Produk dodol biasanya menggunakan buah sebagai penentu rasa. Entah itu nangka atau durian. Namun Kelompok Wanita Tani (KWT) di Buleleng mengolah sayuran menjadi bahan dasar penentu rasa. Seperti apa rasanya?
EKA PRASETYA, Singaraja
TAMAN Kota Singaraja, Jumat (14/6) lalu terlihat riuh. Pagi itu, para pegawai tengah melakukan kegiatan krida rutin yang digelar tiap Jumat.
Bedanya, acara tersebut terlihat lebih ramai karena tengah dilangsungkan Pasar Pangan Lokal. Usai krida, para pegawai pun tak langsung kembali ke kantor.
Mereka menyempatkan diri melihat produk-produk yang dijajakan di pasar yang dihelat sebulan sekali itu.
Sejumlah Kelompok Wanita Tani (KWT) pun menghadirkan produk olahan pangan tersebut. Produknya bermacam-macam.
Mulai dari tuak manis, buah-buahan, gula aren, produk olahan tanaman obat, hingga kripik. Salah satu produk yang menarik ialah dodol berbahan dasar terong ungu dan tomat.
Hal ini cukup unik, mengingat dodol biasanya menggunakan unsur buah-buahan sebagai perasa. Produk dodol terong ungu dan tomat itu dibuat KWT Praja Putri dari Desa Tinga-Tinga Kecamatan Gerokgak.
Para wanita di kelompok itu sengaja membuat dodol tersebut, untuk meningkatkan kegemaran masyarakat mengonsumsi sayur mayur.
Proses pembuatannya pun tak jauh berbeda, seperti membuat dodol pada umumnya. “Prosesnya sama saja. Cuma bedanya kita campur adonan ketan itu dengan sayur mayur.
Biasanya kan buah. Kami pakai perbandingan 1:1,5. Artinya kalau ketannya 1 kilogram, sayurnya 1,5 kilogram. Kalau ketan 2 kilogram, sayurnya 3 kilogram,” kata Ketua KWT Praja Putri Gusti Ayu Putu Armini.
Menurutnya terong maupun tomat yang digunakan sebagai bahan dasar, merupakan sayur yang sudah siap dipanen.
Armini menyebut upaya diversifikasi produk itu diharapkan bisa memberikan keuntungan tambahan bagi keluarga petani. Mengingat harga komoditas itu cukup murah. Hanya Rp 4ribu per kilogram.
Sementara bila diolah menjadi produk pangan, harganya relatif tinggi. Harganya bisa mencapai Rp 30ribu per kilogram.
Armini menjamin dodol yang dijual itu, tahan cukup lama. Produk itu bisa bertahan selama 20 hari. “Sebelum packingkami jemur dulu. Setelah itu baru kami bungkus dengan kulit jagung,” jelasnya.
Sementara itu Kepala Dinas Ketahanan Pangan Buleleng Nyoman Surya Temaja mengatakan, pihaknya memang terus mendorong KWT menghasilkan produk olahan.
Upaya itu diharapkan bisa menambah nilai komoditas pangan, terutama di tingkat petani. “Kami juga sudah libatkan sejumlah pihak untuk melakukan pembinaan pada KWT ini.
Sehingga produknya tidak monoton dan selalu berinovasi sesuai potensi yang ada di sana,” katanya.
Selain itu, Dinas Ketahanan Pangan juga mendorong KWT menggali produk-produk pangan alternatif.
Sehingga produk olahan yang dihasilkan, tak melulu menggunakan beras sebagai bahan dasar. (*)