29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 9:56 AM WIB

Alat Guling dari yang Sederhana sampai Motor Listrik

Festival Kerambitan memasuki tahun ketiga. Dibuka Kamis (19/10) malam, pagelaran ini diisi beragam kegiatan. Salah satunya parade ngguling celeng yang digelar Jumat (10/10) siang hingga petang.

 

YOYO RAHARYO, Tabanan

ASAP mengepul dari sisi selatan Lapangan Kerambitan, Tabanan Jumat siang itu. Asap tersebut datang dari aktivitas para lekaki yang sedang membakar babi dengan cara diguling.

Sebanyak 28 desa pekraman di Kecamatan Kerambitan ikut dalam parade nguling babi sebagai rangkaian dari festival yang berlangsung selama empat hari dari Kamis sampai Minggu (21/10).

”Babi guling kerambitan cukup dikenal. Makanya tahun ini bikin parade nguling. Tahun lalu bikin lawar,” papar Camat Kerambitan I Gede Sukadana didampingi Sekcam Kerambitan I Gusti Made Darma Arianta di sela parade nguling.

Mengguling babi melalui prosesi yang unik. Setelah babi dipotong, bulu-bulunya dibakar dan jeroannya dikeluarkan.

 Orang Bali, sebagaimana orang Nusantara memang tidak pernah lepas dari rempah-rempah. Maka, agar terasa gurih dan nikmat, babi yang akan diguling pun diberikan bumbu.

Caranya, bumbu itu dimasukkan olahan bumbu lengkap.  Di antaranya jahe, kencur, kunyit, lengkuas, garam dan lainnya. Agar lebih nikmat, bumbu yang sudah dihaluskan itu dicampur dengan daun singkong.

”Kalau ada bumbunya, ketika diguling bumbunya meresap ke daging babi,” ujar Wayan Sumerta, 54, salah satu peserta parade nguling asal Desa Pekraman Meliling.

Satu sekaa (kelompok) nguling bisa belasan orang ikut. Di saat sebagian anggota sekaa membumbui babi yang akan diguling, sisanya menyiapkan tempat pembakaran. Kayu-kayu papan disiapkan sebagai bahan bakar.

“Bara api harus diatur tidak boleh sampai menimbulkan api yang besar. Kalau api terlalu besar, bisa gosong,

tapi daging dalamnya tidak matang,” imbuh Sumerta yang bertugas sebagai pengontrol api dan penyapu abu yang menempel di kulit babi selama pembakaran babi.

Secara prinsip, mengguling babi tidak ada yang beda dari 24 peserta parade nguling. Babi yang ditusuk dari belakang tembus ke mulut itu dibakar di atas bara.

Tongkat dari kayu atau besi sebagai tusukan babi pun harus terus diputar agar babi matang sempurna. Selama diguling, babi mengeluarkan cairan lemak dari kulit.

Dan selama pembakaran, abu beterbangan hingga menempel di kulit babi. Satu atau dua orang pun harus sigap menyapu abu yang menempel di kulit menggunakan sapu lidi yang masih ada sisa-sisa daun kepala.

“Kalau abu yang nempel tidak disapu bisa gosong kulit babinya. Ini harus terus diasapi,” terangnya. Mengguling babi butuh waktu panjang.

Agar dagingnya terasa nikmat, bisa menghabiskan empat jam. Maka, anggota sekaa nguling yang bertugas memutar tongkat tidak sendiri. Bisa tiga orang.

“Kalau sendirian, lumayan capek juga. Karena harus terus berputar,” terangnya. Di parade nguling ini, untuk memutar babi guling pun cukup beragam.

Grup nguling dari Desa Meliling masing menggunakan alat yang sederhana. Tongkat untuk menusuk babi menggunakan kayu waru. Tusukan ini berputar dengan tumpuan dua bambu di ujung depan dan belakang. Cara tradisional ini menimbulkan suara berderit yang khas dari gesekan kayu dengan bambu. Untuk memudahkan memutar kayu, kelompok nguling dari Meliling ini memaku kayu secara menyilang pada tongkat penusuk layaknya stang.

Bila ada yang masih tradisional, sebagian besar alat mengguling menggunakan penusuk dari besi. Pada ujung pemutar dilas layaknya stir mobil.

Tidak ada suara yang khas dari peralatan guling babi model ini. Yang menarik dari parade ini adalah ada yang mengguling menggunakan pemutar dari motor listrik. Desa Tibubiu menggunakan alat yang sedikit modern ini.

Sepanjang guling babi, sekaha ini pun tak capek-capek memutar besir penusuk babi. Tinggal colok ke listrik, dinamo pun berputar yang menggerakkan katrol, sabuk karet (belt) dan menggerakkan gir dan rantai serta tongkat penusuk.

“Kalau pakai ini putarannya  konstan. Teratur. Babi pun mateng merata,” kata Made Ardena, Kepala Desa Tibubiu yang ikut dalam acara nguling ini.

Dilihat hasilnya, penggunakan alat ini memang relative lebih bagus dibanding yang menggunakan cara sederhana. Kulit babi tampak coklat merata.

Tidak ada bagian-bagian yang gosong. Anggota sekaha pun duduk-duduk santai, sambil mendengarkan suara gamelan Bali yang diputar dari smartphone dan speaker.

Hanya satu dua orang saja yang bertugas mengatur api agar tidak membesar dan menyapu abu yang menempel di kulit babi.

Sepanjang parade, keceriaan tampak dari para peserta. Apalagi kalau ada suara-suara meledak dari kayu yang terbakar.

Parade nguling babi ini selesai Pukul 18.00. Babi-babi itu pun ditaruh di atas meja-meja di tengah lapangan. 

Mulai Pukul 19.00, warga dari desa-desa mereka, dan penonton bebas memakan babi guling sambil menikmati suguhan Festival Kerambitan

Festival Kerambitan memasuki tahun ketiga. Dibuka Kamis (19/10) malam, pagelaran ini diisi beragam kegiatan. Salah satunya parade ngguling celeng yang digelar Jumat (10/10) siang hingga petang.

 

YOYO RAHARYO, Tabanan

ASAP mengepul dari sisi selatan Lapangan Kerambitan, Tabanan Jumat siang itu. Asap tersebut datang dari aktivitas para lekaki yang sedang membakar babi dengan cara diguling.

Sebanyak 28 desa pekraman di Kecamatan Kerambitan ikut dalam parade nguling babi sebagai rangkaian dari festival yang berlangsung selama empat hari dari Kamis sampai Minggu (21/10).

”Babi guling kerambitan cukup dikenal. Makanya tahun ini bikin parade nguling. Tahun lalu bikin lawar,” papar Camat Kerambitan I Gede Sukadana didampingi Sekcam Kerambitan I Gusti Made Darma Arianta di sela parade nguling.

Mengguling babi melalui prosesi yang unik. Setelah babi dipotong, bulu-bulunya dibakar dan jeroannya dikeluarkan.

 Orang Bali, sebagaimana orang Nusantara memang tidak pernah lepas dari rempah-rempah. Maka, agar terasa gurih dan nikmat, babi yang akan diguling pun diberikan bumbu.

Caranya, bumbu itu dimasukkan olahan bumbu lengkap.  Di antaranya jahe, kencur, kunyit, lengkuas, garam dan lainnya. Agar lebih nikmat, bumbu yang sudah dihaluskan itu dicampur dengan daun singkong.

”Kalau ada bumbunya, ketika diguling bumbunya meresap ke daging babi,” ujar Wayan Sumerta, 54, salah satu peserta parade nguling asal Desa Pekraman Meliling.

Satu sekaa (kelompok) nguling bisa belasan orang ikut. Di saat sebagian anggota sekaa membumbui babi yang akan diguling, sisanya menyiapkan tempat pembakaran. Kayu-kayu papan disiapkan sebagai bahan bakar.

“Bara api harus diatur tidak boleh sampai menimbulkan api yang besar. Kalau api terlalu besar, bisa gosong,

tapi daging dalamnya tidak matang,” imbuh Sumerta yang bertugas sebagai pengontrol api dan penyapu abu yang menempel di kulit babi selama pembakaran babi.

Secara prinsip, mengguling babi tidak ada yang beda dari 24 peserta parade nguling. Babi yang ditusuk dari belakang tembus ke mulut itu dibakar di atas bara.

Tongkat dari kayu atau besi sebagai tusukan babi pun harus terus diputar agar babi matang sempurna. Selama diguling, babi mengeluarkan cairan lemak dari kulit.

Dan selama pembakaran, abu beterbangan hingga menempel di kulit babi. Satu atau dua orang pun harus sigap menyapu abu yang menempel di kulit menggunakan sapu lidi yang masih ada sisa-sisa daun kepala.

“Kalau abu yang nempel tidak disapu bisa gosong kulit babinya. Ini harus terus diasapi,” terangnya. Mengguling babi butuh waktu panjang.

Agar dagingnya terasa nikmat, bisa menghabiskan empat jam. Maka, anggota sekaa nguling yang bertugas memutar tongkat tidak sendiri. Bisa tiga orang.

“Kalau sendirian, lumayan capek juga. Karena harus terus berputar,” terangnya. Di parade nguling ini, untuk memutar babi guling pun cukup beragam.

Grup nguling dari Desa Meliling masing menggunakan alat yang sederhana. Tongkat untuk menusuk babi menggunakan kayu waru. Tusukan ini berputar dengan tumpuan dua bambu di ujung depan dan belakang. Cara tradisional ini menimbulkan suara berderit yang khas dari gesekan kayu dengan bambu. Untuk memudahkan memutar kayu, kelompok nguling dari Meliling ini memaku kayu secara menyilang pada tongkat penusuk layaknya stang.

Bila ada yang masih tradisional, sebagian besar alat mengguling menggunakan penusuk dari besi. Pada ujung pemutar dilas layaknya stir mobil.

Tidak ada suara yang khas dari peralatan guling babi model ini. Yang menarik dari parade ini adalah ada yang mengguling menggunakan pemutar dari motor listrik. Desa Tibubiu menggunakan alat yang sedikit modern ini.

Sepanjang guling babi, sekaha ini pun tak capek-capek memutar besir penusuk babi. Tinggal colok ke listrik, dinamo pun berputar yang menggerakkan katrol, sabuk karet (belt) dan menggerakkan gir dan rantai serta tongkat penusuk.

“Kalau pakai ini putarannya  konstan. Teratur. Babi pun mateng merata,” kata Made Ardena, Kepala Desa Tibubiu yang ikut dalam acara nguling ini.

Dilihat hasilnya, penggunakan alat ini memang relative lebih bagus dibanding yang menggunakan cara sederhana. Kulit babi tampak coklat merata.

Tidak ada bagian-bagian yang gosong. Anggota sekaha pun duduk-duduk santai, sambil mendengarkan suara gamelan Bali yang diputar dari smartphone dan speaker.

Hanya satu dua orang saja yang bertugas mengatur api agar tidak membesar dan menyapu abu yang menempel di kulit babi.

Sepanjang parade, keceriaan tampak dari para peserta. Apalagi kalau ada suara-suara meledak dari kayu yang terbakar.

Parade nguling babi ini selesai Pukul 18.00. Babi-babi itu pun ditaruh di atas meja-meja di tengah lapangan. 

Mulai Pukul 19.00, warga dari desa-desa mereka, dan penonton bebas memakan babi guling sambil menikmati suguhan Festival Kerambitan

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/