28.2 C
Jakarta
3 September 2024, 22:43 PM WIB

Simbiosis Berjalan karena Saling Menguntungkan

Motif kain endek yang berkembang di Jepara memang tidak lepas dari hubungan perdagangan dengan Bali. Begitu booming orderan sejak tahun 1970-an, tuntutan menambah produksi pun naik drastis.

 

HARI PUSPITA, Jepara

TRADISI tenun di Desa Troso, Pecangaan, Jepara memang diyakini sudah berlangsung selama ratusan tahun silam.

Biasanya mereka mengatakan bahwa menenun adalah warisan turun temurun. Dan, mereka tidak tahu pasti sejak kapan kebiasaan tenun Troso itu dilakukan di keluarganya.

“Ini sudah dilakukan dari zaman kakek saya dan kakeknya lagi,” ujar Anton Budi Raharjo,33, warga setempat, yang pengusaha kain tenun Troso, ini.

Dikatakan bahwa tradisi tenun itu sudah mendarah daging karena merupakan pemandangan yang biasa dilihat dari kecil.

Katanya, dari kecil anak-anak Troso sudah terbiasa melihat orang memintal benang, mewarnai benang, hingga menenun benang menjadi kain. “Makanya rata-rata semuanya bisa mengerjakan (tenun) di sini,” jelasnya.

Kemampuan kreasi para perajin kain tenun Troso juga bisa dikatakan merata. Mereka terbiasa mengerjakan tenun dengan motif apa pun sesuai pesanan.

“Ibaratnya perajin tenun sini itu cuma melihat saja, keesokannya sudah bisa melihat. Jadi, kemampuannya bisa dikatakan sama,” terang Anton,

yang lulusan Sekolah Tinggi Ekonomi Nahdhatul Ulama (STIENU), yang sekarang berubah nama menjadi Universitas Nahdhatul Ulama (Unisnu) Jepara ini.

Kerajinan tenun bisa lestari berkembang karena menurutnya lebih sederhana daripada kerajinan ukir yang sama-sama tumbuh di Jepara.

“Kalau seni ukir itu untuk mendapatkan uang kan lebih lama. Soalnya ukiran itu lebih rumit. Kalau menenun lebih cepat dapat uang karena lebih cepat selesai. Makanya yang belajar kerajinan tenun lebih banyak di sini,” begitu, menurutnya.

Sementara menurut Sunarto, ekspansi pasar produk tenun Troso itu mulai booming sejak tahun 1970-an.

Ini setelah pengusaha setempat, yakni Haji Husein atau biasa dipanggil Kaji Kusen mendapat order dari Bali dan mengajak tetangga-tetangganya untuk turut berproduksi.

Jepara yang punya basic usaha tenun sejak ratusan tahun silam, sebagaimana Bali, begitu mendapat order besar pun langsung bergairah industri rumahnya.

Maklum, order dalam jumlah besar dari Bali lazimnya memang memakai batas waktu atau tenggat  pengerjaan. Jadi tidak bisa sesukanya dalam memenuhi orderan. Ada deadline-nya.

“Karena kalau order banyak, dikerjakan sendiri, itu biasanya nggak sanggup. Akhirnya dikerjakan dengan beramai-ramai, untuk memenuhi produksi,” jelasnya.

Terkait peranti menenun, di Troso memang sangat inovatif. Mereka tidak puas begitu saja dengan peranti tenun yang sudah ada.

Tapi, selalu mencari jalan keluar agar tercipta alat tenun yang bisa memproduksi kain tenun lebih cepat.

Untuk itu biasanya mereka memantau perkembangan perajin tenun di daerah lain, di Jawa Tengah. Misalnya di Solo dan Pekalongan.

Peranti tenun itu yang sekiranya ada bagian yang bisa memakai perangkat elektronik, pakai listrik, tenaganya akan diganti dengan listrik.

”Makanya kami bisa memproduksi lebih banyak, daripada penenun kain di Bali ,” tandas Anton. Malah menurutnya, peranti tenunnya ada yang meniru mesin tenun tradisional Jepang.

Dia memperlihatkan mesin tenun tradisional Jepang yang sudah menggunakan beberapa bagi mekanik yang sudah elektronik atau memakai mesin.

“Tapi, tetap tenun tradisional namanya. Meskipun Jepang telah memodifikasi alat tenun,” ungkap Anton, seraya memperlihatkan bagian mana dari mesin tenun miliknya yang sudah memakai sarana peralatan elektronik.

Sejak itulah produksi tenun Troso masuk pasar Bali sampai sekarang. Ini terjadi karena memenuhi order dari Bali tersebut. 

“Soal motif, kami memang menerima pesanan motif dari sana. Tapi, juga sebagian memakai motif kami sendiri,” jelasnya.

Jadi, hubungan yang muncul antara Troso, Jepara, dengan Bali   saat ini adalah simbiosis mutualisme. Sebuah kerjasama yang saling menguntungkan kedua belah pihak.

“Bali dapat kain dalam jumlah banyak, Troso yang bisa berproduksi melimpah punya pasar. Itu yang terjadi,” terang  Ihran Fais, ketua Asttika.

Beberapa terobosan pun dilakukan untuk meningkatkan penjualan kain. Seperti memanfaatkan ketenaran tokoh untuk mengenakan kain tenunnya.

Dengan cara itu beberapa desain atau motif baru bisa dikenal luas, lantaran orang yang mengenakan sering jadi pemberitaan media. Baik cetak maupun elektronik.

Dengan dipakai tokoh yang sedang populer, maka ibaratnya jadi iklan gratis jenis model busana maupun motifnya. Biasanya ini berpengaruh juga terhadap permintaan pasar.

Beberapa yang disebut pernah mengenakan baju dengan motif tenun Troso adalah Susno Duadji dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) semasa masih menjabat sebagai presiden.

“Dengan dikenakan tokoh, biasanya model baju, model motif itu semakin dikenal luas dan semakin dicari masyarakat,” tutur Ihran.

Jadi, tidak perlu memakai bintang iklan yang harus memperkenalkan produk-produk tenun troso tersebut. Tapi, dengan memanfaatkan pejabat publik untuk mengenakannya.

Tentu saja cara ini gampang-gampang susah. Harus ada yang punya kekuatan lobi untuk pendekatan. Sehingga bisa dipakai oleh sang publik figur tersebut. Sang tokoh itulah yang jadi bintang iklan.

Bahkan, yang terkini, Presiden Jokowi juga diberi baju dengan motif  tenun Troso. “Tapi, sayangnya sampai saat ini belum dipakai Pak Jokowi.

Soalnya Pak Jokowi lebih sering mengenakan baju putih polos,” Amin Fahrudin, dari Kadin Jepara, sambil tertawa.  [*]

 

Motif kain endek yang berkembang di Jepara memang tidak lepas dari hubungan perdagangan dengan Bali. Begitu booming orderan sejak tahun 1970-an, tuntutan menambah produksi pun naik drastis.

 

HARI PUSPITA, Jepara

TRADISI tenun di Desa Troso, Pecangaan, Jepara memang diyakini sudah berlangsung selama ratusan tahun silam.

Biasanya mereka mengatakan bahwa menenun adalah warisan turun temurun. Dan, mereka tidak tahu pasti sejak kapan kebiasaan tenun Troso itu dilakukan di keluarganya.

“Ini sudah dilakukan dari zaman kakek saya dan kakeknya lagi,” ujar Anton Budi Raharjo,33, warga setempat, yang pengusaha kain tenun Troso, ini.

Dikatakan bahwa tradisi tenun itu sudah mendarah daging karena merupakan pemandangan yang biasa dilihat dari kecil.

Katanya, dari kecil anak-anak Troso sudah terbiasa melihat orang memintal benang, mewarnai benang, hingga menenun benang menjadi kain. “Makanya rata-rata semuanya bisa mengerjakan (tenun) di sini,” jelasnya.

Kemampuan kreasi para perajin kain tenun Troso juga bisa dikatakan merata. Mereka terbiasa mengerjakan tenun dengan motif apa pun sesuai pesanan.

“Ibaratnya perajin tenun sini itu cuma melihat saja, keesokannya sudah bisa melihat. Jadi, kemampuannya bisa dikatakan sama,” terang Anton,

yang lulusan Sekolah Tinggi Ekonomi Nahdhatul Ulama (STIENU), yang sekarang berubah nama menjadi Universitas Nahdhatul Ulama (Unisnu) Jepara ini.

Kerajinan tenun bisa lestari berkembang karena menurutnya lebih sederhana daripada kerajinan ukir yang sama-sama tumbuh di Jepara.

“Kalau seni ukir itu untuk mendapatkan uang kan lebih lama. Soalnya ukiran itu lebih rumit. Kalau menenun lebih cepat dapat uang karena lebih cepat selesai. Makanya yang belajar kerajinan tenun lebih banyak di sini,” begitu, menurutnya.

Sementara menurut Sunarto, ekspansi pasar produk tenun Troso itu mulai booming sejak tahun 1970-an.

Ini setelah pengusaha setempat, yakni Haji Husein atau biasa dipanggil Kaji Kusen mendapat order dari Bali dan mengajak tetangga-tetangganya untuk turut berproduksi.

Jepara yang punya basic usaha tenun sejak ratusan tahun silam, sebagaimana Bali, begitu mendapat order besar pun langsung bergairah industri rumahnya.

Maklum, order dalam jumlah besar dari Bali lazimnya memang memakai batas waktu atau tenggat  pengerjaan. Jadi tidak bisa sesukanya dalam memenuhi orderan. Ada deadline-nya.

“Karena kalau order banyak, dikerjakan sendiri, itu biasanya nggak sanggup. Akhirnya dikerjakan dengan beramai-ramai, untuk memenuhi produksi,” jelasnya.

Terkait peranti menenun, di Troso memang sangat inovatif. Mereka tidak puas begitu saja dengan peranti tenun yang sudah ada.

Tapi, selalu mencari jalan keluar agar tercipta alat tenun yang bisa memproduksi kain tenun lebih cepat.

Untuk itu biasanya mereka memantau perkembangan perajin tenun di daerah lain, di Jawa Tengah. Misalnya di Solo dan Pekalongan.

Peranti tenun itu yang sekiranya ada bagian yang bisa memakai perangkat elektronik, pakai listrik, tenaganya akan diganti dengan listrik.

”Makanya kami bisa memproduksi lebih banyak, daripada penenun kain di Bali ,” tandas Anton. Malah menurutnya, peranti tenunnya ada yang meniru mesin tenun tradisional Jepang.

Dia memperlihatkan mesin tenun tradisional Jepang yang sudah menggunakan beberapa bagi mekanik yang sudah elektronik atau memakai mesin.

“Tapi, tetap tenun tradisional namanya. Meskipun Jepang telah memodifikasi alat tenun,” ungkap Anton, seraya memperlihatkan bagian mana dari mesin tenun miliknya yang sudah memakai sarana peralatan elektronik.

Sejak itulah produksi tenun Troso masuk pasar Bali sampai sekarang. Ini terjadi karena memenuhi order dari Bali tersebut. 

“Soal motif, kami memang menerima pesanan motif dari sana. Tapi, juga sebagian memakai motif kami sendiri,” jelasnya.

Jadi, hubungan yang muncul antara Troso, Jepara, dengan Bali   saat ini adalah simbiosis mutualisme. Sebuah kerjasama yang saling menguntungkan kedua belah pihak.

“Bali dapat kain dalam jumlah banyak, Troso yang bisa berproduksi melimpah punya pasar. Itu yang terjadi,” terang  Ihran Fais, ketua Asttika.

Beberapa terobosan pun dilakukan untuk meningkatkan penjualan kain. Seperti memanfaatkan ketenaran tokoh untuk mengenakan kain tenunnya.

Dengan cara itu beberapa desain atau motif baru bisa dikenal luas, lantaran orang yang mengenakan sering jadi pemberitaan media. Baik cetak maupun elektronik.

Dengan dipakai tokoh yang sedang populer, maka ibaratnya jadi iklan gratis jenis model busana maupun motifnya. Biasanya ini berpengaruh juga terhadap permintaan pasar.

Beberapa yang disebut pernah mengenakan baju dengan motif tenun Troso adalah Susno Duadji dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) semasa masih menjabat sebagai presiden.

“Dengan dikenakan tokoh, biasanya model baju, model motif itu semakin dikenal luas dan semakin dicari masyarakat,” tutur Ihran.

Jadi, tidak perlu memakai bintang iklan yang harus memperkenalkan produk-produk tenun troso tersebut. Tapi, dengan memanfaatkan pejabat publik untuk mengenakannya.

Tentu saja cara ini gampang-gampang susah. Harus ada yang punya kekuatan lobi untuk pendekatan. Sehingga bisa dipakai oleh sang publik figur tersebut. Sang tokoh itulah yang jadi bintang iklan.

Bahkan, yang terkini, Presiden Jokowi juga diberi baju dengan motif  tenun Troso. “Tapi, sayangnya sampai saat ini belum dipakai Pak Jokowi.

Soalnya Pak Jokowi lebih sering mengenakan baju putih polos,” Amin Fahrudin, dari Kadin Jepara, sambil tertawa.  [*]

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/