AA Sutini, AA Ngurah Sutapa, AA Ngurah Suarka, AA Ngurah Widya Putra, AA Ngurah Suta Wijaya, AA Ngurah Suwitra, AA Ngurah Suarjaya, AA Ngurah Raka Sukadana, AA Ngurah Swasti, AA Ngurah Sukamara, AA Ngurah Suka Eling.

Selain itu mendiang juga meninggalkan 40 cucu, dan 12 cicit. I Gusti Ngurah Raka  sebagai penglingsir Puri Agung Carangsari, dalam berperang sempat sebagai pimpinan atau komandan staf I Arjuna Selatan, pasukan gerilya perang kemerdekaan 1946, dengan tanda jasa yakni bintang gerilya, bintang kemerdekaan.

Tidak hanya itu, pasca kemerdekaan beliau sempat jadi perbekel Desa Carangsari selama 26 tahun, yakni 1951 hingga 1977. Dia juga sebagai mantan anggota DPRD Badung dan ketua LVRI Cabang Petang.

Kepergian pejuang kelahiran 1925 silam tersebut menyisakan kenangan mendalam bagi keluarga.

Pasalnya, semasa hidup I Gusti Ngurah Raka dikenal dengan ketegasannya. Orang yang menjaga integritas.

“Tidak ada yang berani sama beliau. Beliau dikenal sangat tegas, baik di lingkungan keluarga maupun di masyarakat,” ujar putranya, AA Ngurah Wira Negara, didampingi saudaranya, AA Ngurah Suarka, AA Ngurah Widya Putra, serta sejumlah kerabat dan cucu almarhum, kemarin.

Dia dikenal sebagai salah satu pejuang yang tersisa saat perlawanan melawan penjajahan Jepang, 1942, silam.

Selama perjuangan itu, beliau adalah salah satu tokoh penting. Khususnya dalam menghimpun masyarakat Carangsari untuk menentang penjajah.

Jabatannya adalah komandan staf I Arjuna Selatan Pasukan Gerilya dalam Perang Kemerdekaan tahun 1946.

Menariknya, almarhum yang dikenal dengan nama samaran Werkudoro (nama lain dari tokoh Bima dari epos Pandawa, dalam kitab Mahabharata) meninggalkan sebuah catatan yang tak diketahui waktu pembuatannya.

Catatan di atas lembaran buku gambar tersebut berisi tentang sekelumit kisahnya. Antara lain saat hendak melakukan penyerangan ke tangsi Jepang di daerah Baha, Mengwi, Badung.

Dalam catatan yang baru ditemukan setelah beliau meninggal tersebut disebutkan sejumlah tokoh, seperti I Gusti Ngurah Putra (mertua sekaligus pejuang yang meninggal di Pelaga, Petang), I Gusti Nyoman Sregeg (saudara almarhum), I Gusti Ngurah Anom Pacung (adik I Gusti Ngurah Rai). Juga  I Gusti Ngurah Raka (saudara almarhum dari Saren Kauh).

“Intinya, beliau menulis, sempat mengumpulkan masyarakat untuk sama-sama bersumpah tidak akan membocorkan rahasia pergerakan pada zaman itu yang dipimpin oleh Pak Rai (I Gusti Ngurah Rai). Yang berani membocorkan agar dikutuk Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa dan dibunuh oleh kawan seperjuangan,” timpal   AA Ngurah Widya.

Selanjutnya, ketiga tokoh tersebut, yakni I Gusti Ngurah Rai, I Gusti Ngurah Anom Pacung, dan almarhum disebut sebagai Tri Tunggal, karena Ngurah Rai merupakan tokoh di tingkat Sunda Kecil, Anom Pacung, di tingkat daerah tingkat II Badung.

Sedangkan almarhum di tingkat desa.  Karena dulu dalam penyusunan strategi, pejuang kebanyakan memilih lokasi di desa.

“Jadi beliau bertiga memiliki peran yang sama dalam perjuangan. Hanya saja di tingkat berbeda, namun tetap menjadi satu-kesatuan,”  jelas AA Ngurah Suarka.

Pun begitu,  almarhum I Gusti Ngurah Raka waktu semasa hidupnya kerap memberikan pesan kepada anak-anaknya, agar senantiasa menekankan soal persatuan.

“Semboyan Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh, itu sering ditekankan beliau. Khususnya di keluarga. Beliau meminta agar kami senantiasa rukun dan menjaga persatuan, ” tambah AA Ngurah Wira Negara.

Seperti diketahui, rencananya jenazah almarhum akan dimandikan pada 29 September mendatang. Lantas disemayamkan hingga pelebon (diperabukan) 20 Desember 2017 mendatang. 

“Intinya kami mohon doa agar atma beliau amor ring acintya (bersatu dengan-Nya),” pungkasnya.

I Gusti Ngurah Raka,  adalah figur kawan seperjuangan sekaligus sepupu pahlawan nasional, Brigjen Anumerta I Gusti Ngurah Rai. Sabtu lalu (16/9), mendiang berpulang, meninggalkan sejumlah catatan era perjuangan.

 

 

DWIJA PUTRA, Mangupura

PEKAK (kakek) yang veteran asal Puri Carangsari, Petang, Badung, ini tutup usia pada umur 92 tahun. Semasa hidup mendiang terkenal disiplin dan keras dalam mendidik.

Senin kemarin (18/9) Jawa Pos Radar Bali ini bertandang ke rumah duka pria kelahiran tahun 1925 ini di Carangsari. Jaraknya sekitar 19 kilometer dari Puspem Badung dan memakan waktu sekitar sejam. 

Saat memasuki rumah duka, sudah tampak para anak, cucu dan juga sanak keluarganya, yang berkumpul di dalam rumah. Suasana duka masih terasa.

Seperti diketahui, mendiang Ngurah Raka ini memiliki empat istri. Yakni mendiang I Gusti Ayu Raka Isma (putri I Gusti Ngurah Putra), Jro Jempiring, Jro Nyoman Wati, dan Jro Nyiman Puspa.

Beliau meninggalkan 14 anak, yang terdiri dari 10 putra dan empat putri. Mereka adalah AA Kurniati, AA Ngurah Wira Negara, AA Supadmi, AA Sutini, AA Ngurah Sutapa, AA Ngurah Suarka, AA Ngurah Widya Putra, AA Ngurah Suta Wijaya, AA Ngurah Suwitra, AA Ngurah Suarjaya, AA Ngurah Raka Sukadana, AA Ngurah Swasti, AA Ngurah Sukamara, AA Ngurah Suka Eling.

Selain itu mendiang juga meninggalkan 40 cucu, dan 12 cicit. I Gusti Ngurah Raka  sebagai penglingsir Puri Agung Carangsari, dalam berperang sempat sebagai pimpinan atau komandan staf I Arjuna Selatan, pasukan gerilya perang kemerdekaan 1946, dengan tanda jasa yakni bintang gerilya, bintang kemerdekaan.

Tidak hanya itu, pasca kemerdekaan beliau sempat jadi perbekel Desa Carangsari selama 26 tahun, yakni 1951 hingga 1977. Dia juga sebagai mantan anggota DPRD Badung dan ketua LVRI Cabang Petang.

Kepergian pejuang kelahiran 1925 silam tersebut menyisakan kenangan mendalam bagi keluarga.

Pasalnya, semasa hidup I Gusti Ngurah Raka dikenal dengan ketegasannya. Orang yang menjaga integritas.

“Tidak ada yang berani sama beliau. Beliau dikenal sangat tegas, baik di lingkungan keluarga maupun di masyarakat,” ujar putranya, AA Ngurah Wira Negara, didampingi saudaranya, AA Ngurah Suarka, AA Ngurah Widya Putra, serta sejumlah kerabat dan cucu almarhum, kemarin.

Dia dikenal sebagai salah satu pejuang yang tersisa saat perlawanan melawan penjajahan Jepang, 1942, silam.

Selama perjuangan itu, beliau adalah salah satu tokoh penting. Khususnya dalam menghimpun masyarakat Carangsari untuk menentang penjajah.

Jabatannya adalah komandan staf I Arjuna Selatan Pasukan Gerilya dalam Perang Kemerdekaan tahun 1946.

Menariknya, almarhum yang dikenal dengan nama samaran Werkudoro (nama lain dari tokoh Bima dari epos Pandawa, dalam kitab Mahabharata) meninggalkan sebuah catatan yang tak diketahui waktu pembuatannya.

Catatan di atas lembaran buku gambar tersebut berisi tentang sekelumit kisahnya. Antara lain saat hendak melakukan penyerangan ke tangsi Jepang di daerah Baha, Mengwi, Badung.

Dalam catatan yang baru ditemukan setelah beliau meninggal tersebut disebutkan sejumlah tokoh, seperti I Gusti Ngurah Putra (mertua sekaligus pejuang yang meninggal di Pelaga, Petang), I Gusti Nyoman Sregeg (saudara almarhum), I Gusti Ngurah Anom Pacung (adik I Gusti Ngurah Rai). Juga  I Gusti Ngurah Raka (saudara almarhum dari Saren Kauh).

“Intinya, beliau menulis, sempat mengumpulkan masyarakat untuk sama-sama bersumpah tidak akan membocorkan rahasia pergerakan pada zaman itu yang dipimpin oleh Pak Rai (I Gusti Ngurah Rai). Yang berani membocorkan agar dikutuk Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa dan dibunuh oleh kawan seperjuangan,” timpal   AA Ngurah Widya.

Selanjutnya, ketiga tokoh tersebut, yakni I Gusti Ngurah Rai, I Gusti Ngurah Anom Pacung, dan almarhum disebut sebagai Tri Tunggal, karena Ngurah Rai merupakan tokoh di tingkat Sunda Kecil, Anom Pacung, di tingkat daerah tingkat II Badung.

Sedangkan almarhum di tingkat desa.  Karena dulu dalam penyusunan strategi, pejuang kebanyakan memilih lokasi di desa.

“Jadi beliau bertiga memiliki peran yang sama dalam perjuangan. Hanya saja di tingkat berbeda, namun tetap menjadi satu-kesatuan,”  jelas AA Ngurah Suarka.

Pun begitu,  almarhum I Gusti Ngurah Raka waktu semasa hidupnya kerap memberikan pesan kepada anak-anaknya, agar senantiasa menekankan soal persatuan.

“Semboyan Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh, itu sering ditekankan beliau. Khususnya di keluarga. Beliau meminta agar kami senantiasa rukun dan menjaga persatuan, ” tambah AA Ngurah Wira Negara.

Seperti diketahui, rencananya jenazah almarhum akan dimandikan pada 29 September mendatang. Lantas disemayamkan hingga pelebon (diperabukan) 20 Desember 2017 mendatang. 

“Intinya kami mohon doa agar atma beliau amor ring acintya (bersatu dengan-Nya),” pungkasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/