25.1 C
Jakarta
21 September 2024, 6:53 AM WIB

Ceceran Darah Sapi Kurban Diyakini Mampu Usir Malapetaka

Masyarakat Desa Pakraman Besang Kawan Tohjiwa, Kelurahan Semarapura Kaja, Klungkung sangat menjaga tradisi warisan moyang.

Salah satu tradisi warisan leluhur berumur ratusan tahun, dan masih ajeg hingga saat ini, adalah dengan menggelar ritual atau  upacara mecaru “Mejaga-jaga”.

Ritual mecaru tahunan yang diyakini masyarakat untuk mengusir dari malapetaka, itu digelar Sabtu (11/8) atau tepatnya saat hari tilem sasih karo. Seperti apa?

 

DEWA AYU PITRI ARISANTI, Klungkung

 

Masyarakat dari Desa Pakraman Besang Kawan Tohjiwa, Kelurahan Semarapura Kaja, Klungkung sekitar pukul 06.00 sudah berkumpul di Catus Pata Desa. Maklum, pukul 07.00, ritual Mejaga-Jaga sudah dimulai.

Seekor sapi pilihan yang sudah dimandikan mulai diarak oleh warga yang didominasi anak-anak muda.

Sapi yang diikat dengan tujuh tali itu pertama kali diarak ke arah utara sampai di ujung utara desa, tepatnya di depan Pura Puseh desa setempat.

Di sana, digelar prosesi upacara dan sapi pun ditebas pada bokong sebelah kanan oleh pemangku Catus Pata menggunakan parang atau blakas Sudamala yang disakralkan. Darah sapi pun terlihat muncrat berceceran.

Usai ditebas, sapi kembali diarak warga menuju arah selatan hingga di batas desa, tepatnya di depan Pura Dalem.

Prosesi upacara juga di gelar di sana dan sapi kembali ditebas namun kali ini pada pantat bagian kiri. Selanjutnya di arak kembali ke Catus Pata, sebelum akhirnya diarak lagi ke arah timur sampai di perbatasan desa sebelah timur.

Di sana, sapi yang tampak kelelahan itu kembali ditebas pada bokong sebelah kanan. “Di arak ke barat sampai di depan Pura Prajapti. Kaki belakang mana yang lebih agak ke belakang, itu ditebas.

Kemudian kembali ke Catus Pata untuk upacara selanjutnya,” tutur Bendesa Desa Pakraman Besang Kawan Tohjiwa, Wayan Sulendra.

Dijelaskannya, ceceran darah sapi itu diyakini sebagai darah kurban untuk menjaga desa setempat.

Baik skala maupun niskala. Bahkan darah sapi itu dipercayai dapat mengobati penyakit sehingga tidak heran jika warga setempat berebut untuk mendapatkan darah sapi itu dan mengoleskannya ke tubuh dan wajah.

“Intinya menetralkan atau membersihkan alam,” jelas Sulendra

Lebih rinci dijelaskannya sapi yang digunakan dalam ritual ini bukan lah sembarangan sapi.

Sapi yang digunakan adalah sapi pilihan yang tidak memiliki cacat, kuku kaki sapi tidak boleh berwarna merah, lidah tidak boleh berwarna hitam- putih atau poleng, serta ekor tidak boleh ada warna putihnya atau panjut.

Sehingga, untuk mendapatkan sapi yang memenuhi kriteria itu, masyarakat setempat harus mencari hingga keluar Klungkung.

Walau pencarian sapi tergolong sulit, warga percaya, bahwa pencarian itu tak pernah gagal.

“Dan sapi hanya bisa dipilih oleh keturunan Pemangku Prajapati, Pemangku Catus Pata, serta Pamong Dalem,” katanya.

Kat Sulendra, dahulu tradisi itu pernah ditiadakan dengan alasan kesibukan warga melaksanakan upacara ngaben. Ternyata, beberapa orang meninggal di sana. Petani juga gagal panen.

“Sampai sekarang kami tidak berani tak menggelarnya. Ketika tidak dilaksanakan prosesi upacara ini, maka akan terjadi malapetaka,” pungkasnya.

Masyarakat Desa Pakraman Besang Kawan Tohjiwa, Kelurahan Semarapura Kaja, Klungkung sangat menjaga tradisi warisan moyang.

Salah satu tradisi warisan leluhur berumur ratusan tahun, dan masih ajeg hingga saat ini, adalah dengan menggelar ritual atau  upacara mecaru “Mejaga-jaga”.

Ritual mecaru tahunan yang diyakini masyarakat untuk mengusir dari malapetaka, itu digelar Sabtu (11/8) atau tepatnya saat hari tilem sasih karo. Seperti apa?

 

DEWA AYU PITRI ARISANTI, Klungkung

 

Masyarakat dari Desa Pakraman Besang Kawan Tohjiwa, Kelurahan Semarapura Kaja, Klungkung sekitar pukul 06.00 sudah berkumpul di Catus Pata Desa. Maklum, pukul 07.00, ritual Mejaga-Jaga sudah dimulai.

Seekor sapi pilihan yang sudah dimandikan mulai diarak oleh warga yang didominasi anak-anak muda.

Sapi yang diikat dengan tujuh tali itu pertama kali diarak ke arah utara sampai di ujung utara desa, tepatnya di depan Pura Puseh desa setempat.

Di sana, digelar prosesi upacara dan sapi pun ditebas pada bokong sebelah kanan oleh pemangku Catus Pata menggunakan parang atau blakas Sudamala yang disakralkan. Darah sapi pun terlihat muncrat berceceran.

Usai ditebas, sapi kembali diarak warga menuju arah selatan hingga di batas desa, tepatnya di depan Pura Dalem.

Prosesi upacara juga di gelar di sana dan sapi kembali ditebas namun kali ini pada pantat bagian kiri. Selanjutnya di arak kembali ke Catus Pata, sebelum akhirnya diarak lagi ke arah timur sampai di perbatasan desa sebelah timur.

Di sana, sapi yang tampak kelelahan itu kembali ditebas pada bokong sebelah kanan. “Di arak ke barat sampai di depan Pura Prajapti. Kaki belakang mana yang lebih agak ke belakang, itu ditebas.

Kemudian kembali ke Catus Pata untuk upacara selanjutnya,” tutur Bendesa Desa Pakraman Besang Kawan Tohjiwa, Wayan Sulendra.

Dijelaskannya, ceceran darah sapi itu diyakini sebagai darah kurban untuk menjaga desa setempat.

Baik skala maupun niskala. Bahkan darah sapi itu dipercayai dapat mengobati penyakit sehingga tidak heran jika warga setempat berebut untuk mendapatkan darah sapi itu dan mengoleskannya ke tubuh dan wajah.

“Intinya menetralkan atau membersihkan alam,” jelas Sulendra

Lebih rinci dijelaskannya sapi yang digunakan dalam ritual ini bukan lah sembarangan sapi.

Sapi yang digunakan adalah sapi pilihan yang tidak memiliki cacat, kuku kaki sapi tidak boleh berwarna merah, lidah tidak boleh berwarna hitam- putih atau poleng, serta ekor tidak boleh ada warna putihnya atau panjut.

Sehingga, untuk mendapatkan sapi yang memenuhi kriteria itu, masyarakat setempat harus mencari hingga keluar Klungkung.

Walau pencarian sapi tergolong sulit, warga percaya, bahwa pencarian itu tak pernah gagal.

“Dan sapi hanya bisa dipilih oleh keturunan Pemangku Prajapati, Pemangku Catus Pata, serta Pamong Dalem,” katanya.

Kat Sulendra, dahulu tradisi itu pernah ditiadakan dengan alasan kesibukan warga melaksanakan upacara ngaben. Ternyata, beberapa orang meninggal di sana. Petani juga gagal panen.

“Sampai sekarang kami tidak berani tak menggelarnya. Ketika tidak dilaksanakan prosesi upacara ini, maka akan terjadi malapetaka,” pungkasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/