26.3 C
Jakarta
25 April 2024, 4:47 AM WIB

Diyakini Bisa Jadi Obat, Mata Air Mendadak Surut Saat Dilirik Investor

Kesakralan Pura Petirtaan Lingga Pawitra di wilayah Desa Pakraman Banyuasri, menjadi salah satu rujukan krama saat nunas tamba (mohon kesehatan). Pura ini terletak di pinggir laut. Uniknya terdapat sumber air tawar.

 

EKA PRASETYA, Banyuasri

 

Didirikan sejak 2003 silan, Pura Petirtaan Lingga Pawitra yang terletak di Pantai Lingga, Kelurahan Banyuasri, kini dikenal sebagai lokasi untuk nunas tamba (mohon kesehatan).

 

Setiap hari, banyak warga silih berganti datang ke  pura ini untuk sekadar mencari air bersih atau meminta air untuk keperluan pengobatan.

 

Tak sulit menemukan pura ini. Warga cukup datang ke Jalan Pantai Lingga.

 

Warga kemudian masuk saja ke Pemakaman Tri Dharma yang ada di ujung jalan.

 

Ikuti jalan setapak ke arah barat. Di ujung jalan itu lah pura ini terletak.

 

Istimewanya pura ini terletak di pinggir laut. Di dalam pura terdapat sebuah mata air.

 

Meski letaknya di tepi laut, air yang muncul dari mata air itu merupakan air tawar.

 

Sejatinya sumber mata air itu sudah muncul sejak dulu. Tak diketahui pasti sejak kapan sumber air itu ditemukan.

 

Baru sekitar tahun 2003, warga kemudian mendirikan pelinggih berbentuk turus lumbung.

 

“Seiring berjalannya waktu, akhirnya dibuatkan pelinggih seperti sekarang ini. Waktu itu diprakarsasi penglingsir kami Ida Bagus Satya.

 

Ada juga tokoh pak Kadek Mangku yang memberikan bantuan deker di pinggir pantai itu.

 

Termasuk dari pemerintah juga ada. Terakhir renovasi itu tahun lalu,” kata Kelian Banjar Adat Kelodan Desa Pakraman Banyuasri, Jro Made Susila.

 

Menurut Susila dulunya air laut masih jauh berada di utara pura. Lama kelamaan terjadi abrasi dan air semakin ke selatan. Kini setiap pasang, air laut selalu menggenangi pura.

 

Akhirnya masyarakat sepakat melindungi pura tersebut dengan deker. Deker itu melindungi dua buah pelinggih yang ada di areal pura. Masing-masing pelinggih tempat ber-stana Ida Ayu Manik Gangga, dan pelinggih Apah Nagendra.

Saat awal pura berdiri, tutur Susila, hanya ada satu sumber mata air di sana.

 

Sekitar tahun 2005 silam, saat warga melakukan gotong royong, sempat muncul air di sisi barat pura.

 

 Warga kemudian melakukan persembahyangan nunas sumber air bersih itu. Keesokan harinya batu karang yang menutupi sumber mata air itu terbelah. Sejak saat itu, terdapat dua sumber mata air di areal tersebut.

 

Air yang muncul dari pura tersebut sempat menarik perhatian dari sejumlah perusahaan air minum kemasan.

 

Salah satu perusahaan sempat membawa peralatan untuk mengecek debit air. Termasuk membawa pompa untuk menarik air.

 

Anehnya, air tiba-tiba surut dan sama sekali tidak muncul ke permukaan.

 

“Astungkara setiap ada piodalan di Parahyangan saat purnama kapat, piodalan di balai masyarakat saat purnama kalima, dan piodalan di Petirtaan saat piodalan kaenem, selalu terpenuhi lewat punia. Itu yang Beliau berikan pada masyarakat. Sampai sekarang kalau ada untuk kepentingan bisnis, kami tidak diizinkan.

 

Termasuk pungut parkir juga kami tidak izinkan,” tutur Susila.

 

Lebih lanjut Susila mengatakan, sehari-hari air yang muncul dari sumber itu digunakan untuk konsumsi masyarakat setempat.

Setiap pagi dan sore, ada saja masyarakat yang datang ke pura untuk meminta air bersih. Biasanya warga membawa canang sari dan menghaturkan punia di tempat yang telah disediakan. 

Selain itu ada pula yang nunas toya untuk kesembuhan penyakit medis maupun non medis.

 

Bukan hanya untuk kesembuhan, sejumlah warga juga bersembahyangan meminta kesuksesan. Bahkan beberapa politisi disebut-sebut sempat melakukan persembahyangan ke pura tersebut.

“Banyak yang sudah membuktikan. Termasuk yang non Hindu juga. Masyarakat yang sudah kepaica kesembuhan maupun kesuksesan biasanya selalu datang saat piodalan pas purnama kaenem. Kami selalu sambut terbuka, karena ini pura untuk masyarakat umum. Siapa saja yang percaya, kami persilahkan melukat dan bersembahyang di sana,” imbuhnya.

Kini masyarakat pun berharap pemerintah dapat memberikan perhatian dan sentuhan perbaikan pada pura tersebut.

Setidaknya pembuatan deker untuk melindungi pura dari gempuran gelombang pasang. Sebab setiap air pasang datang, pemedek harus bersembahyang di sisi timur pura.

Bahkan terkadang saat gelombang pasang datang pada awal tahun, persembahyangan bisa dilakukan di atas krib penahan gelombang.

“Harapan masyarakat sih ada sentuhan dari pemerintah, tokoh legislatif, maupun tokoh hindu. Setidaknya bantuan deker untuk melindungi pura petirtaan. Demi ajegnya parahyangan kami. Apalagi ini kan bukan hanya milik krama di Lingga saja, tapi sudah jadi milik umat,” demikian Susila. 

Kesakralan Pura Petirtaan Lingga Pawitra di wilayah Desa Pakraman Banyuasri, menjadi salah satu rujukan krama saat nunas tamba (mohon kesehatan). Pura ini terletak di pinggir laut. Uniknya terdapat sumber air tawar.

 

EKA PRASETYA, Banyuasri

 

Didirikan sejak 2003 silan, Pura Petirtaan Lingga Pawitra yang terletak di Pantai Lingga, Kelurahan Banyuasri, kini dikenal sebagai lokasi untuk nunas tamba (mohon kesehatan).

 

Setiap hari, banyak warga silih berganti datang ke  pura ini untuk sekadar mencari air bersih atau meminta air untuk keperluan pengobatan.

 

Tak sulit menemukan pura ini. Warga cukup datang ke Jalan Pantai Lingga.

 

Warga kemudian masuk saja ke Pemakaman Tri Dharma yang ada di ujung jalan.

 

Ikuti jalan setapak ke arah barat. Di ujung jalan itu lah pura ini terletak.

 

Istimewanya pura ini terletak di pinggir laut. Di dalam pura terdapat sebuah mata air.

 

Meski letaknya di tepi laut, air yang muncul dari mata air itu merupakan air tawar.

 

Sejatinya sumber mata air itu sudah muncul sejak dulu. Tak diketahui pasti sejak kapan sumber air itu ditemukan.

 

Baru sekitar tahun 2003, warga kemudian mendirikan pelinggih berbentuk turus lumbung.

 

“Seiring berjalannya waktu, akhirnya dibuatkan pelinggih seperti sekarang ini. Waktu itu diprakarsasi penglingsir kami Ida Bagus Satya.

 

Ada juga tokoh pak Kadek Mangku yang memberikan bantuan deker di pinggir pantai itu.

 

Termasuk dari pemerintah juga ada. Terakhir renovasi itu tahun lalu,” kata Kelian Banjar Adat Kelodan Desa Pakraman Banyuasri, Jro Made Susila.

 

Menurut Susila dulunya air laut masih jauh berada di utara pura. Lama kelamaan terjadi abrasi dan air semakin ke selatan. Kini setiap pasang, air laut selalu menggenangi pura.

 

Akhirnya masyarakat sepakat melindungi pura tersebut dengan deker. Deker itu melindungi dua buah pelinggih yang ada di areal pura. Masing-masing pelinggih tempat ber-stana Ida Ayu Manik Gangga, dan pelinggih Apah Nagendra.

Saat awal pura berdiri, tutur Susila, hanya ada satu sumber mata air di sana.

 

Sekitar tahun 2005 silam, saat warga melakukan gotong royong, sempat muncul air di sisi barat pura.

 

 Warga kemudian melakukan persembahyangan nunas sumber air bersih itu. Keesokan harinya batu karang yang menutupi sumber mata air itu terbelah. Sejak saat itu, terdapat dua sumber mata air di areal tersebut.

 

Air yang muncul dari pura tersebut sempat menarik perhatian dari sejumlah perusahaan air minum kemasan.

 

Salah satu perusahaan sempat membawa peralatan untuk mengecek debit air. Termasuk membawa pompa untuk menarik air.

 

Anehnya, air tiba-tiba surut dan sama sekali tidak muncul ke permukaan.

 

“Astungkara setiap ada piodalan di Parahyangan saat purnama kapat, piodalan di balai masyarakat saat purnama kalima, dan piodalan di Petirtaan saat piodalan kaenem, selalu terpenuhi lewat punia. Itu yang Beliau berikan pada masyarakat. Sampai sekarang kalau ada untuk kepentingan bisnis, kami tidak diizinkan.

 

Termasuk pungut parkir juga kami tidak izinkan,” tutur Susila.

 

Lebih lanjut Susila mengatakan, sehari-hari air yang muncul dari sumber itu digunakan untuk konsumsi masyarakat setempat.

Setiap pagi dan sore, ada saja masyarakat yang datang ke pura untuk meminta air bersih. Biasanya warga membawa canang sari dan menghaturkan punia di tempat yang telah disediakan. 

Selain itu ada pula yang nunas toya untuk kesembuhan penyakit medis maupun non medis.

 

Bukan hanya untuk kesembuhan, sejumlah warga juga bersembahyangan meminta kesuksesan. Bahkan beberapa politisi disebut-sebut sempat melakukan persembahyangan ke pura tersebut.

“Banyak yang sudah membuktikan. Termasuk yang non Hindu juga. Masyarakat yang sudah kepaica kesembuhan maupun kesuksesan biasanya selalu datang saat piodalan pas purnama kaenem. Kami selalu sambut terbuka, karena ini pura untuk masyarakat umum. Siapa saja yang percaya, kami persilahkan melukat dan bersembahyang di sana,” imbuhnya.

Kini masyarakat pun berharap pemerintah dapat memberikan perhatian dan sentuhan perbaikan pada pura tersebut.

Setidaknya pembuatan deker untuk melindungi pura dari gempuran gelombang pasang. Sebab setiap air pasang datang, pemedek harus bersembahyang di sisi timur pura.

Bahkan terkadang saat gelombang pasang datang pada awal tahun, persembahyangan bisa dilakukan di atas krib penahan gelombang.

“Harapan masyarakat sih ada sentuhan dari pemerintah, tokoh legislatif, maupun tokoh hindu. Setidaknya bantuan deker untuk melindungi pura petirtaan. Demi ajegnya parahyangan kami. Apalagi ini kan bukan hanya milik krama di Lingga saja, tapi sudah jadi milik umat,” demikian Susila. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/