33 C
Jakarta
24 November 2024, 14:04 PM WIB

Tercatat di Prasasti Sukawana Abad 9, Jual Beli Budak Masif Zaman VOC

Perbudakan itu menjadi cerita kelam ratusan tahun silam. Setelah Bali tidak lagi dalam kekuasaan kerajaan Gelgel, yang berpusat di Klungkung, selepas tahun 1650-an, petaka perpecahan berujung pada bisnis perbudakan.

Kerajaan-kerajaan kecil yang terpecah mulai didekati VOC. Keakraban dengan Belanda memunculkan komoditas perdagangan baru yang menggiurkan: jual beli manusia atas manusia lainnya.

 

 

HANYA soal waktu saja, setelah Belanda mendirikan kongsi dagang India Timur atau Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Batavia, pada 20 Maret 1602.

Mereka memetakan kerajaan-kerajaan di penjuru Nusantara untuk menguasainya. Seperti dituturkan sejarawan Bali dari  Universitas Udayana (Unud)

Prof. Dr. I Gde Parimartha, MA., dan Dr. I Made Pageh,  pengajar sejarah Universitas Pendidikan Ganesha, Buleleng, Bali akhirnya terpecah dalam sejumlah kerajaan kecil.

Kerajaan-kerajaan itu berkuasa di sejumlah puri. Puri-puri itu antara lain di Klungkung, Buleleng, Karangasem, Mengwi, Badung (sekarang Denpasar), Tabanan, Gianyar, Bangli dan Jembrana.

Di sisi lain, setelah perpecahan itu, keberadaan VOC sebagai penguasa Nusantara, membuat para pemimpin lokal Bali dalam posisi dilematis.

Antara melawan atau bersekutu dengan VOC. Atau sibuk dan dilibas berperang sesama saudara pemimpin lokal Bali yang saling berseteru.

“Untuk mempermudah memperalat kalangan istana, candu digunakan Belanda biar mudah dikendalikan,” tutur Made Pageh, terkait penggunaan ganja untuk memikat kalangan bangsawan pada saat itu.

Kebutuhan kerja paksa membuat perdagangan sesama manusia tidak terelakkan. Banyak tangis duka dari kisah perbudakan yang menyebar anak muda ke berbagai penjuru Nusantara, khususnya ke Batavia (sekarang Jakarta) itu.

“Zaman itu budak cukup laku diperdagangkan. Istilah (budak) dalam Bali disebut jalma adol-adolan atau orang yang bisa dijual,” terang Parimartha, saat dihubungi terpisah, beberapa waktu lalu.

Saat dikonfirmasi Jawa Pos Radar Bali mengenai perdagangan budak di wilayah Kerajaan Mengwi, AA Gde Agung selaku pengelingsir Puri Ageng Mengwi mengaku tidak paham dan tidak tahu.

Karena itu adalah kejadian sudah ratusan tahun lampau terlewat. “Mohon maaf, saya tidak paham. Mungkin itu Badung yang dulu, atau Denpasar sekarang,” terang AA Gde Agung.

Sedangkan dari Denpasar, Ida Cokorda Pemecutan XI, saat dikonfirmasi mengakui memang pernah ada perbudakan di Bali, khususnya Denpasar.

Menurutnya, yang dikirim menjadi budak adalah orang yang dianggap tak berguna. Antara lain para pelaku kriminal, yang suka ugal-ugalan, melanggar hukum atau mabuk-mabukan.

Mereka akhirnya ditangkapi dan dijadikan budak. Pemilik nama Anak Agung Ngurah Manik Parasara ini mengatakan bahwa ada sebagian calon budak ditangkap di dekat kuburan atau setra Badung. Itu pun tidak mudah. 

“Saya tidak mau sebut orang-orang itu. Mereka antara lain ditangkap di kuburan Badung, dimasukkan ke dalam karung,” jelasnya.

Menurutnya, yang membeli mereka orang-orang keturunan Tionghoa, lantas dikirim ke Batavia. Pengirimannya bukan lewat Benoa melainkan Jangkok, Kuta, yang menurutnya dulu ada muara sungai.  

“Jumlahnya  saat itu sekitar 600-an orang,” ujarnya, tanpa menyebut tahun berapa. Penelusuran Jawa Pos Radar Bali, dari artikel yang ditulis Nyoman Pardi,

di jurnal Kebudayaan, sebetulnya, sebelum zaman penjajahan Belanda atau berdirinya VOC, ada indikasi di Bali sudah ada semacam tradisi perbudakan.

Seperti dalam prasasti Sukawana, Kintamani, Bangli, tahun 804 Saka atau 882 Masehi atau abad ke-9. Juga prasasti Bila, Buleleng, tahun 995 Saka atau 1074 Masehi,

bahwa ada golongan di luar catur kasta (di luar kasta Brahmana, Kesatria, Waisya, Sudra) ada golongan yang lemah, yang sepadan dengan budak.

Meskipun begitu, perdagangan budak dalam jumlah besar baru terjadi di tahun 1600-an. Karena sebelum tahun 1650-an, Bali masih dalam kekuasaan Kerajaan Gelgel, di Klungkung, belum banyak terpengaruh oleh kekuasaan VOC.

Selepas tahun 1650-an, Kerajaan Gelgel di Klungkung terpecah menjadi kerajaan kecil-kecil, Bali mulai digerogoti perbudakan.

”Bali terpecah belah menjadi beberapa pusat kekuasaan, dengan asal-usul dari kalangan Arya-Arya,  Kepakisan. Belanda yang mengadu domba kita,” papar Made Pageh. 

Yang menjadi budak selain dari kasta rendah, adalah mereka yang dari kasta tinggi tetapi kalah berperang atau menjadi tawanan perang, pelaku kriminal, janda-janda muda tanpa anak dan orang yang terbelit utang dan tidak mampu membayar.

Nilai jual budak lazimnya berdasarkan: usia, kekuatan, keahlian, asal-usul (suku, ras), nilai lebih. Selain budak asli Bali, ada juga budak dari pulau dan suku lain seperti dari Sulawesi, Nusa Tenggara, yang diangkut dari Bali.

Tentu saja jumlahnya dari tahun ke tahun semakin banyak. Sehingga di pertengahan abad ke-17, populasi budak di Batavia mencapai sekitar 18.000-an jiwa. Sekitar separuhnya ditengarai berasal dari Bali.

Dikatakan Pageh, sebetulnya upaya membendung Kompeni itu ada. Antara lain  dilakukan Dalem Watu Renggong, yang sempat berkuasa hingga Blambangan (Banyuwangi, Probolinggo, Bondowoso, sebagian Pasuruan) dan Sumbawa. 

Juga Panji Sakti yang ingin menyatukan Bali dengan Jawa Timur. “Visinya adalah untuk menyatukan wilayah segitiga emas Jatim-Madura-Bali. Sedangkan visi politik berwawasan ekonomi,

dengan melihat pantai utara Bali sebagai sudut pandangnya. Maunya dikembangkan untuk pengaruh di Asia Tenggara. Tapi Belanda lebih agresif,” imbuhnya. (maulana sandijaya/made dwija putra/juliadi/ni kadek novi febriani/pit)

 

Perbudakan itu menjadi cerita kelam ratusan tahun silam. Setelah Bali tidak lagi dalam kekuasaan kerajaan Gelgel, yang berpusat di Klungkung, selepas tahun 1650-an, petaka perpecahan berujung pada bisnis perbudakan.

Kerajaan-kerajaan kecil yang terpecah mulai didekati VOC. Keakraban dengan Belanda memunculkan komoditas perdagangan baru yang menggiurkan: jual beli manusia atas manusia lainnya.

 

 

HANYA soal waktu saja, setelah Belanda mendirikan kongsi dagang India Timur atau Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Batavia, pada 20 Maret 1602.

Mereka memetakan kerajaan-kerajaan di penjuru Nusantara untuk menguasainya. Seperti dituturkan sejarawan Bali dari  Universitas Udayana (Unud)

Prof. Dr. I Gde Parimartha, MA., dan Dr. I Made Pageh,  pengajar sejarah Universitas Pendidikan Ganesha, Buleleng, Bali akhirnya terpecah dalam sejumlah kerajaan kecil.

Kerajaan-kerajaan itu berkuasa di sejumlah puri. Puri-puri itu antara lain di Klungkung, Buleleng, Karangasem, Mengwi, Badung (sekarang Denpasar), Tabanan, Gianyar, Bangli dan Jembrana.

Di sisi lain, setelah perpecahan itu, keberadaan VOC sebagai penguasa Nusantara, membuat para pemimpin lokal Bali dalam posisi dilematis.

Antara melawan atau bersekutu dengan VOC. Atau sibuk dan dilibas berperang sesama saudara pemimpin lokal Bali yang saling berseteru.

“Untuk mempermudah memperalat kalangan istana, candu digunakan Belanda biar mudah dikendalikan,” tutur Made Pageh, terkait penggunaan ganja untuk memikat kalangan bangsawan pada saat itu.

Kebutuhan kerja paksa membuat perdagangan sesama manusia tidak terelakkan. Banyak tangis duka dari kisah perbudakan yang menyebar anak muda ke berbagai penjuru Nusantara, khususnya ke Batavia (sekarang Jakarta) itu.

“Zaman itu budak cukup laku diperdagangkan. Istilah (budak) dalam Bali disebut jalma adol-adolan atau orang yang bisa dijual,” terang Parimartha, saat dihubungi terpisah, beberapa waktu lalu.

Saat dikonfirmasi Jawa Pos Radar Bali mengenai perdagangan budak di wilayah Kerajaan Mengwi, AA Gde Agung selaku pengelingsir Puri Ageng Mengwi mengaku tidak paham dan tidak tahu.

Karena itu adalah kejadian sudah ratusan tahun lampau terlewat. “Mohon maaf, saya tidak paham. Mungkin itu Badung yang dulu, atau Denpasar sekarang,” terang AA Gde Agung.

Sedangkan dari Denpasar, Ida Cokorda Pemecutan XI, saat dikonfirmasi mengakui memang pernah ada perbudakan di Bali, khususnya Denpasar.

Menurutnya, yang dikirim menjadi budak adalah orang yang dianggap tak berguna. Antara lain para pelaku kriminal, yang suka ugal-ugalan, melanggar hukum atau mabuk-mabukan.

Mereka akhirnya ditangkapi dan dijadikan budak. Pemilik nama Anak Agung Ngurah Manik Parasara ini mengatakan bahwa ada sebagian calon budak ditangkap di dekat kuburan atau setra Badung. Itu pun tidak mudah. 

“Saya tidak mau sebut orang-orang itu. Mereka antara lain ditangkap di kuburan Badung, dimasukkan ke dalam karung,” jelasnya.

Menurutnya, yang membeli mereka orang-orang keturunan Tionghoa, lantas dikirim ke Batavia. Pengirimannya bukan lewat Benoa melainkan Jangkok, Kuta, yang menurutnya dulu ada muara sungai.  

“Jumlahnya  saat itu sekitar 600-an orang,” ujarnya, tanpa menyebut tahun berapa. Penelusuran Jawa Pos Radar Bali, dari artikel yang ditulis Nyoman Pardi,

di jurnal Kebudayaan, sebetulnya, sebelum zaman penjajahan Belanda atau berdirinya VOC, ada indikasi di Bali sudah ada semacam tradisi perbudakan.

Seperti dalam prasasti Sukawana, Kintamani, Bangli, tahun 804 Saka atau 882 Masehi atau abad ke-9. Juga prasasti Bila, Buleleng, tahun 995 Saka atau 1074 Masehi,

bahwa ada golongan di luar catur kasta (di luar kasta Brahmana, Kesatria, Waisya, Sudra) ada golongan yang lemah, yang sepadan dengan budak.

Meskipun begitu, perdagangan budak dalam jumlah besar baru terjadi di tahun 1600-an. Karena sebelum tahun 1650-an, Bali masih dalam kekuasaan Kerajaan Gelgel, di Klungkung, belum banyak terpengaruh oleh kekuasaan VOC.

Selepas tahun 1650-an, Kerajaan Gelgel di Klungkung terpecah menjadi kerajaan kecil-kecil, Bali mulai digerogoti perbudakan.

”Bali terpecah belah menjadi beberapa pusat kekuasaan, dengan asal-usul dari kalangan Arya-Arya,  Kepakisan. Belanda yang mengadu domba kita,” papar Made Pageh. 

Yang menjadi budak selain dari kasta rendah, adalah mereka yang dari kasta tinggi tetapi kalah berperang atau menjadi tawanan perang, pelaku kriminal, janda-janda muda tanpa anak dan orang yang terbelit utang dan tidak mampu membayar.

Nilai jual budak lazimnya berdasarkan: usia, kekuatan, keahlian, asal-usul (suku, ras), nilai lebih. Selain budak asli Bali, ada juga budak dari pulau dan suku lain seperti dari Sulawesi, Nusa Tenggara, yang diangkut dari Bali.

Tentu saja jumlahnya dari tahun ke tahun semakin banyak. Sehingga di pertengahan abad ke-17, populasi budak di Batavia mencapai sekitar 18.000-an jiwa. Sekitar separuhnya ditengarai berasal dari Bali.

Dikatakan Pageh, sebetulnya upaya membendung Kompeni itu ada. Antara lain  dilakukan Dalem Watu Renggong, yang sempat berkuasa hingga Blambangan (Banyuwangi, Probolinggo, Bondowoso, sebagian Pasuruan) dan Sumbawa. 

Juga Panji Sakti yang ingin menyatukan Bali dengan Jawa Timur. “Visinya adalah untuk menyatukan wilayah segitiga emas Jatim-Madura-Bali. Sedangkan visi politik berwawasan ekonomi,

dengan melihat pantai utara Bali sebagai sudut pandangnya. Maunya dikembangkan untuk pengaruh di Asia Tenggara. Tapi Belanda lebih agresif,” imbuhnya. (maulana sandijaya/made dwija putra/juliadi/ni kadek novi febriani/pit)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/