Melihat fakta persidangan yang sudah bergulir, I Wayan “Gendo” Suardana melihat banyak kejanggalan dalam kasus yang membelit kliennya, JRX SID.
Mulai dari laporan Ketua IDI Wilayah Bali, I Gede Putra Suteja yang diketikkan polisi, hingga pasal yang digunakan tidak sesuai surat kuasa yang diberikan PB IDI pusat.
Di sisi lain, Gendo dan tim pengacara Jerinx memiliki pandangan yang sama tentang personal Suteja dan pengurus IDI lainnya yang sudah dimintai keterangan di persidangan.
Gendo dkk melihat Suteja adalah sosok yang jujur, tidak mengada-ada. Berikut wawancara eksklusif wartawan Jawa Pos Radar Bali, Maulana Sandijaya dengan Wayan Gendo Suardana.
Bagaimana Anda menanggapi pernyataan Ketua IDI Bali yang menyatakan tidak ada keinginan memenjarakan JRX, melainkan menjaga marwah organisasi?
Di dalam AD/ART IDI, marwah organisasi IDI adalah agen of change atau agen pembaharuan. Dalam konteks itu, maka ketika ada masyarakat, dalam hal ini JRX menyuarakan suara publik yang masuk, maka seharusnya direspons.
Sebelumnya JRX sudah mengajak debat lewat Instagram (IG), tapi tidak diresposn. Sampai akhirnya muncul postingan yang dipermasalahkan sekarang.
Kalau menjaga marwah organisasi, maka harus mengkritisi kebijakan untuk pembaruan. Salah satunya ada prosedur rapid test yang mempersulit ibu hamil hendak melahirkan.
Pertanyaan JRX dalam laporan itu tidak dijawab. Kenapa harus langsung melapor ke polisi? Lapor polisi itu jalan terakhir sesuai prinsip hukum pidana.
Di situlah menurut saya statemen Ketua IDI menjaga marwah organisasi menjadi tidak tepat. Di sini justru menciderai marwah IDI itu sendiri.
Pihak IDI tidak yakin JRX bakal memberikan kesempatan IDI untuk memberikan penjelasan, apalagi menang. Sebab, JRX pernah menantang dimasukkan ke dalam rumah sakit. Karena itu dipilih jalur melapor polisi. Menurut Anda?
Kan, belum dicoba. Itu kan praduga tidak berdasar. Katanya tidak ingin memenjarakan JRX, tapi melaporkan dengan pasal yang bisa memenjarakan.
Harusnya dr. Suteja paham konsekuensi dari laporannya. Ini membuktikan bahwa pernyataan itu kontradiktif. Pasal yang dipakai Pasal 28 UU ITE pula, yang ancaman hukumannya enam tahun.
IDI menyatakan lapora tidak tahu pasal yang akan diterapkan penyidik. IDI mengatakan melapor tidak membawa pasal, tapi membawa bukti postingan. Bagaimana menurut Anda?
Faktanya di berkas pemeriksaan ada surat yang meminta Pasal 27 dan pasal 28 UU ITE. Hal itu sudah kami tanya di persidangan, ternyata diketikkan polisi.
Berarti secara normatif, dr. Suteja seharusnya mengerti. Masalahnya surat ini dibuatkan petugas. Surat kuasa dari PB IDI itu melaporkan penghinaan.
Tapi, surat yang dibuat itu ujaran kebencian sebagaimana dimaksud Pasal 28. Ini banyak yang janggal.
Kalau Anda melihat dokter Suteja secara personal bagaimana?
Ini pertanyaan menarik. Bukan hanya dokter Suteja, tapi saksi dokter dari IDI lain yang datang di sidang, kami tim pengacara mempunyai pendapat yang sama, bahwa para dokter ini adalah orang yang jujur.
Mereka polos. Mungkin mereka sudah terlatih dengan profesinya sebagai dokter harus jujur. Tidak ada yang dikarang-karang dalam persidangan.
Kami mengapresiasi dokter Suteja dkk yang polos dan jujur. Sehingga saat ditanya surat apakah diketikkan polisi dijawab iya. Semuanya menjadi terungkap. (*)