Sampah identik dengan bau. Namun, jangan harap kondisi jijik itu Anda temukan di Tempat Pembuangan Sampah (TPS) Sadu, Banjar Sima, Desa Sumerta Kaja, Denpasar Timur.
Untuk membuktikan bau sampah yang hilang, Walikota dan Wakil Walikota Denpasar I Gusti Ngurah Jaya Negara- I Kadek Agus Arya Wibawa diketahui sengaja makan siang bersama di lokasi tersebut.
I KADEK SURYA KENCANA, Denpasar
MEMBERSIHKAN sampah adalah upaya nyata merawat ibu pertiwi. Tentu, tak seorang pun rela ibunya kotor. Kesadaran ini digelorakan oleh Perbekel Sumerta Kaja, I Gusti Ngurah Mayun.
Ditemui, Jumat (16/4) siang lalu, Jik Mayun- sapaan akrab sang perbekel- mengisahkan suka-duka di balik peresmian TPS Sadu, 15 November 2020 silam.
Didampingi Kepala Unit TPS Sadu, Made Tirta Jati, dan Jero Mangku Nyoman Rana, ia mengaku mempertaruhkan jabatannya demi bangunan di atas areal 5 are tersebut.
Saat nyaris seluruh kepala desa berfokus pada penanganan pandemi Covid-19, Jik Mayun memilih bergelut dengan sampah.
Semula, TPS Sadu tidak buka untuk masyarakat umum. Hal itu berubah, saat formula bioaktivator terbukti “mengusir” bau sampah.
Bioaktivator ini berupa cairan dengan bau menyerupai tuak. Mengandung bakteri hidup yang berfungsi mengurai bau busuk sampah.
Cairan ini disiram sebelum sampah organik yang terkumpul melewati fase piemisasi atau permentasi pada boks bambu yang dibuat khusus.
Tirta Jati menjelaskan sampah diangkut dengan moci (kendaraan sampah) ke rumah-rumah warga. Setiba di TPS Sadu, sampah dipilah.
Sampah organik dimasukkan ke boks bambu. Sampah ini selanjutnya diratakan sebelum disiram dengan bioaktivator secara merata.
Bioaktivator ini dicampur air murni. 1 berbanding 25 liter untuk satu boks bambu berkapasitas kurang lebih 500 kg sampah organik.
Sampah akan mengering dan menyusut hingga 50 persen jika didiamkan selama 5 hingga 7 hari. Proses berikutnya adalah memasukkan sampah ke mesin pencacah.
Sebelum dimasukkan terlebih dahulu dilakukan sterilisasi dari benda-benda keras seperti kawat, besi, paku, batu, atau sejenisnya.
Hasil cacahan menggunakan mesin Marutha yang dirakit putra daerah ini bisa menghasilkan pupuk organik.
Dalam proses lebih jauh, cacahan sampah setelah masuk mesin press pelet menjadi butiran bahan bakar yang dijuluki batu bara nabati. Kedua jenis mesin yang digunakan ini diproduksi oleh Marutha Bersih Bali.
“Selain sampah organik, kami membutuhkan minimal 20 persen plastik di dalam setiap boks. Kami bisa mengolah pampers, pembalut wanita, masker, dan sejenisnya.
Malah sangat kami butuhkan di sini. Pemulung nolak pampers, soft tex, kami justru sangat butuh. Bahan plastik ini berfungsi sebagai perekat agar pelet yang dihasilkan sempurna,” ucap Tirta Jati.
Rentang jarak antara pemilahan sampah dan penyiraman bioaktivator, terangnya selama 7 hingga 10 hari. “Setelah itu bisa panen. Setelah panen, sampah dicacah, dipelet, dan dijual,” ungkapnya.
Siklus pemilahan sampah hingga menjadi pelet di TPS Sadu, rinci Jik Mayun merupakan pengolahan sampah yang benar-benar selesai di sumber.
Proses reduce, reuse, recycle, recovery, dan regenerative merupakan penerapan pengolahan sampah selesai di sumber dengan metode Saiber Marutha 5 R.
“TPA Sadu kepanjangan dari sampah adalah uang. Dalam metode 5 R, sampah dibagi 2, yakni organik dan nonorganik.
Organik kami jadikan pelet dijual melalui Marutha ke Indonesia Power jadi uang. Yang anorganik kita jual ke pengepul sampah juga jadi uang,” ungkapnya optimis.
Untuk sementara, imbuhnya, TPS Sadu mengolah 2 ton dari target 6 ton sampah per hari. Sampah 2 ton ini menghasilkan pelet paling banyak 1 ton dengan harga jual Rp 500 rupiah per kilogram.
“Daripada tidak berguna, sampah kami olah jadi pelet dan dijual. 2 genggam pelet hasil pengolahan sampah ini bisa menghasilkan api yang tahan hingga satu jam lebih.
Kompor biasa, tanpa bantuan kipas, mendidihkan satu liter air dalam waktu 7 menit 10 detik. Kalau pakai blower (kipas, red) air mendidik di 5 menit 27 detik,” beber Tirta Jati.
Selain dari penjualan pelet, sang perbekel menyebut pihaknya juga mendapatkan pemasukan dari 250 orang pelanggan di wilayah Desa Sumerta Kaja.
Mochi memungut sampah keliling dengan sistem bayar bulanan Rp 30 ribu. “Bedanya kalau yang lain bersifat memindahkan timbunan sampah dari titik A ke B,
kami mengbabiskan sampah hingga berbentuk pelet dan dijual ke Indonesia Power. Masyarakat Sumerta Kaja mendukung karena nominal Rp 30 ribu per bulan dinilai murah.
Hanya Rp 1.000 rupiah per hari,” ungkapnya sembari menyebut TPS Sadu juga menerima sampah dan memperbolehkan masyarakat datang langsung ke TPS.
Sesuai Peraturan Desa (Perdes) Sumerta Kaja, mereka dikenakan biaya Rp 1.000 rupiah berapapun sampah yang dibawa. Timbal balik dari Rp 1.000 rupiah ini, warga mendapat pupuk produksi TPS Sadu.
Jik Mayun menegaskan proses berdirinya TPS Sadu tidak seperti “makan cabe”. Butuh waktu dan kesabaran untuk meyakinkan masyarakat bahwa tempat pembuangan sampah tersebut tidak menimbulkan polusi bau.
Sama seperti pendirian TPS lain, TPS Sadu pun sempat diragukan. Perlahan, saat masyarakat mendapatkan bukti bahwa TPS Sadu tanpa bau barulah dukungan mulai mengalir.
“Saya pribadi memaklumi kenapa sempat ditolak. Faktanya, selama ini masyarakat melihat pengolahan sampah selama ini hanya ambil, angkut, dan buang.
Tentu ini menimbulkan bau yang luar biasa. Hal itulah yang kami sendiri alami mengawali cita-cita pendirian TPS ini. Dulu ada satu tempat yang hendak kami kontrak.
Yang punya tanah tidak masalah, tapi lingkungannya tidak mendukung. Akhirnya pindahlah rencana awal ke lokasi saat ini.
Setelah terbukti bahwa sampah yang kami kelola tidak berbau, barulah adalah kesadaran bahwa ide kami tidak perlu diragukan,” kenangnya.
Demikian juga dengan tenaga kerja TPS Sadu. Semula, banyak yang menyatakan tidak mau. Namun, setelah mereka tahu cara kerja yang dijalankan, yang semula menolak berbalik menyatakan berminat.
Sayangnya, ungkap Jik Mayun, mereka harus bersabar menunggu hingga TPS Sadu diperluas atau mesin dan peralatan lain ditambah. “Dulu kami sempat buka lowongan, namun tidak ada yang mau melamar,” senyumnya.
Kini, TPS Sadu ditunjang 15 personil. 99,99 persen warga asli Sumerta Kaja. “Di awal pendirian, saat image warga masih negatif dengan pendirian TPS ini, saya memilih melempeng saja dan bekerja.
Saya punya prinsip harus tetap jalan apapun resikonya. Termasuk jika saya dipecat sebagai perbekel. Saya siap,” tegas pria berperawakan jangkung itu.
Terkait visi pendirian TPS Sadu, Jik Mayun mengaku dihantui informasi penutupan TPA Suwung di bulan Juni 2021.
Oleh karena itu, bersih lingkungan menjadi salah satu program kerja andalannya di bulan-bulan awal menjabat sebagai perbekel.
Disadarinya, pendidikan bisa off karena Covid-19, namun hal itu tak berlaku bagi sampah. “Saya pertaruhkan jabatan demi terwujudnya TPS Sadu ini.
Saat orang sibuk ngurus Covid-19, kami membagi konsentrasi ke sampah juga. Ternyata, langkah kami di Sumerta Kaja benar.
Kini, sejumlah desa kelabakan karena ada instruksi bahwa Suwung akan ditutup total sementara mereka belum punya tempat.
Mereka hanya menyiapkan tempat menampung yang ujung-ujungnya akan berakhir ke Suwung. Kami nekat berbekal Perwali Denpasar tentang sampah berakhir di sumber.
Saat ini kami bersyukur karena mampu membantu Pemkot Denpasar mengurangi volume sampah ke TPA Suwung,” tandasnya.
Disinggung soal konsep pengelolaan sampah di TPS Sadu, Jik Anom membeberkan pihaknya berkoordinasi dengan LSM Marutha Klungkung.
“Kami kunjungi langsung pengolahan sampah di Sampalan Tengah, Klungkung yang proses pengolahannya sama dengan di sini. Proses akhirnya pelet.
Hasil kunjungan tersebut semakin menguatkan keinginan saya untuk menyelesaikan persoalan sampah di desa. Astungkara terbentuklah TPS Sadu ini,” tegasnya.
Pembangunan TPS Sadu menelan biaya sekitar Rp 500 juta. Jik Mayun bercita-cita membangun TPS Sadu II dengan plot anggaran senilai Rp 1,2 miliar. Biaya tersebut termasuk sewa kontrak tanah.
“Persoalan sampah ini akan selesai jika setiap kepala desa di Bali mau nyemak gae lebih (kerja susah, red),” ujarnya.
Menariknya, sang perbekel menyebut pihaknya mendapat “serangan sekala niskala” dalam perjuangan mendirikan TPS Sadu.
Percaya tidak percaya, ungkapnya, TPS Sadu pernah diserbu ribuan buyung bangkai (lalat bangkai) padahal sampah yang diolah tanpa bau.
Akhirnya, mereka meminta petunjuk niskala hingga gerombolan lalat seketika menghilang. “Ini memang kisah di luar nalar, tapi itulah faktanya perjuangan kami sejak awal. Sekarang astungkara sudah berjalan lancar,” ungkapnya.
Seiring semakin diandalkannya TPS Sadu, Jik Mayun mengatakan pihaknya sudah tidak sabar menambah mesin cacah, khususnya cacah batang.
Selain itu, penambahan mesin cacah sampah dan pembuatan pelet juga sangat diidam-idamkan. “Terus terang saja. Kendala kami hanya soal dana.
Untuk tanah kontrakan di sebelah kami juga belum bisa membangun gedung. Kalau ditanya ideal, ya sebenarnya 10 are rencana
pembangunan tahap 2 ini masih sangat kurang. Jumlah Mochi pengangkut sampah yang hanya 4 unit juga masih sangat kurang,” keluhnya.
“Waktu Pak Walikota ke sini kami demokan bahan bakar pelet sampah alias batubara nabati ini. Mudah-mudahan, Desa Sumerta Kaja yang mampu mengolah sampah
sampai akhir ini dilirik oleh pemerintah, khususnya Gubernur Bali. Agar tidak ada lagi istilah persoalan sampah beres, namun fakta di lapangan berbeda,” tutupnya. (*)