29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 3:22 AM WIB

Berawal untuk Diri Sendiri, Peluang Bisnis Terbuka Setelah Sayur Laku

Masyarakat Klungkung tampak kian kreatif dan mandiri sejak adanya pandemic Covid-19.Tidak sedikit masyarakat Klungkung yang akhirnya berupaya memenuhi kebutuhan sehari-hari secara mandiri. Seperti apa?

 

 

DEWA AYU PITRI ARISANTI, Semarapura

KIAN banyak masyarakat Klungkung yang menanam sayur-sayuran dan bumbu dapur memanfaatkan pengarangan rumah yang ada.

Bahkan ada yang akhirnya mendapat peluang bisnis baru di tengah pendemi. Seperti yang terjadi pada I Gede Setiawan, asal Desa Banjarangkan, Kecamatan Banjarangkan.

Sejak pandemi Covid-19, Setiawan mengaku perekonomiannya cukup terkena dampak. Sebab pekerjaan sampingannya, yakni fotografer nihil proyek.

Ia pun harus pintar-pintar mengatur keuangannya agar bisa tetap bertahan di tengah kondisi yang dirasakan seluruh dunia itu.

Sehingga sejak bulan Maret 2020 lalu, dia mulai memanfaatkan ruang yang ada di rumahnya untuk menanam sayur-sayuran. “Awalnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga sendiri,” terangnya.

Mengingat akan dikonsumsi secara pribadi, dia mengaku tidak menggunakan zat kimia terhadap sayur-sayuran yang dia tanam.

Bermodal nekat, dia yang awam masalah pertanian organik pun belajar seluk-beluk pertanian organik memanfaatkan internet dan buku yang ada.

“Sambil berjalan, saya terus belajar. Sayur-sayuran yang saya tanam mulai dari bayam, pakcoy (sawi sendok), selada dan kangkung,” bebernya.

Lantaran hasil panen yang cukup melimpah, sayur-sayuran yang berhasil ia tanam tidak habis untuk dikonsumsi sendiri.

Sehingga akhirnya ia titip untuk dijual di warung milik sang ibu. Lantaran sayuran yang dikembangkan adalah sayuran organik, ia pun menawarkan harga lebih tinggi dari harga sayur non organik.

“Kalau biasanya harga sayuran non organik Rp 4 ribu per kg. Saya juga sayuran organik, Rp 4 ribu per 250 gram,” ungkapnya.

Meski harga yang ia tawarkan cukup tinggi, menurutnya, sayur organik yang ia titip di warung sang ibu laku keras.

Setiap panen, ia berhasil mengumpulkan omzet sekitar Rp 100 ribu. Menurutnya, omzet sebesar itu sudah cukup lumayan menambah penghasilan di tengah dampak pandemi Covid-19 seperti saat ini.

Apalagi dia tidak perlu lagi mengeluarkan biaya membeli sayur untuk kebutuhan sehari-hari. “Awal-awalnya agak susah karena harganya lumayan mahal.

Setelah gencar promosi kalau sayuran yang saya jual adalah sayuran organik, mulai banyak yang tertarik membeli. Pemasarannya selain di warung ibu, juga secara online,” tandasnya. (*)

Masyarakat Klungkung tampak kian kreatif dan mandiri sejak adanya pandemic Covid-19.Tidak sedikit masyarakat Klungkung yang akhirnya berupaya memenuhi kebutuhan sehari-hari secara mandiri. Seperti apa?

 

 

DEWA AYU PITRI ARISANTI, Semarapura

KIAN banyak masyarakat Klungkung yang menanam sayur-sayuran dan bumbu dapur memanfaatkan pengarangan rumah yang ada.

Bahkan ada yang akhirnya mendapat peluang bisnis baru di tengah pendemi. Seperti yang terjadi pada I Gede Setiawan, asal Desa Banjarangkan, Kecamatan Banjarangkan.

Sejak pandemi Covid-19, Setiawan mengaku perekonomiannya cukup terkena dampak. Sebab pekerjaan sampingannya, yakni fotografer nihil proyek.

Ia pun harus pintar-pintar mengatur keuangannya agar bisa tetap bertahan di tengah kondisi yang dirasakan seluruh dunia itu.

Sehingga sejak bulan Maret 2020 lalu, dia mulai memanfaatkan ruang yang ada di rumahnya untuk menanam sayur-sayuran. “Awalnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga sendiri,” terangnya.

Mengingat akan dikonsumsi secara pribadi, dia mengaku tidak menggunakan zat kimia terhadap sayur-sayuran yang dia tanam.

Bermodal nekat, dia yang awam masalah pertanian organik pun belajar seluk-beluk pertanian organik memanfaatkan internet dan buku yang ada.

“Sambil berjalan, saya terus belajar. Sayur-sayuran yang saya tanam mulai dari bayam, pakcoy (sawi sendok), selada dan kangkung,” bebernya.

Lantaran hasil panen yang cukup melimpah, sayur-sayuran yang berhasil ia tanam tidak habis untuk dikonsumsi sendiri.

Sehingga akhirnya ia titip untuk dijual di warung milik sang ibu. Lantaran sayuran yang dikembangkan adalah sayuran organik, ia pun menawarkan harga lebih tinggi dari harga sayur non organik.

“Kalau biasanya harga sayuran non organik Rp 4 ribu per kg. Saya juga sayuran organik, Rp 4 ribu per 250 gram,” ungkapnya.

Meski harga yang ia tawarkan cukup tinggi, menurutnya, sayur organik yang ia titip di warung sang ibu laku keras.

Setiap panen, ia berhasil mengumpulkan omzet sekitar Rp 100 ribu. Menurutnya, omzet sebesar itu sudah cukup lumayan menambah penghasilan di tengah dampak pandemi Covid-19 seperti saat ini.

Apalagi dia tidak perlu lagi mengeluarkan biaya membeli sayur untuk kebutuhan sehari-hari. “Awal-awalnya agak susah karena harganya lumayan mahal.

Setelah gencar promosi kalau sayuran yang saya jual adalah sayuran organik, mulai banyak yang tertarik membeli. Pemasarannya selain di warung ibu, juga secara online,” tandasnya. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/