26.2 C
Jakarta
10 Desember 2024, 2:22 AM WIB

Gagal Jumatan di Hays

Oleh: Dahlan Iskan

Saya gagal Jumatan. Tidak berhasil menemukan masjid. Padahal segera bulan puasa. Penting untuk tahu: di mana ada masjid.

Waktu itu saya baru dua hari tiba di kota kecil ini: Hays. Pedalaman negara bagian Kansas. Satu setengah jam naik mobil dari SMA-nya anak saya dulu: Azrul Ananda.

Begitu tiba di Hays saya buka Google. Apakah ada masjid di Hays. Ternyata ada. Lengkap dengan alamatnya. Dan nomor teleponnya. Tidak jauh pula. Dari rumah yang saya tempati.

Maka Jumat itu saya menuju masjid itu. Setir mobil sendiri. Pakai Googlemap. Ketemu. Hanya 15 menit dari rumah. Tapi saya ragu: benarkah ini masjidnya?

Dari segi nomor rumahnya benar. Saya buka Google lagi. Siapa tahu salah lihat. Benar. Tapi kok sepi? Kok seperti rumah tangga biasa –yang kelas menengah bawah?

Rumah ini dikelilingi pagar. Kayu. Rapat. Cukup tinggi. Lebih tinggi dari saya. Tidak ada pintu masuknya. Kelihatan sekilas. Saya kelilingi lagi blok Pain Street dan 15th Street ini. Untuk lihat situasi sekeliling.

Sepi. Jalanan pun sepI. Sudah 15 menit di situ, tidak ada mobil lewat. Saya parkir di pinggir jalan. Menunggu. Siapa tahu memang belum ada yang datang.

Sudah pukul 12.30. Saya bertekad menunggu sampai pukul 13. Saat bubaran Jumatan: di Indonesia. Tetap tidak ada orang yang datang. Tidak ada pula tanda-tanda kehidupan.

Saya pulang. Jumatan pun gagal. Tiba di rumah, saya coba menelepon nomor yang ada di Google. Tidak ada yang angkat. Sepertinya nomor telepon itu tidak dipakai lagi.

Malamnya saya bertanya ke Chris Mohn. Istri tuan rumah. Dosen bahasa Spanyol di Universitas Fort Hays. Siapa tahu ada orang Islam di kampusnya. Yang bisa ditanya apakah ada masjid di Hays.

Tiga hari kemudian Chris meninggalkan catatan di meja makan. Dahlan, tulisnya, ada masjid di Hays. Di sudut jalan antara Pain St dan 15th St. Itu info dari orang Islam di kampusnya. Berarti sama dengan alamat yang saya datangi.

Sore itu saya ke sana lagi. Jam 20.30. Matahari masih agak tinggi. Tapi setengah jam lagi akan senja. Waktunya salat maghrib. Saya ingin maghriban di sana. Sama. Sepi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Di luarnya –pun di dalamnya. Tidak ada cahaya lampu. Gelap.

Ternyata ada pintu di pagar itu. Cuma tidak seperti pintu. Saya coba parkir di dekat yang seperti pintu itu. Saya lihat ada semacam tali. Yang bisa ditarik. Untuk melepaskan engsel. Kelihatannya. Tapi saya tidak berani mencoba membukanya. Khawatir ini bukan masjid. Ini rumah orang. Yang kalau memasukinya bisa kena perkara. Kalau tanpa ijin.

Saya celingukan. Tengok kiri tengok kanan. Rumah tetangga pun gak ada yang buka. Tidak ada juga manusia. Sejauh mata memandang. Saya coba telepon lagi. Aneh. Ada nada sambung. Begitu diangkat saya perkenalkan asal usul saya: agar memaklumi kualitas bahasa Inggris saya. Ternyata itu bukan masjid. Telepon itu. Saya cek nomornya benar.

Jangan-jangan masjid itu sudah lama dijual. Atau dulunya sewa. Lalu sewanya habis. Macam-macamlah dugaan yang terbayang di imajinasi saya.

Saya lihat lagi Google. Di mana ada masjid terdekat. Yang bukan di pojok itu.

Penjelasannya: di Wichita. Ada satu. Wichita adalah kota terbesar di negara bagian Kansas. Pabrik Harley Davidson di situ. Dulu. Pabrik Boeing di situ. Dulu.

Salah satu konglomerat terbesar Amerika di situ. Sampai sekarang: Koch Brothers. Yang setiap Pemilu menyumbang calon presiden partai republik ratusan juta dolar.

Kota itu jaraknya 200 Kilometer dari Hays. Tidak mungkin saya Jumatan di Wichita. Saya jadi seperti orang Syiah: tidak perlu Jumatan. Saya ingat waktu ke Iran. Hari Jumat. Saya menyatakan ingin Jumatan. Minta diantar ke masjid terdekat. Posisi saya di bandara internasional Tehran. Pasti ada masjid di dekat situ.

Ternyata masjid terdekatnya 65 Kilometer dari bandara. Masjid yang ada Jumatannya. Salat Jumat tidak wajib di sana. Tapi saya tetap ke masjid itu. Sambil lihat seperti apa hebatnya. Yang terkenal sebagai Mekahnya Syiah: Masjid Kota Qum.

Saya buka Google lagi. Cari masjid lagi di dekat kota Hays. Ketemu. Di kota Manhattan. Kota kecil arah tenggara Hays. Jaraknya juga 200-an Kilometer.

Cari lagi. Di Google lagi. Ketemu lagi: di kota Topeka. Kota kecil yang jadi ibukotanya Kansas. Jaraknya juga sekitar 200 Kilometer dari Hays.

Saya hubungi Ustadz Shamsi Ali. Imam besar di New York. Yang asli Sulsel itu. Yang jadi tokoh kerukunan antar penganut agama di Manhattan, New York. Yang bikin gerakan ‘Today I am a Moslem too’ itu. Yang juga diikuti orang Kristen dan Yahudi. Saya ceritakan kesulitan saya cari masjid.

Jumat pertama di Amerika pun lewat. Begitu saja. Tapi ‘dendam’ tetap membara.(dis)

Oleh: Dahlan Iskan

Saya gagal Jumatan. Tidak berhasil menemukan masjid. Padahal segera bulan puasa. Penting untuk tahu: di mana ada masjid.

Waktu itu saya baru dua hari tiba di kota kecil ini: Hays. Pedalaman negara bagian Kansas. Satu setengah jam naik mobil dari SMA-nya anak saya dulu: Azrul Ananda.

Begitu tiba di Hays saya buka Google. Apakah ada masjid di Hays. Ternyata ada. Lengkap dengan alamatnya. Dan nomor teleponnya. Tidak jauh pula. Dari rumah yang saya tempati.

Maka Jumat itu saya menuju masjid itu. Setir mobil sendiri. Pakai Googlemap. Ketemu. Hanya 15 menit dari rumah. Tapi saya ragu: benarkah ini masjidnya?

Dari segi nomor rumahnya benar. Saya buka Google lagi. Siapa tahu salah lihat. Benar. Tapi kok sepi? Kok seperti rumah tangga biasa –yang kelas menengah bawah?

Rumah ini dikelilingi pagar. Kayu. Rapat. Cukup tinggi. Lebih tinggi dari saya. Tidak ada pintu masuknya. Kelihatan sekilas. Saya kelilingi lagi blok Pain Street dan 15th Street ini. Untuk lihat situasi sekeliling.

Sepi. Jalanan pun sepI. Sudah 15 menit di situ, tidak ada mobil lewat. Saya parkir di pinggir jalan. Menunggu. Siapa tahu memang belum ada yang datang.

Sudah pukul 12.30. Saya bertekad menunggu sampai pukul 13. Saat bubaran Jumatan: di Indonesia. Tetap tidak ada orang yang datang. Tidak ada pula tanda-tanda kehidupan.

Saya pulang. Jumatan pun gagal. Tiba di rumah, saya coba menelepon nomor yang ada di Google. Tidak ada yang angkat. Sepertinya nomor telepon itu tidak dipakai lagi.

Malamnya saya bertanya ke Chris Mohn. Istri tuan rumah. Dosen bahasa Spanyol di Universitas Fort Hays. Siapa tahu ada orang Islam di kampusnya. Yang bisa ditanya apakah ada masjid di Hays.

Tiga hari kemudian Chris meninggalkan catatan di meja makan. Dahlan, tulisnya, ada masjid di Hays. Di sudut jalan antara Pain St dan 15th St. Itu info dari orang Islam di kampusnya. Berarti sama dengan alamat yang saya datangi.

Sore itu saya ke sana lagi. Jam 20.30. Matahari masih agak tinggi. Tapi setengah jam lagi akan senja. Waktunya salat maghrib. Saya ingin maghriban di sana. Sama. Sepi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Di luarnya –pun di dalamnya. Tidak ada cahaya lampu. Gelap.

Ternyata ada pintu di pagar itu. Cuma tidak seperti pintu. Saya coba parkir di dekat yang seperti pintu itu. Saya lihat ada semacam tali. Yang bisa ditarik. Untuk melepaskan engsel. Kelihatannya. Tapi saya tidak berani mencoba membukanya. Khawatir ini bukan masjid. Ini rumah orang. Yang kalau memasukinya bisa kena perkara. Kalau tanpa ijin.

Saya celingukan. Tengok kiri tengok kanan. Rumah tetangga pun gak ada yang buka. Tidak ada juga manusia. Sejauh mata memandang. Saya coba telepon lagi. Aneh. Ada nada sambung. Begitu diangkat saya perkenalkan asal usul saya: agar memaklumi kualitas bahasa Inggris saya. Ternyata itu bukan masjid. Telepon itu. Saya cek nomornya benar.

Jangan-jangan masjid itu sudah lama dijual. Atau dulunya sewa. Lalu sewanya habis. Macam-macamlah dugaan yang terbayang di imajinasi saya.

Saya lihat lagi Google. Di mana ada masjid terdekat. Yang bukan di pojok itu.

Penjelasannya: di Wichita. Ada satu. Wichita adalah kota terbesar di negara bagian Kansas. Pabrik Harley Davidson di situ. Dulu. Pabrik Boeing di situ. Dulu.

Salah satu konglomerat terbesar Amerika di situ. Sampai sekarang: Koch Brothers. Yang setiap Pemilu menyumbang calon presiden partai republik ratusan juta dolar.

Kota itu jaraknya 200 Kilometer dari Hays. Tidak mungkin saya Jumatan di Wichita. Saya jadi seperti orang Syiah: tidak perlu Jumatan. Saya ingat waktu ke Iran. Hari Jumat. Saya menyatakan ingin Jumatan. Minta diantar ke masjid terdekat. Posisi saya di bandara internasional Tehran. Pasti ada masjid di dekat situ.

Ternyata masjid terdekatnya 65 Kilometer dari bandara. Masjid yang ada Jumatannya. Salat Jumat tidak wajib di sana. Tapi saya tetap ke masjid itu. Sambil lihat seperti apa hebatnya. Yang terkenal sebagai Mekahnya Syiah: Masjid Kota Qum.

Saya buka Google lagi. Cari masjid lagi di dekat kota Hays. Ketemu. Di kota Manhattan. Kota kecil arah tenggara Hays. Jaraknya juga 200-an Kilometer.

Cari lagi. Di Google lagi. Ketemu lagi: di kota Topeka. Kota kecil yang jadi ibukotanya Kansas. Jaraknya juga sekitar 200 Kilometer dari Hays.

Saya hubungi Ustadz Shamsi Ali. Imam besar di New York. Yang asli Sulsel itu. Yang jadi tokoh kerukunan antar penganut agama di Manhattan, New York. Yang bikin gerakan ‘Today I am a Moslem too’ itu. Yang juga diikuti orang Kristen dan Yahudi. Saya ceritakan kesulitan saya cari masjid.

Jumat pertama di Amerika pun lewat. Begitu saja. Tapi ‘dendam’ tetap membara.(dis)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/