27.4 C
Jakarta
13 September 2024, 10:46 AM WIB

Virus Corona (Rahasia Bukan), Kenapa Tutupi Identitas Pasien?

Hukum melarang pengungkapan data pasien dan penyakitnya. 

Itulah bunyi teks di hukum positif.

Ada apa? Apa pula konteksnya? Bolehkah kita menerjemahkan teks itu disesuaikan dengan konteksnya?

Terutama di saat wabah virus Corona Covid-19 sudah menjadi pandemik? Bahkan seandainya masih tingkat epidemik sekali pun?

Saya membaca surat edaran dari Gereja Reformed Injili Indonesia Serpong. Dekat Jakarta. Yang beredar luas di medsos. Yang memberitahukan meninggalnya pimpinan kor gereja. Akibat Covid-19. Disebut nama lengkapnya.

Bagus sekali surat itu. Disebutkan ruang mana saja di gereja tersebut yang pernah disinggahi mendiang. Agar jemaat tahu dan hati-hati. Pihak gereja sendiri sudah melakukan pembersihan tempat-tempat tersebut sesuai dengan persyaratan kesehatan.

Saya juga menonton televisi soal Menteri Perhubungan yang terkena Covid-19. Juga tampilnya pasien No 1 dan No 2 di TV –setelah sembuh dari Covid-19.

Semua itu memberi pengaruh baik kepada publik.

Tapi orang juga bisa bingung: mana yang harus dirahasiakan dan mana yang tidak. Bisa jadi yang tampil-tampil di TV itu memang sudah mengizinkan dirinya diungkap di publik.

Atau seperti maha bintang film Tom Hanks dan isterinya yang justru berinisiatif mengakui sendiri terkena Covid-19. Lantas tiap hari menceritakan perkembangan kesehatannya. Sampai akhirnya dinyatakan sembuh. 

Saya mencoba menduga: mengapa semua itu menjadi rahasia yang dijamin UU.

Mungkin saja memang ada jenis penyakit yang bisa membuat pasien malu: Sipilis, Aids, dan seterusnya.

Mungkin juga ada penyakit yang membuat penderitanya dikucilkan. Seperti Lepra. 

Ada pula yang bisa berpengaruh pada keselamatan dari ancaman. Baik ancaman politik maupun bisnis. 

Misalnya: begitu terdengar desas-desus Bung Karno lagi sakit parah maka terjadilah perebutan kekuasaan –daripada didahului lebih baik mendahului. Maka lahirlah gerakan menggulingkan Bung Karno. Terjadilah tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah Indonesia modern. Di tahun 1965-1966.

Padahal mungkin saja itu terjadi justru karena sakit ginjalnya Bung Karno dirahasiakan. Yang muncul akhirnya desas-desus. Bisa dirumorkan lebih parah dari sakit aslinya. Rumor yang beredar di akhir September 1965 itu: sakitnya Bung Karno sangat parah dan kemungkinan segera meninggal.

Dalam hal ini merahasiakan sakitnya Bung Karno justru menimbulkan bencana.

Di era modern banyak pemimpin negara yang membuka diri. Lee Shien Long dari Singapura justru menceritakan secara detail penyakitnya. Saat ia terkena kanker. 

Padahal sistem politik di Singapura sangat mungkin untuk merahasiakannya.

Bisa juga terjadi: politisi takut diberitakan sakit. Takut kalau posisi politiknya terancam. Bisa-bisa di-PAW. Atau di-reshuffle.

Pengusaha juga takut diberitakan sakit: harga sahamnya bisa turun. Atau bank tidak mau lagi memberi pinjaman. Atau lawan bisnisnya menyiapkan strategi menjatuhkannya.

Saya tidak tahu dalam konteks yang mana penyakit sekarang ini dirahasiakan berikut identitas pasiennya. Kok tidak dibuat kategori mana yang rahasia dan mana yang tidak. Tentu ada asbabunnuzulnya. 

Atau jangan-jangan itu hanya copy paste dari UU sejenis di luar negeri –yang konteks sosialnya berbeda.

Saya tentu setuju merahasiakan pasien dan penyakitnya. Tapi hanya untuk bidang tertentu dengan alasan tertentu. 

Sedang Covid-19?

Menurut saya justru harus dibuka. Selebar-lebarnya. Seperti yang dimaksud dalam UU Keterbukaan Informasi.

Covid-19 adalah wabah. Kategorinya wabah tertinggi di dunia: pandemik.

Apakah Civid-19 merupakan penyakit yang memalukan? Sama sekali tidak. 

Semua orang bisa tertular –termasuk yang tidak bersalah sama sekali pun.

Apakah Covid-19 membahayakan posisi politik penderita? Sama sekali tidak. Seandainya membahayakan sekali pun tidak relevan lagi. Membahayakan umum lebih bahaya dari pada membahayakan pribadi. Kecepatan penularan Covid-19 ini begitu tinggi. UU tersebut justru bisa kita tuduh sebagai salah satu pendorong percepatan penularannya.

Mungkin Mohammad Sholeh (DI’s Way:Pemuda Sholeh) perlu turun tangan. Apalagi ia juga baru sukses menggugat kenaikan iuran BPJS.

Pemerintah –atas dorongan Ikatan Dokter Indonesia (IDI)– juga bisa turun tangan.

Rasanya kita semua perlu tahu siapa di antara lingkungan kita yang sudah tertular. Agar dengan cepat bisa melakukan pencegahan.

Menurut perhitungan saya jumlah yang meninggal di Italia sudah akan lebih besar dari yang meninggal di Tiongkok. Besok atau lusa. Bahkan mungkin hari ini.

Keterlambatan penanganan Covid-19 bisa meruntuhkan negara. Kita bukan negara kaya yang punya banyak tabungan.

Kita sudah tidak lagi seperti kolam susunya Koes Plus.(dahlan iskan)

Hukum melarang pengungkapan data pasien dan penyakitnya. 

Itulah bunyi teks di hukum positif.

Ada apa? Apa pula konteksnya? Bolehkah kita menerjemahkan teks itu disesuaikan dengan konteksnya?

Terutama di saat wabah virus Corona Covid-19 sudah menjadi pandemik? Bahkan seandainya masih tingkat epidemik sekali pun?

Saya membaca surat edaran dari Gereja Reformed Injili Indonesia Serpong. Dekat Jakarta. Yang beredar luas di medsos. Yang memberitahukan meninggalnya pimpinan kor gereja. Akibat Covid-19. Disebut nama lengkapnya.

Bagus sekali surat itu. Disebutkan ruang mana saja di gereja tersebut yang pernah disinggahi mendiang. Agar jemaat tahu dan hati-hati. Pihak gereja sendiri sudah melakukan pembersihan tempat-tempat tersebut sesuai dengan persyaratan kesehatan.

Saya juga menonton televisi soal Menteri Perhubungan yang terkena Covid-19. Juga tampilnya pasien No 1 dan No 2 di TV –setelah sembuh dari Covid-19.

Semua itu memberi pengaruh baik kepada publik.

Tapi orang juga bisa bingung: mana yang harus dirahasiakan dan mana yang tidak. Bisa jadi yang tampil-tampil di TV itu memang sudah mengizinkan dirinya diungkap di publik.

Atau seperti maha bintang film Tom Hanks dan isterinya yang justru berinisiatif mengakui sendiri terkena Covid-19. Lantas tiap hari menceritakan perkembangan kesehatannya. Sampai akhirnya dinyatakan sembuh. 

Saya mencoba menduga: mengapa semua itu menjadi rahasia yang dijamin UU.

Mungkin saja memang ada jenis penyakit yang bisa membuat pasien malu: Sipilis, Aids, dan seterusnya.

Mungkin juga ada penyakit yang membuat penderitanya dikucilkan. Seperti Lepra. 

Ada pula yang bisa berpengaruh pada keselamatan dari ancaman. Baik ancaman politik maupun bisnis. 

Misalnya: begitu terdengar desas-desus Bung Karno lagi sakit parah maka terjadilah perebutan kekuasaan –daripada didahului lebih baik mendahului. Maka lahirlah gerakan menggulingkan Bung Karno. Terjadilah tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah Indonesia modern. Di tahun 1965-1966.

Padahal mungkin saja itu terjadi justru karena sakit ginjalnya Bung Karno dirahasiakan. Yang muncul akhirnya desas-desus. Bisa dirumorkan lebih parah dari sakit aslinya. Rumor yang beredar di akhir September 1965 itu: sakitnya Bung Karno sangat parah dan kemungkinan segera meninggal.

Dalam hal ini merahasiakan sakitnya Bung Karno justru menimbulkan bencana.

Di era modern banyak pemimpin negara yang membuka diri. Lee Shien Long dari Singapura justru menceritakan secara detail penyakitnya. Saat ia terkena kanker. 

Padahal sistem politik di Singapura sangat mungkin untuk merahasiakannya.

Bisa juga terjadi: politisi takut diberitakan sakit. Takut kalau posisi politiknya terancam. Bisa-bisa di-PAW. Atau di-reshuffle.

Pengusaha juga takut diberitakan sakit: harga sahamnya bisa turun. Atau bank tidak mau lagi memberi pinjaman. Atau lawan bisnisnya menyiapkan strategi menjatuhkannya.

Saya tidak tahu dalam konteks yang mana penyakit sekarang ini dirahasiakan berikut identitas pasiennya. Kok tidak dibuat kategori mana yang rahasia dan mana yang tidak. Tentu ada asbabunnuzulnya. 

Atau jangan-jangan itu hanya copy paste dari UU sejenis di luar negeri –yang konteks sosialnya berbeda.

Saya tentu setuju merahasiakan pasien dan penyakitnya. Tapi hanya untuk bidang tertentu dengan alasan tertentu. 

Sedang Covid-19?

Menurut saya justru harus dibuka. Selebar-lebarnya. Seperti yang dimaksud dalam UU Keterbukaan Informasi.

Covid-19 adalah wabah. Kategorinya wabah tertinggi di dunia: pandemik.

Apakah Civid-19 merupakan penyakit yang memalukan? Sama sekali tidak. 

Semua orang bisa tertular –termasuk yang tidak bersalah sama sekali pun.

Apakah Covid-19 membahayakan posisi politik penderita? Sama sekali tidak. Seandainya membahayakan sekali pun tidak relevan lagi. Membahayakan umum lebih bahaya dari pada membahayakan pribadi. Kecepatan penularan Covid-19 ini begitu tinggi. UU tersebut justru bisa kita tuduh sebagai salah satu pendorong percepatan penularannya.

Mungkin Mohammad Sholeh (DI’s Way:Pemuda Sholeh) perlu turun tangan. Apalagi ia juga baru sukses menggugat kenaikan iuran BPJS.

Pemerintah –atas dorongan Ikatan Dokter Indonesia (IDI)– juga bisa turun tangan.

Rasanya kita semua perlu tahu siapa di antara lingkungan kita yang sudah tertular. Agar dengan cepat bisa melakukan pencegahan.

Menurut perhitungan saya jumlah yang meninggal di Italia sudah akan lebih besar dari yang meninggal di Tiongkok. Besok atau lusa. Bahkan mungkin hari ini.

Keterlambatan penanganan Covid-19 bisa meruntuhkan negara. Kita bukan negara kaya yang punya banyak tabungan.

Kita sudah tidak lagi seperti kolam susunya Koes Plus.(dahlan iskan)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/