28.2 C
Jakarta
14 Desember 2024, 1:10 AM WIB

Gulai Cham

“Masjid near me,” tulis saya di Google Search.

Muncullah nama dan lokasi beberapa masjid. Tapi jarak yang terdekat 60 km. Padahal waktu buka puasa tinggal satu jam lagi.

Saya memang lagi di kota Biên Hòa saat itu. Sebuah kota kecil. Pusat industri yang sangat besar di Vietnam. Sekitar 60 km dari Ho Chi Minh City.

Tidak mungkin buka puasa bersama. 

Dua hari kemudian saya buka Google Search lagi.

“Masjid near me.”

Jawabannya lebih tidak terjangkau. Yang terdekat hampir 200 km.

Saat itu saya sudah pindah ke kota Nha Trang. Di tengah Vietnam. Kota kecil yang lagi bangkit. Dengan potensi wisata pantainya.

Saya naik kereta dari Biên Hòa ke Nha Trang: 7 jam. Mirip kereta kita 15 tahun yang lalu. Dari delapan gerbong itu separo masih pakai kursi kayu. Keras. Separo lagi pakai kursi empuk. Yang mirip eksekutif. Kursinya bisa disetel derajat tegaknya.

Melihat kanan-kiri rel perasaan saya seperti ketika melintas di Flores tengah. Tanahnya kering. Sepanjang jalan yang terlihat hanya pohon jambu mente. Tanahnya berbatu.

Beda sekali dengan wilayah selatan Vietnam. Yang sangat subur. Sepanjang mata memandang hanya sawah dan sawah. Vietnam surplus beras selama ini.

Di Nha Trang saya juga tidak bisa buka bersama.

Saya masih ingin ke utara lagi. Ke sebuah kota yang di zaman kuno bernama Indrapura. Kota Indrapura di Vietnam! 

Untuk ke Indrapura harus melewati kota kecil yang dulu bernama Vijaya. Yakni di zaman Majapahit. 

Tapi saya pernah ke kota itu. Yakni saat saya ke Hội An. Yang pernah menjadi kota terbesar di Asia Tenggara. Mengalahkan Batavia, Siam, Temasek, Srivijaya dan seterusnya. Kini Hội An hanya kota kecamatan yang amat kecil. 

Kota Indrapura itu sendiri sekarang bernama Da Nang. Posisi di Vietnam-nya tepat di tengah. Antara ujung selatan Vietnam dan ujung utara. Yang pernah jadi pangkalan terbesar tentara Amerika. Saat terjadi perang Vietnam tahun 1968-1975. Jatuhnya Da Nang ke tangan Vietkong menjadi awal kekalahan Amerika di perang Vietnam. Pesawat-pesawat pembom Amerika yang parkir di Bandara Da Nang diterbangkan ke arah Biên Hòa dan Saigon. Dengan pilot yang sudah membelot. Mengebom pesawat-pesawat Amerika sendiri di Biên Hòa.

Ketika kota Da Nang masih bernama Indrapura belum ada Google. Seandainya sudah ada jawaban “Masjid near me” pasti “500 meter”. Atau “1 km”. Paling jauh.

Zaman itu, abad ke 7, Indrapura masih menjadi bagian dari kerajaan Cham. Yang dalam buku sejarah kita kenal dengan Champa.

Yang salah satu putri tercantiknya diperistri raja ke tujuh Majapahit.

Nama kota Vijaya sendiri senasib dengan Indrapura. Hanya dikenal dalam sejarah. Kota Vijaya sekarang hanya dikenal sebagai Quy Nhơn.

Sudah sulit cari masjid di wilayah tengah Vietnam. 

“Masjid near me,” tulis saya di Google Search. Tiga hari kemudian.

“1,2 Km,” jawab Google. 

Saya kaget. Begitu dekatnya. Bisa jalan kaki. Waktunya masih cukup. Buka puasa baru satu jam lagi.

Saat itu saya memang sudah pindah kota: Ho Chi Minh City. Yang dulu bernama Saigon.

Masjid terdekat itu ternyata di pusat kota. Seandainya saya jadi menginap di Sheraton Saigon Hotel & Towers, azannya pun bisa kedengaran dari hotel. Masjid itu menempel di dinding utara Sheraton. 

Hari itu saya sulit cari hotel. Sheraton pun penuh. Saat ke Sheraton saya tidak memperhatikan: ada masjid di sebelah temboknya.

Halaman masjid itu cukup luas. 

Saya ikut duduk-duduk di halaman itu. Di kursi kosong yang sebenarnya tempat satpam. Tiga kursi lagi sudah diduduki –dugaan saya- orang yang juga ingin berbuka puasa gratis di masjid itu.

“Assalamualaikum,” sapa saya.

Tiga orang itu serentak menjawab salam saya. Salah satunya bertopi putih. Berbaju panjang. Berjenggot. Masih sangat muda. 

Saya sulit ngobrol dengan mereka. Tidak ada yang bisa berbahasa Inggris. Saya jelaskan bahwa saya dari Indonesia. Yang bertopi putih itu langsung serius. Seperti sedang berpikir keras.

“Apa kabar,” katanya tiba-tiba. 

Rupanya ia tadi berpikir keras untuk mengingat sejumlah kata dalam Bahasa Indonesia.

“Kabar baik,” jawab saya. “Bisa berbahasa Indonesia?,“ tanya saya.

“Bi.. bi.. sa.. melayu. Sikik,” jawabnya dengan susah payah.

Kian senja kian banyak yang masuk halaman masjid. Salah satunya menyapa saya. Yang bertopi putih itu memperkenalkan saya dari Indonesia.

Yang baru datang itu langsung nerocos. Cakap Melayu. Lancar sekali. Namanya: Asy’ari bin Ismail. 

“Kami ini orang Cham,” katanya. “Ia bukan orang sini,” tambahnya sambil menunjuk yang bertopi putih. “Ia ini orang Tabligh.”

Ternyata ada juga Jamaah Tabligh di Vietnam yang komunis. Yang kalau di Jakarta pusatnya di masjid Kebon Jeruk di Jalan Hayam Wuruk.

“Kami ada 13 orang Tabligh di masjid ini. Besok sudah akan pindah ke daerah lain,” ujar si topi putih lewat penerjemah Melayu.

Suku Cham sekarang sudah sangat minoritas di Vietnam. Tinggal sekitar 5 persen. Atau sekitar 4 juta orang. Umumnya tinggal di wilayah paling Selatan Vietnam. Yang berbatasan dengan wilayah paling Selatan Kamboja. Yang juga banyak suku Cham-nya.

Suku Cham inilah yang umumnya beragama Islam. Ahlus sunnah wal jamaah. Sebelum berbuka tahlil bersama dulu. 

Dulunya kerajaan Cham sangat luas. Mencakup Vietnam selatan, Kamboja, sebagian timur Thailand dan semenanjung Malaysia.

Kerajaan Cham berbahasa Melayu lama. Kini tinggal sembilan kecamatan yang masih terbiasa dengan Bahasa Melayu.

Sambil tahlil kita sudah duduk berbaris berhadapan. Di teras masjid. Menghadap makanan di piring: kurma, ote-ote polos, dan pisang Ambon. Saya makan pisang dan ote-ote. Kurmanya biar di makan orang di depan saya. Hanya dua butir.

Waktu saya masuk masjid terlihat tiga anak muda memperhatikan saya. Lalu saling berisik. Saya salami mereka.

“Pak Dahlan Iskan ya?,“ tanyanya. “Tadi kami tidak yakin. Sekarang yakin. Ada tahi lalat di bawah mata,” katanya. Ternyata mereka tadi googling. Saat saya masih ngobrol di halaman. Cari foto saya. Untuk mencari tahi lalat itu.

Mereka ternyata Syafin Kurniawan (ITS kimia), Muhibuddin (Unlam Banjarmasin) dan Dani Hamdani (Unisba Bandung). Lagi rapat di Ho Chi Minh. Mewakili perusahaan mereka Suntory Garuda.

Belakangan datang lagi dua anak muda Indonesia: Irvan Effendi dan Bambang Irwanto. “Kami lagi visit customer,” ujar Irvan, dari pabrik kertas rokok di Karawang. Banyak perusahaan rokok di Vietnam yang ternyata pakai kertas dari pabrik grup Djarum itu.

Sehabis salat maghrib saya bergegas balik ke hotel. Ada acara yang harus saya penuhi. Orang Cham tadi mengejar saya: harus ikut makan bersama.

Saya tetap pamitan. Ia tampak kecewa. Lalu lari ke arah dapur. Mengambil makanan. Agar saya membawanya. Saya cium aromanya: nasi dan gulai kambing.(Dahlan Iskan)

“Masjid near me,” tulis saya di Google Search.

Muncullah nama dan lokasi beberapa masjid. Tapi jarak yang terdekat 60 km. Padahal waktu buka puasa tinggal satu jam lagi.

Saya memang lagi di kota Biên Hòa saat itu. Sebuah kota kecil. Pusat industri yang sangat besar di Vietnam. Sekitar 60 km dari Ho Chi Minh City.

Tidak mungkin buka puasa bersama. 

Dua hari kemudian saya buka Google Search lagi.

“Masjid near me.”

Jawabannya lebih tidak terjangkau. Yang terdekat hampir 200 km.

Saat itu saya sudah pindah ke kota Nha Trang. Di tengah Vietnam. Kota kecil yang lagi bangkit. Dengan potensi wisata pantainya.

Saya naik kereta dari Biên Hòa ke Nha Trang: 7 jam. Mirip kereta kita 15 tahun yang lalu. Dari delapan gerbong itu separo masih pakai kursi kayu. Keras. Separo lagi pakai kursi empuk. Yang mirip eksekutif. Kursinya bisa disetel derajat tegaknya.

Melihat kanan-kiri rel perasaan saya seperti ketika melintas di Flores tengah. Tanahnya kering. Sepanjang jalan yang terlihat hanya pohon jambu mente. Tanahnya berbatu.

Beda sekali dengan wilayah selatan Vietnam. Yang sangat subur. Sepanjang mata memandang hanya sawah dan sawah. Vietnam surplus beras selama ini.

Di Nha Trang saya juga tidak bisa buka bersama.

Saya masih ingin ke utara lagi. Ke sebuah kota yang di zaman kuno bernama Indrapura. Kota Indrapura di Vietnam! 

Untuk ke Indrapura harus melewati kota kecil yang dulu bernama Vijaya. Yakni di zaman Majapahit. 

Tapi saya pernah ke kota itu. Yakni saat saya ke Hội An. Yang pernah menjadi kota terbesar di Asia Tenggara. Mengalahkan Batavia, Siam, Temasek, Srivijaya dan seterusnya. Kini Hội An hanya kota kecamatan yang amat kecil. 

Kota Indrapura itu sendiri sekarang bernama Da Nang. Posisi di Vietnam-nya tepat di tengah. Antara ujung selatan Vietnam dan ujung utara. Yang pernah jadi pangkalan terbesar tentara Amerika. Saat terjadi perang Vietnam tahun 1968-1975. Jatuhnya Da Nang ke tangan Vietkong menjadi awal kekalahan Amerika di perang Vietnam. Pesawat-pesawat pembom Amerika yang parkir di Bandara Da Nang diterbangkan ke arah Biên Hòa dan Saigon. Dengan pilot yang sudah membelot. Mengebom pesawat-pesawat Amerika sendiri di Biên Hòa.

Ketika kota Da Nang masih bernama Indrapura belum ada Google. Seandainya sudah ada jawaban “Masjid near me” pasti “500 meter”. Atau “1 km”. Paling jauh.

Zaman itu, abad ke 7, Indrapura masih menjadi bagian dari kerajaan Cham. Yang dalam buku sejarah kita kenal dengan Champa.

Yang salah satu putri tercantiknya diperistri raja ke tujuh Majapahit.

Nama kota Vijaya sendiri senasib dengan Indrapura. Hanya dikenal dalam sejarah. Kota Vijaya sekarang hanya dikenal sebagai Quy Nhơn.

Sudah sulit cari masjid di wilayah tengah Vietnam. 

“Masjid near me,” tulis saya di Google Search. Tiga hari kemudian.

“1,2 Km,” jawab Google. 

Saya kaget. Begitu dekatnya. Bisa jalan kaki. Waktunya masih cukup. Buka puasa baru satu jam lagi.

Saat itu saya memang sudah pindah kota: Ho Chi Minh City. Yang dulu bernama Saigon.

Masjid terdekat itu ternyata di pusat kota. Seandainya saya jadi menginap di Sheraton Saigon Hotel & Towers, azannya pun bisa kedengaran dari hotel. Masjid itu menempel di dinding utara Sheraton. 

Hari itu saya sulit cari hotel. Sheraton pun penuh. Saat ke Sheraton saya tidak memperhatikan: ada masjid di sebelah temboknya.

Halaman masjid itu cukup luas. 

Saya ikut duduk-duduk di halaman itu. Di kursi kosong yang sebenarnya tempat satpam. Tiga kursi lagi sudah diduduki –dugaan saya- orang yang juga ingin berbuka puasa gratis di masjid itu.

“Assalamualaikum,” sapa saya.

Tiga orang itu serentak menjawab salam saya. Salah satunya bertopi putih. Berbaju panjang. Berjenggot. Masih sangat muda. 

Saya sulit ngobrol dengan mereka. Tidak ada yang bisa berbahasa Inggris. Saya jelaskan bahwa saya dari Indonesia. Yang bertopi putih itu langsung serius. Seperti sedang berpikir keras.

“Apa kabar,” katanya tiba-tiba. 

Rupanya ia tadi berpikir keras untuk mengingat sejumlah kata dalam Bahasa Indonesia.

“Kabar baik,” jawab saya. “Bisa berbahasa Indonesia?,“ tanya saya.

“Bi.. bi.. sa.. melayu. Sikik,” jawabnya dengan susah payah.

Kian senja kian banyak yang masuk halaman masjid. Salah satunya menyapa saya. Yang bertopi putih itu memperkenalkan saya dari Indonesia.

Yang baru datang itu langsung nerocos. Cakap Melayu. Lancar sekali. Namanya: Asy’ari bin Ismail. 

“Kami ini orang Cham,” katanya. “Ia bukan orang sini,” tambahnya sambil menunjuk yang bertopi putih. “Ia ini orang Tabligh.”

Ternyata ada juga Jamaah Tabligh di Vietnam yang komunis. Yang kalau di Jakarta pusatnya di masjid Kebon Jeruk di Jalan Hayam Wuruk.

“Kami ada 13 orang Tabligh di masjid ini. Besok sudah akan pindah ke daerah lain,” ujar si topi putih lewat penerjemah Melayu.

Suku Cham sekarang sudah sangat minoritas di Vietnam. Tinggal sekitar 5 persen. Atau sekitar 4 juta orang. Umumnya tinggal di wilayah paling Selatan Vietnam. Yang berbatasan dengan wilayah paling Selatan Kamboja. Yang juga banyak suku Cham-nya.

Suku Cham inilah yang umumnya beragama Islam. Ahlus sunnah wal jamaah. Sebelum berbuka tahlil bersama dulu. 

Dulunya kerajaan Cham sangat luas. Mencakup Vietnam selatan, Kamboja, sebagian timur Thailand dan semenanjung Malaysia.

Kerajaan Cham berbahasa Melayu lama. Kini tinggal sembilan kecamatan yang masih terbiasa dengan Bahasa Melayu.

Sambil tahlil kita sudah duduk berbaris berhadapan. Di teras masjid. Menghadap makanan di piring: kurma, ote-ote polos, dan pisang Ambon. Saya makan pisang dan ote-ote. Kurmanya biar di makan orang di depan saya. Hanya dua butir.

Waktu saya masuk masjid terlihat tiga anak muda memperhatikan saya. Lalu saling berisik. Saya salami mereka.

“Pak Dahlan Iskan ya?,“ tanyanya. “Tadi kami tidak yakin. Sekarang yakin. Ada tahi lalat di bawah mata,” katanya. Ternyata mereka tadi googling. Saat saya masih ngobrol di halaman. Cari foto saya. Untuk mencari tahi lalat itu.

Mereka ternyata Syafin Kurniawan (ITS kimia), Muhibuddin (Unlam Banjarmasin) dan Dani Hamdani (Unisba Bandung). Lagi rapat di Ho Chi Minh. Mewakili perusahaan mereka Suntory Garuda.

Belakangan datang lagi dua anak muda Indonesia: Irvan Effendi dan Bambang Irwanto. “Kami lagi visit customer,” ujar Irvan, dari pabrik kertas rokok di Karawang. Banyak perusahaan rokok di Vietnam yang ternyata pakai kertas dari pabrik grup Djarum itu.

Sehabis salat maghrib saya bergegas balik ke hotel. Ada acara yang harus saya penuhi. Orang Cham tadi mengejar saya: harus ikut makan bersama.

Saya tetap pamitan. Ia tampak kecewa. Lalu lari ke arah dapur. Mengambil makanan. Agar saya membawanya. Saya cium aromanya: nasi dan gulai kambing.(Dahlan Iskan)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/