Distribusi kain tenun Troso Jepara punya jalur khusus untuk tersebar di Bali. Jalur perdagangan itu muncul karena tuntutan pasar yang menghendaki harga kompetitif.
HARI PUSPITA, Jepara
PRODUKSI tenun Jepara yang melimpah dari tahun ke tahun membutuhkan pasar tetap untuk sampai ke tangan pembeli.
Bali jadi pasar utama kain tenun Troso, karena sejauh ini Bali mampu menampung berapa pun kemampuan produksi kain tenun dari Jepara itu.
Dalam perkembangan setelah sekian tahun, posisi Bali sebagai pasar utama itu berlangsung hingga saat ini. Maka ada beberapa pihak di Bali yang berperan sebagai pengepul.
Mereka mengumpulkan kain dari Pecangaan itu untuk beredar di Bali. Sebagian beredar juga ke Pasar Kumbasari, Denpasar. Juga ke beberapa gerai kain tenun di kabupaten lainnya di penjuru Pulau Dewata ini.
Pusat pengepul itu berada di Klungkung. Tepatnya di Pasar Seni. ”Sejak lama itu kain tenun dari sini mangkal dulu di Klungkung, baru beredar ke seluruh Bali,” ungkap Anton Budi Raharjo.
Jawa Pos Radar Bali menelusuri ke Klungkung, hari Rabu lalu (24/12). Tepatnya di Pasar Seni Klungkung, seberang Kertagosa.
Salah seorang pedagang kain di sini adalah Ni Ketut Wiratni. Dadong (nenek) nan energik di usia 85 tahun ini mengaku sudah puluhan tahun jualan kain tenun di situ.
Nama tokonya pun memakai nama dirinya. Toko “Wiratni”. “Saya ini dikaruniai umur panjang. Dari zaman Belanda, Jepang,
zaman Bung Karno, Pak Harto sampai zaman Jokowi. Ya, tetap jualan kain ini,” tuturnya. “Dari jualan kain begini saya bisa kuliahkan anak ke Surabaya,” imbuhnya.
Menurutnya, kain tenun dan batik yang dijual di Pasar Seni Klungkung ini segala macam jenis ada. “Dari yang tenun asli Bali, tenun Lombok, Bima sampai kain buatan Singapura ada,” jelasnya.
“Kalau kain tenun Japara (dia menyebutnya Japara, bukan Jepara) ya jelas ada. Batik Solo, Pekalongan, semua ada. Paling lengkap di sini.
Orang Denpasar juga banyak ambil dari sini,” terang perempuan yang mengaku bisa berumur panjang karena anti makanan modern macam minuman bersoda, mi instan, fried chicken ini.
Sejak kapan poros perdagangan itu muncul? Tak jelas pastinya kapan. Tapi, diperkirakan sejak permintaan kain itu ke Bali semakin meningkat, di era 1970-an.
“Kalau mulai tahun berapa kain tenun Japara masuk sini, saya tidak tahu. Tapi sudah beberapa tahun lalu. Saya punya dua orang penjual yang biasa setor kain ke sini. Bayarnya boleh belakangan,” akunya.
Sama seperti penuturan Anton, pola penjualan di sini model nitip barang terlebih dulu, bila sudah kenal. Kalau sudah ada uang, baru dibayar. Saling menjaga kepercayaan.
“Sekarang sedang sepi. Biasanya bulan kapat (keempat), lima (kalender Bali ), baru ramai. Kalau bulan puasa, mau Lebaran juga ramai,” ungkap ibu lima anak yang sekarang bisnis kainnya dilanjutkan anaknya ini.
Sejauh ini, bila sudah ada jaringan di Bali , maka kain produksi Pecangaan itu akan terus menerus diproduksi dan diedarkan.
Cara pembayarannya pun tidak harus kontan. Tapi bisa dengan cara konsinyasi. Kalau barang sudah laku terjual, baru dibayar.
“Saya sendiri punya rekanan bisnis di Bali . Namanya Bu Nengah,” imbuhnya. Sepanjang tidak ada masalah pelunasan, bisnis itu pun lancar saja.
Pengusaha muda yang punya bakat dagang lantaran keturunan dari keluarga yang menekuni usaha serupa ini tetap eksis dengan usaha tenun Troso karena memang sudah menguasai manajemen usaha hingga peralatannya.
Jadi tidak saja piawai mengurus distribusi, penjualan kain, tapi juga tahu dan hafal mesin tenun. Adanya sikap saling percaya antara pengusaha
kain tenun Jepara dan Bali ini menurutnya terjalin sejak dulu sampai sekarang. “Ya, sejak kain tenun booming tahun 1970-an itu,” akunya.(*)
…