29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 10:09 AM WIB

Agama Bukan Alat Penghancur, Bali Kuat dengan Menyama Braya

Toleransi dalam konsep nyame braya di Bali sudah terbangun sejak zaman raja-raja. Lewat sebuah akulturasi budaya yang menyatukan umat dalam agama yang berbeda.

 

 

KADEK SURYA KENCANA, Denpasar 

SEORANG tokoh humanis Bali yang pernah menjadi dosen Ilmu Perbandingan Agama di IHDN Denpasar, I Gusti Ngurah Harta, mengungkapkan, bahwa perbedaan adalah kekayaan budaya.

Menurutnya, kunci sebuah toleransi bermula dari karakter budi pekerti. “Pada dasarnya konsep beragama yang konstruktif yang kita inginkan berkembang di Bali.

Karena itu setiap mesti punya budi pekerti baik, baru tanamkan nilai-nilai agama,” ungkap pinisepuh perguruan kebathinan dan beladiri Sandi Murthi, ini dalam sebuah perbincangan dengan Jawa Pos Radar Bali ini.

Diungkapkan, zaman Raja Dalem Watu Renggong Klungkung, ada utusan Wali Songo untuk meng-Islamkan Bali, namun tidak berhasil.

Meski begitu utusan Wali Songo tidak diperkenankan pulang ke Jawa. Sebaliknya diberi lahan dan tempat oleh raja Gelgel.

“Makanya ada nama Pura Dalem Mekah, Pura Solo dan lainnya. Sejak itu, akulturasi budaya antara Islam dan Hindu mulai terjalin di Bali. Lihat saja di Saren Jawa di Karangasem,” ungkap Ngurah Harta.

Sejak itu, lanjutnya, muncul tradisi safaran, nyame Bali, nyame Selam. Dijelaskan, Islam masuk ke tanah Jawa sekitar abad ke-7 masehi.

Dan, lewat pendekatan kultural yang luar biasa oleh para Wali Songo, Islam masuk ke Indonesia tanpa peperangan dan pertumpahan darah.

Berbeda dengan di negara Eropa dan Timur Tengah, dimana Islam masuk dengan peperangan. “Kita di Indonesia ratusan suku, budaya dan beberapa agama,

nah menjadi contoh bagi negara lain, bagaimana dengan banyak suku dan budaya bisa memimpin dan membentuk negara dengan rukun,” bebernya.

Disinggung adanya upaya pemaksaan kehendak pasca Pilpres (17/5) lalu, Ngurah Harta menyeru agar semua pihak agar agama tidak dibawa ke ranah politik.

Sebab agama bisa menjadi alat penghancur kerukunan. “Islam kan rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam. Jangan bahasanya kebersamaan tapi menghancurkan,” tandasnya.

Hal senada juga diungkapkan Ketua Bidang Kerukunan antar Umat Beragama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Bali, Drs. Yahya Anshori, MSi.

Menurutnya, Bali ini pulau Sejuta Pura, The Island of Good, Pulau Surga (the Paradise Island). “Inilah sebutan Bali yang kini dikenal sebagai destinasi pariwisata budaya yang terkenal di dunia,” katanya.

Dijelaskan, potensi budaya yang menjadi daya tarik Bali bukan hanya berwujud realitas kehidupan dan seni-budaya masyarakat Hindu Bali, tetapi juga realitas kehidupan dan tradisi komunitas muslim di Bali.

Disebutkan, komunitas muslim di Bali terdapat di beberapa kampung muslim seperti Kampung Gelgel, (Klungkung),

Pegayaman (Buleleng), Kepaon (Denpasar), kampung Bugis  Tuban (Badung), Pulukan dan Loloan Barat dan Loloan Timur di Kabupaten Jembrana.

Proses masuknya Islam di Bali berlangsung seperti masuknya Islam di wilayah Nusantara lainnya. Yakni, melalui adaptasi budaya yang dialogis.

Secara umum, Islam hadir di nusantara termasuk di Bali melalui jalur dakwah kemanusiaan yang simpatik, melalui jalur perdagangan, dan kekerabatan.

Umat Islam di Bali, bukan pendatang baru. Sebab di semua wilayah di Bali umat Islam terkait erat dengan pusat-pusat kekuasaan (puri) setempat.

Masyarakat Kepaon memiliki hubungan erat dengan Puri Pemecutan Denpasar. Masyarakat muslim di Kampung Loloan memiliki hubungan yang erat dengan Puri Jembrana.

Begitu pula masyarakat muslim di Kampung Ujung, Kampung Kecicang juga memiliki hubungan yang erat dengan Puri Karangasem.

Diuraikan, bentuk kerukunan umat Islam dan umat Hindu di Loloan terwujud dalam berbagai aspek kehidupan, yaitu aspek kehidupan sosial-keagamaan, sosial-budaya, dan sosial ekonomi.

Dalam bentuk kehidupan sosial-keagamaan, kerukunan itu antara lain diwujudkan dengan tradisi saling mengantar makanan (ngejot),

tradisi silaturahnmi pada hari raya besar agama (Galungan, Idul fitri), dan pelaksanaan kesepakatan merayakan hari raya agama secara bersamaan.

“Yang menarik dalam beberapa tahun terakhir, kerukunan umat Islam-Hindu ini juga tercermin dalam terlibatnya pecalang

sebagai seksi keamanan dalam acara salat Jumat dan acara hajatan (sunatan-perkawinan) dan lainnya,” ungkap Yahya.

Kerukunan umat Islam dan Hindu di Bali didasari semangat menyame braya (persaudaraan). Kendati berbeda agama, dianggap sesaudara.

Secara mendasar hubungan menyamebraya antara umat Islam-Hindu ini dilandasi nilai-nilai yang meliputi nilai teologis, nilai budaya,  dan nilai kesetaraan (equality).

Budaya menyama braya antara umat Hindu dan umat Islam masih nampak kokoh. Mereka masih bisa mempertahankan dan menyebut

saudaranya sebagai nyame selam, atau menyebut saudaranya yang beragama Hindu sebagai nyame Hindu.

Yahya juga mengimbau, walau sempat panas, terjadi ketegangan karena beda pilihan politik, semangat menyama braya tak boleh luntur.

Justru persaudaraan sebangsa (hablum wathoniah) harus dipupuk kembali, sehingga keharmonisan sosial antar umat menjadi kuat kembali.

“Kita harus menjunjung tingggi Bhinneka Tunggal Ika, Berbeda itu indah, bayangkan, taman itu akan membosankan jika hanya ada satu warna,” ujarnya. (*)

 

 

Toleransi dalam konsep nyame braya di Bali sudah terbangun sejak zaman raja-raja. Lewat sebuah akulturasi budaya yang menyatukan umat dalam agama yang berbeda.

 

 

KADEK SURYA KENCANA, Denpasar 

SEORANG tokoh humanis Bali yang pernah menjadi dosen Ilmu Perbandingan Agama di IHDN Denpasar, I Gusti Ngurah Harta, mengungkapkan, bahwa perbedaan adalah kekayaan budaya.

Menurutnya, kunci sebuah toleransi bermula dari karakter budi pekerti. “Pada dasarnya konsep beragama yang konstruktif yang kita inginkan berkembang di Bali.

Karena itu setiap mesti punya budi pekerti baik, baru tanamkan nilai-nilai agama,” ungkap pinisepuh perguruan kebathinan dan beladiri Sandi Murthi, ini dalam sebuah perbincangan dengan Jawa Pos Radar Bali ini.

Diungkapkan, zaman Raja Dalem Watu Renggong Klungkung, ada utusan Wali Songo untuk meng-Islamkan Bali, namun tidak berhasil.

Meski begitu utusan Wali Songo tidak diperkenankan pulang ke Jawa. Sebaliknya diberi lahan dan tempat oleh raja Gelgel.

“Makanya ada nama Pura Dalem Mekah, Pura Solo dan lainnya. Sejak itu, akulturasi budaya antara Islam dan Hindu mulai terjalin di Bali. Lihat saja di Saren Jawa di Karangasem,” ungkap Ngurah Harta.

Sejak itu, lanjutnya, muncul tradisi safaran, nyame Bali, nyame Selam. Dijelaskan, Islam masuk ke tanah Jawa sekitar abad ke-7 masehi.

Dan, lewat pendekatan kultural yang luar biasa oleh para Wali Songo, Islam masuk ke Indonesia tanpa peperangan dan pertumpahan darah.

Berbeda dengan di negara Eropa dan Timur Tengah, dimana Islam masuk dengan peperangan. “Kita di Indonesia ratusan suku, budaya dan beberapa agama,

nah menjadi contoh bagi negara lain, bagaimana dengan banyak suku dan budaya bisa memimpin dan membentuk negara dengan rukun,” bebernya.

Disinggung adanya upaya pemaksaan kehendak pasca Pilpres (17/5) lalu, Ngurah Harta menyeru agar semua pihak agar agama tidak dibawa ke ranah politik.

Sebab agama bisa menjadi alat penghancur kerukunan. “Islam kan rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam. Jangan bahasanya kebersamaan tapi menghancurkan,” tandasnya.

Hal senada juga diungkapkan Ketua Bidang Kerukunan antar Umat Beragama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Bali, Drs. Yahya Anshori, MSi.

Menurutnya, Bali ini pulau Sejuta Pura, The Island of Good, Pulau Surga (the Paradise Island). “Inilah sebutan Bali yang kini dikenal sebagai destinasi pariwisata budaya yang terkenal di dunia,” katanya.

Dijelaskan, potensi budaya yang menjadi daya tarik Bali bukan hanya berwujud realitas kehidupan dan seni-budaya masyarakat Hindu Bali, tetapi juga realitas kehidupan dan tradisi komunitas muslim di Bali.

Disebutkan, komunitas muslim di Bali terdapat di beberapa kampung muslim seperti Kampung Gelgel, (Klungkung),

Pegayaman (Buleleng), Kepaon (Denpasar), kampung Bugis  Tuban (Badung), Pulukan dan Loloan Barat dan Loloan Timur di Kabupaten Jembrana.

Proses masuknya Islam di Bali berlangsung seperti masuknya Islam di wilayah Nusantara lainnya. Yakni, melalui adaptasi budaya yang dialogis.

Secara umum, Islam hadir di nusantara termasuk di Bali melalui jalur dakwah kemanusiaan yang simpatik, melalui jalur perdagangan, dan kekerabatan.

Umat Islam di Bali, bukan pendatang baru. Sebab di semua wilayah di Bali umat Islam terkait erat dengan pusat-pusat kekuasaan (puri) setempat.

Masyarakat Kepaon memiliki hubungan erat dengan Puri Pemecutan Denpasar. Masyarakat muslim di Kampung Loloan memiliki hubungan yang erat dengan Puri Jembrana.

Begitu pula masyarakat muslim di Kampung Ujung, Kampung Kecicang juga memiliki hubungan yang erat dengan Puri Karangasem.

Diuraikan, bentuk kerukunan umat Islam dan umat Hindu di Loloan terwujud dalam berbagai aspek kehidupan, yaitu aspek kehidupan sosial-keagamaan, sosial-budaya, dan sosial ekonomi.

Dalam bentuk kehidupan sosial-keagamaan, kerukunan itu antara lain diwujudkan dengan tradisi saling mengantar makanan (ngejot),

tradisi silaturahnmi pada hari raya besar agama (Galungan, Idul fitri), dan pelaksanaan kesepakatan merayakan hari raya agama secara bersamaan.

“Yang menarik dalam beberapa tahun terakhir, kerukunan umat Islam-Hindu ini juga tercermin dalam terlibatnya pecalang

sebagai seksi keamanan dalam acara salat Jumat dan acara hajatan (sunatan-perkawinan) dan lainnya,” ungkap Yahya.

Kerukunan umat Islam dan Hindu di Bali didasari semangat menyame braya (persaudaraan). Kendati berbeda agama, dianggap sesaudara.

Secara mendasar hubungan menyamebraya antara umat Islam-Hindu ini dilandasi nilai-nilai yang meliputi nilai teologis, nilai budaya,  dan nilai kesetaraan (equality).

Budaya menyama braya antara umat Hindu dan umat Islam masih nampak kokoh. Mereka masih bisa mempertahankan dan menyebut

saudaranya sebagai nyame selam, atau menyebut saudaranya yang beragama Hindu sebagai nyame Hindu.

Yahya juga mengimbau, walau sempat panas, terjadi ketegangan karena beda pilihan politik, semangat menyama braya tak boleh luntur.

Justru persaudaraan sebangsa (hablum wathoniah) harus dipupuk kembali, sehingga keharmonisan sosial antar umat menjadi kuat kembali.

“Kita harus menjunjung tingggi Bhinneka Tunggal Ika, Berbeda itu indah, bayangkan, taman itu akan membosankan jika hanya ada satu warna,” ujarnya. (*)

 

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/