25.2 C
Jakarta
22 November 2024, 7:56 AM WIB

RS Abai dengan Limbah Medis, Kerap Samakan dengan Sampah Domestik

Isu lingkungan menjadi isu krusial sejak revolusi industry bergulir di Eropa. Dan di Indonesia, isu lingkungan yang paling disorot adalah limbah medis.

Seorang dosen perguruan tinggi swasta di Denpasar mencoba meneliti dan mengupasnya menjadi sebuah buku.

 

 

NI KADEK NOVI FEBRIANI, Denpasar

BUKU setebal 126 halaman berjudul Limbah Medis dan Pengelolaannya membahas bagaimana polemik limbah medis yang menjadi momok masyarakat yang belum tuntas digarap pemerintah.

Sang penulis,  I Nengah Muliarta menjabarkan dalam bukunya  limbah medis sebagai  bahan buangan yang berbentuk padat,

cair atau gas  yang berasal dari kegiatan medis yang mengandung mikroorganisme patogen, bahan kimia beracun, dan bahan radioaktif. 

Berdasar komposisi, limbah medis dikategorikan dalam limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).

Limbah B3 memiliki karakteristik; mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, bersifat korosif  dan menyebabkan infeksi.

Maka perlu dilakukan pengelolaan secara tepat. Rumah sakit sebagai salah satu penghasil limbah medis mesti bertanggungjawab terhadap pengelolaan limbah yang dihasilkanya.

Jadi,  tiap rumah sakit harus memiliki strategi pengelolaan limbah yang komprehensif dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang telah diatur. 

Seharusnya ada pemilahan limbah dilakukan mulai dari sumber yang menghasilkan limbah. Dalam hal pewadahan limbah medis padat, rumah sakit diharuskan memenuhi persyaratan dengan penggunaan wadah yang telah ditentukan.

Limbah medis padat tidak diperbolehkan dibuang langsung ketempat pembuangan akhir limbah domestik sebelum aman bagi kesehatan.

“Sebagai institusi yang memiliki sifat sosial, pengelolaan rumah sakit terkadang menempatkan upaya pengelolaan limbah yang baik dalam skala akhir prioritas.

Hal lain yaitu tidak jarang pengelola rumah sakit secara terang-terangan lalai dengan pengelolaan limbah dengan berlindung di balik sifat non komersial dari rumah sakit,” terangnya. 

Untuk diketahui, limbah medis di Bali saat ini dibuang di luar Bali. Mekanisme yang berlangsung selama ini limbah medis rumah sakit ditangani secara sederhana.

Kebanyakan dengan menggunakan incinerator atau dibuang di suatu tempat. Penggunaan insinerator ternyata melahirkan masalah baru yaitu pencemaran udara. 

Asap dan debu hasil pembakaran tersebut mengandung kadar logam berat yang ikut teremisikan ke udara seperti : Cd, Pb, Cr, Mn, As, Hg dan Ni.

Mencermati permasalahan yang ditimbulkan oleh limbah medis, maka menjadi penting dilakukan evaluasi ngelolaan limbah medis secara periodik.

Jangan sampai rumah sakit atau instansi medis lainnya yang memiliki fungsi mendiagnosis, mengobati, merawat, atau merehabilitasi kesehatan

seseorang agar menjadi optimal kembali, justru berkontribusi bagi  timbulnya penyakit karena gagal mengelola limbahnya.

Muliarta menyadari ketika dia membuat buku limbah medis memang tidak seksi seperti isu politik. Namun,  dampaknya luar biasa.

Pria yang baru saja sukses menyandang  gelar doktor di Fakultas Pertanian Universitas Udayana ini mencontohkan, sekarang kasus corona sangat seksi untuk dituangkan dalam tulisan. 

“Tapi adakah yang berpikir, berapa banyak limbah yang dihasilkan dari kasus corona ini,” ujar pria yang juga berprofesi sebagai wartawan ini.

Satu sisi limbah medis akibat corona sudah ditangani di rumah sakit, tapi bagaimana dengan limbah yang dihasilkan oleh orang yang terinfeksi di luar rumah sakit.

Ia mempertanyakan sudahkan mendapatkan penangan semestinya? Menurutnya, rumah sakit adalah tempat berobat dan memulihkan kesehatan.

Tapi, kalau limbahnya tidak mendapatkan penanganan yang tepat maka dapat menjadi sumber penyebaran penyakit. 

Dikatakan penelitian ini sudah dilakukab sekitar dua tahunan.  Buku ini adalah yang ketiga setelah berhasil menerbitkan buku yang berjudul  Wajah Penyiaran Bali dan Remeh Temeh Wajah Penyiaran Radio.

Ia memberikan masukan kepada pemerintah perlunya evaluasi pengelolaan limbah medis secara periodik, bisa setiap bulan atau tiga bulanan.

“Pengelolaan limbah medis juga harus diperbaiki.  Karena limbah medis merupakah bahan beracun dan berbahaya,” terangnya. 

Ia menambahkan limbah medis tidak sama  dengan limbah domestik lainnya dan pengelolaannya juga tidak dapat dicampur.  (*)

Isu lingkungan menjadi isu krusial sejak revolusi industry bergulir di Eropa. Dan di Indonesia, isu lingkungan yang paling disorot adalah limbah medis.

Seorang dosen perguruan tinggi swasta di Denpasar mencoba meneliti dan mengupasnya menjadi sebuah buku.

 

 

NI KADEK NOVI FEBRIANI, Denpasar

BUKU setebal 126 halaman berjudul Limbah Medis dan Pengelolaannya membahas bagaimana polemik limbah medis yang menjadi momok masyarakat yang belum tuntas digarap pemerintah.

Sang penulis,  I Nengah Muliarta menjabarkan dalam bukunya  limbah medis sebagai  bahan buangan yang berbentuk padat,

cair atau gas  yang berasal dari kegiatan medis yang mengandung mikroorganisme patogen, bahan kimia beracun, dan bahan radioaktif. 

Berdasar komposisi, limbah medis dikategorikan dalam limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).

Limbah B3 memiliki karakteristik; mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, bersifat korosif  dan menyebabkan infeksi.

Maka perlu dilakukan pengelolaan secara tepat. Rumah sakit sebagai salah satu penghasil limbah medis mesti bertanggungjawab terhadap pengelolaan limbah yang dihasilkanya.

Jadi,  tiap rumah sakit harus memiliki strategi pengelolaan limbah yang komprehensif dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang telah diatur. 

Seharusnya ada pemilahan limbah dilakukan mulai dari sumber yang menghasilkan limbah. Dalam hal pewadahan limbah medis padat, rumah sakit diharuskan memenuhi persyaratan dengan penggunaan wadah yang telah ditentukan.

Limbah medis padat tidak diperbolehkan dibuang langsung ketempat pembuangan akhir limbah domestik sebelum aman bagi kesehatan.

“Sebagai institusi yang memiliki sifat sosial, pengelolaan rumah sakit terkadang menempatkan upaya pengelolaan limbah yang baik dalam skala akhir prioritas.

Hal lain yaitu tidak jarang pengelola rumah sakit secara terang-terangan lalai dengan pengelolaan limbah dengan berlindung di balik sifat non komersial dari rumah sakit,” terangnya. 

Untuk diketahui, limbah medis di Bali saat ini dibuang di luar Bali. Mekanisme yang berlangsung selama ini limbah medis rumah sakit ditangani secara sederhana.

Kebanyakan dengan menggunakan incinerator atau dibuang di suatu tempat. Penggunaan insinerator ternyata melahirkan masalah baru yaitu pencemaran udara. 

Asap dan debu hasil pembakaran tersebut mengandung kadar logam berat yang ikut teremisikan ke udara seperti : Cd, Pb, Cr, Mn, As, Hg dan Ni.

Mencermati permasalahan yang ditimbulkan oleh limbah medis, maka menjadi penting dilakukan evaluasi ngelolaan limbah medis secara periodik.

Jangan sampai rumah sakit atau instansi medis lainnya yang memiliki fungsi mendiagnosis, mengobati, merawat, atau merehabilitasi kesehatan

seseorang agar menjadi optimal kembali, justru berkontribusi bagi  timbulnya penyakit karena gagal mengelola limbahnya.

Muliarta menyadari ketika dia membuat buku limbah medis memang tidak seksi seperti isu politik. Namun,  dampaknya luar biasa.

Pria yang baru saja sukses menyandang  gelar doktor di Fakultas Pertanian Universitas Udayana ini mencontohkan, sekarang kasus corona sangat seksi untuk dituangkan dalam tulisan. 

“Tapi adakah yang berpikir, berapa banyak limbah yang dihasilkan dari kasus corona ini,” ujar pria yang juga berprofesi sebagai wartawan ini.

Satu sisi limbah medis akibat corona sudah ditangani di rumah sakit, tapi bagaimana dengan limbah yang dihasilkan oleh orang yang terinfeksi di luar rumah sakit.

Ia mempertanyakan sudahkan mendapatkan penangan semestinya? Menurutnya, rumah sakit adalah tempat berobat dan memulihkan kesehatan.

Tapi, kalau limbahnya tidak mendapatkan penanganan yang tepat maka dapat menjadi sumber penyebaran penyakit. 

Dikatakan penelitian ini sudah dilakukab sekitar dua tahunan.  Buku ini adalah yang ketiga setelah berhasil menerbitkan buku yang berjudul  Wajah Penyiaran Bali dan Remeh Temeh Wajah Penyiaran Radio.

Ia memberikan masukan kepada pemerintah perlunya evaluasi pengelolaan limbah medis secara periodik, bisa setiap bulan atau tiga bulanan.

“Pengelolaan limbah medis juga harus diperbaiki.  Karena limbah medis merupakah bahan beracun dan berbahaya,” terangnya. 

Ia menambahkan limbah medis tidak sama  dengan limbah domestik lainnya dan pengelolaannya juga tidak dapat dicampur.  (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/