31.6 C
Jakarta
20 November 2024, 11:12 AM WIB

Hampir Punah, Kian Digandrungi Ibu-ibu, Layak Disebut Tari Wali

Tari Rejang Renteng kian ramai dipentaskan oleh para ibu-ibu di setiap ritual di Pura. Tari yang dulu hampir punah ini, kini mampu membius masyarakat Hindu.

Yang menarik, tarian ini tidak hanya dipentaskan untuk kepentingan ritual, namun juga dipentaskan di luar kepentingan ritual.

Seperti peringatan ke-109 Puputan Klungkung dan HUT ke-25 Kota Semarapura. Bahkan Tari Rejang Renteng juga sering dilombakan. Namun apakah hal tersebut dibenarkan?

 

 

WAYAN WIDYANTARA, Denpasar

TARI Rejang Renteng kini tidak hanya dipentaskan untuk kepentingan ritual, tapi juga nonritual. Nah, apakah diperbolehkan ataukah tidak, Dinas Kebudayaan Bali menggelar Workshop Tari Rejang Renteng.

Tujuan workshop ini  agar tidak terjadi kesalahahpahaman di masyarakat. Dalam Workshop yang digelar di Wantilan UPTD Taman Budaya Art Center, para panelis memaparkan sejarah dan fenomena yang terjadi di masyarakat.

Ada tiga pemateri yang dihadirkan. Yakni, Ida Ayu Made Diastini, SST.,M.Si selaku peneliti tarian tersebut. Hadir juga Akademisi dari ISI Denpasar, Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST.,MA dan juga I Ketut Sumarta selaku perwakilan dari Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP).

Di hadapan puluhan peserta workshop dari seluruh Kabupaten/Kota di Bali, dijelaskan tentang cikal bakal Tari Rejang Renteng yang awalnya terinspirasi dari Tari Renteng,

sebuah tarian sakral yang sangat tua di Banjar Adat Saren, Desa Pakraman Mujaning Tembeling, Desa Dinas Batumadeg, Dusun Saren Satum Nusa Gede, Klungkung.

Dimana Tari Renteng berasal dari kata “Renteng” yang artinya renta atau tua. Renta atau tua disini diartikan sudah berbadan dua yaitu, sudah kawin dan mereka yang ngerenteng atau sudah didaulat menjadi pemangku.

Tari Renteng sendiri tidak diketahui siapa penciptanya (anonim). Diperkirakan sudah ada sejak tahun 1930-an.

Tari Renteng ini ditarikan para orang tua atau pemangku yang sudah kasudi (terpilih secara niskala) dengan sarana upacara banten pemendak.

Penari Renteng ini awalnya berjumlah genap. Tetapi pada saat ngayah di Pura Puncak Mundi, ada kejadian aneh karena salah satu penari Renteng yang berada dibarisan paling belakang tiba-tiba hilang.

Setelah dicari di sekitar pura tersebut, akhirnya ditemukan sudah meninggal di semak-semak. Sejak kejadian itu sampai sekarang, Renteng ditarikan dengan jumlah ganjil yaitu 3,5,7 dan 9.

Tari Renteng ini sampai sekarang masih aktif dipentaskan di Pura Dalem Ped setiap sasih kapat saat jagung baru tumbuh jambot (bulu).

Selain di Pura Dalem Ped, Renteng ini juga ngayah di pura Kawitan Keniten, Pura Geria dan Pura-pura lainnya yang diawali pemberitahuan melalui upacara pemendak.

Tari Renteng ini boleh dipentaskan pada piodalan alit, madya dan agung. Gerakan Renteng ini sangatlah sederhana, mengalun dan berulang-ulang, membentuk satu garis lurus berderet

ke belakang dengan diiringi 6 elemen musik, antaranya trompong, reong lepas, kendang, ceng-ceng, gong dan kajar.

Lalu bagaimana bisa berkembang menjadi Tari Rejang Renteng? Menurut penelitian yang disampaikan dalam workshop tersebut, pada tahun 1999,

tarian yang terinspirasi dari Tari Renteng ini berhasil dikembangkan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Bali dalam upaya pemerintah melestarikan tarian langka.

Hingga kini tarian ini terus dikembangkan. Namun, yang terpenting dalam workshop tersebut, adalah ingin menyatukan satuan tafsir agar makna dari tarian tidak diabaikan.

“Perlu dilakukan satuan tafsir terlebih dahulu supaya pegangan, apakah tarian rejang renteng ini bagian dari wali, bebali atau balih-balihan,” ujarnya Prof Dibia.

Wali artinya sebuah tarian yang disakralkan (ada proses sakralisasi) dan difungsikan saat piodalan di pura baik piodalan alit, madya dan ageng.

Sebagai tari bebali, yakni digelar pada upacara manusa yadnya dan ataupun balih-balihan, atau hanya sebagai tontonan semata.

Nah, setelah ada kesatuan tafsir tersebut, baru nantinya dapat disosialisasikan. Sementara itu, para pelatih rejang, pemilik sanggar dan sebagainya juga perlu dikondisikan, termasuk lembaga kesenian untuk menjaga dan mengendalikan kesepakatan tersebut.

“Sebab tidak akan menutup kemungkinan, orang akan menggunakan kekuatan popularitas dari rejang ini untuk bermacam-macam. Dan itu justru akan menurunkan kesakralan dari tarian ini,” ungkap pria kelahiran Singapadu, Gianyar tersebut.

Namun menurut Prof Dibia, untuk tarian Rejang Renteng ini sendiri memang sudah layak untuk dijadikan tari wali atau yang disakralkan berdasar segala unsur dalam tarian tersebut.

Hanya persoalannya sekarang, bagaimana mengukuhkan tarian tersebut sebagai tari ritual. “Jika sudah menjadi tari ritual, jangan sampai masuk ke festival-festival.

Itu konsekuensinya. Kalau tidak ditetapkan begitu, tarian ini akan menjadi kemana-mana nantinya,” ujarnya.

Hal tersebut juga didukung oleh I Ketut Sumarta. Ia mengatakan, tarian ini memang cenderung ke tari wali.

Untuk itu diperlukan kesepakatan bersama agar menjadi satu kesatuan tafsir untuk tatanan yang lebih jelas ke depannya.

“Untuk itu, semua komponen harus duduk bareng, baik di MUDP, PHDI, ahli bidang seni, pemerintah dan sebagainya untuk menyepakati tari Renteng ini sebagai tari Wali,” jelasnya.

Tarian Rejang Renteng ini ternyata juga memiliki dampak besar bagi di Desa Adat. Seperti semangat ibu-ibu untuk ngayah di Pura.

Juga sebagai ajang pertemuan antara ibu-ibu dalam konteks produktif serta sebagai titik awal loncatan kebudayaan.

“Positifnya, ibu-ibu ini juga akan memiliki keberanian untuk tampil dan juga menaikan tingkat perekonomian kecil busana bisa menggeliat,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala UPTD Taman Budaya, I Made Suarja mengatakan tari Rejang Renteng ini dapat berkembang di masyarakat sebagai tari wali.

“Workshop ini akan menghasilkan direkomendasikan dimana tarian ini sebagai tari wali dan selanjutnya akan dibawa untuk menjadi kesepakatan bersama,” ujarnya.

Di sisi lain, Ida Ayu Made Diastini yang juga sebagai pembicara dalam workshop tersebut menjelaskan terkait kesederhanaan dalam berbusana

dalam tarian Rejang Renteng tersebut, dimana menurutnya, belakangan ini banyak yang salah kaprah tentang busana menari tarian tersebut.

Dikatakan, kostum atau busana Renteng sejatinya sangat sederhana, yakni terdiri dari kebaya putih polos lengan panjang memakai kutu baru, selendang kuning,

kain cepuk tenunan kuning, menggunakan tapih putih, pusung tagel, sasakan polos, menggunakan bunga jepun putih bali dan subeng sederhana.

“Semuanya memiliki filosofi masing-masing. Contoh sanggul (pusung tagel) sebagai tanda bahwa penarinya sudah menikah,

sakakan polos mengandung filosofi pikiran yang polos tulus iklas berbakti kepada Tuhan dan sebagainya,” ungkapnya. (*)

 

 

 

 

 

 

Tari Rejang Renteng kian ramai dipentaskan oleh para ibu-ibu di setiap ritual di Pura. Tari yang dulu hampir punah ini, kini mampu membius masyarakat Hindu.

Yang menarik, tarian ini tidak hanya dipentaskan untuk kepentingan ritual, namun juga dipentaskan di luar kepentingan ritual.

Seperti peringatan ke-109 Puputan Klungkung dan HUT ke-25 Kota Semarapura. Bahkan Tari Rejang Renteng juga sering dilombakan. Namun apakah hal tersebut dibenarkan?

 

 

WAYAN WIDYANTARA, Denpasar

TARI Rejang Renteng kini tidak hanya dipentaskan untuk kepentingan ritual, tapi juga nonritual. Nah, apakah diperbolehkan ataukah tidak, Dinas Kebudayaan Bali menggelar Workshop Tari Rejang Renteng.

Tujuan workshop ini  agar tidak terjadi kesalahahpahaman di masyarakat. Dalam Workshop yang digelar di Wantilan UPTD Taman Budaya Art Center, para panelis memaparkan sejarah dan fenomena yang terjadi di masyarakat.

Ada tiga pemateri yang dihadirkan. Yakni, Ida Ayu Made Diastini, SST.,M.Si selaku peneliti tarian tersebut. Hadir juga Akademisi dari ISI Denpasar, Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST.,MA dan juga I Ketut Sumarta selaku perwakilan dari Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP).

Di hadapan puluhan peserta workshop dari seluruh Kabupaten/Kota di Bali, dijelaskan tentang cikal bakal Tari Rejang Renteng yang awalnya terinspirasi dari Tari Renteng,

sebuah tarian sakral yang sangat tua di Banjar Adat Saren, Desa Pakraman Mujaning Tembeling, Desa Dinas Batumadeg, Dusun Saren Satum Nusa Gede, Klungkung.

Dimana Tari Renteng berasal dari kata “Renteng” yang artinya renta atau tua. Renta atau tua disini diartikan sudah berbadan dua yaitu, sudah kawin dan mereka yang ngerenteng atau sudah didaulat menjadi pemangku.

Tari Renteng sendiri tidak diketahui siapa penciptanya (anonim). Diperkirakan sudah ada sejak tahun 1930-an.

Tari Renteng ini ditarikan para orang tua atau pemangku yang sudah kasudi (terpilih secara niskala) dengan sarana upacara banten pemendak.

Penari Renteng ini awalnya berjumlah genap. Tetapi pada saat ngayah di Pura Puncak Mundi, ada kejadian aneh karena salah satu penari Renteng yang berada dibarisan paling belakang tiba-tiba hilang.

Setelah dicari di sekitar pura tersebut, akhirnya ditemukan sudah meninggal di semak-semak. Sejak kejadian itu sampai sekarang, Renteng ditarikan dengan jumlah ganjil yaitu 3,5,7 dan 9.

Tari Renteng ini sampai sekarang masih aktif dipentaskan di Pura Dalem Ped setiap sasih kapat saat jagung baru tumbuh jambot (bulu).

Selain di Pura Dalem Ped, Renteng ini juga ngayah di pura Kawitan Keniten, Pura Geria dan Pura-pura lainnya yang diawali pemberitahuan melalui upacara pemendak.

Tari Renteng ini boleh dipentaskan pada piodalan alit, madya dan agung. Gerakan Renteng ini sangatlah sederhana, mengalun dan berulang-ulang, membentuk satu garis lurus berderet

ke belakang dengan diiringi 6 elemen musik, antaranya trompong, reong lepas, kendang, ceng-ceng, gong dan kajar.

Lalu bagaimana bisa berkembang menjadi Tari Rejang Renteng? Menurut penelitian yang disampaikan dalam workshop tersebut, pada tahun 1999,

tarian yang terinspirasi dari Tari Renteng ini berhasil dikembangkan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Bali dalam upaya pemerintah melestarikan tarian langka.

Hingga kini tarian ini terus dikembangkan. Namun, yang terpenting dalam workshop tersebut, adalah ingin menyatukan satuan tafsir agar makna dari tarian tidak diabaikan.

“Perlu dilakukan satuan tafsir terlebih dahulu supaya pegangan, apakah tarian rejang renteng ini bagian dari wali, bebali atau balih-balihan,” ujarnya Prof Dibia.

Wali artinya sebuah tarian yang disakralkan (ada proses sakralisasi) dan difungsikan saat piodalan di pura baik piodalan alit, madya dan ageng.

Sebagai tari bebali, yakni digelar pada upacara manusa yadnya dan ataupun balih-balihan, atau hanya sebagai tontonan semata.

Nah, setelah ada kesatuan tafsir tersebut, baru nantinya dapat disosialisasikan. Sementara itu, para pelatih rejang, pemilik sanggar dan sebagainya juga perlu dikondisikan, termasuk lembaga kesenian untuk menjaga dan mengendalikan kesepakatan tersebut.

“Sebab tidak akan menutup kemungkinan, orang akan menggunakan kekuatan popularitas dari rejang ini untuk bermacam-macam. Dan itu justru akan menurunkan kesakralan dari tarian ini,” ungkap pria kelahiran Singapadu, Gianyar tersebut.

Namun menurut Prof Dibia, untuk tarian Rejang Renteng ini sendiri memang sudah layak untuk dijadikan tari wali atau yang disakralkan berdasar segala unsur dalam tarian tersebut.

Hanya persoalannya sekarang, bagaimana mengukuhkan tarian tersebut sebagai tari ritual. “Jika sudah menjadi tari ritual, jangan sampai masuk ke festival-festival.

Itu konsekuensinya. Kalau tidak ditetapkan begitu, tarian ini akan menjadi kemana-mana nantinya,” ujarnya.

Hal tersebut juga didukung oleh I Ketut Sumarta. Ia mengatakan, tarian ini memang cenderung ke tari wali.

Untuk itu diperlukan kesepakatan bersama agar menjadi satu kesatuan tafsir untuk tatanan yang lebih jelas ke depannya.

“Untuk itu, semua komponen harus duduk bareng, baik di MUDP, PHDI, ahli bidang seni, pemerintah dan sebagainya untuk menyepakati tari Renteng ini sebagai tari Wali,” jelasnya.

Tarian Rejang Renteng ini ternyata juga memiliki dampak besar bagi di Desa Adat. Seperti semangat ibu-ibu untuk ngayah di Pura.

Juga sebagai ajang pertemuan antara ibu-ibu dalam konteks produktif serta sebagai titik awal loncatan kebudayaan.

“Positifnya, ibu-ibu ini juga akan memiliki keberanian untuk tampil dan juga menaikan tingkat perekonomian kecil busana bisa menggeliat,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala UPTD Taman Budaya, I Made Suarja mengatakan tari Rejang Renteng ini dapat berkembang di masyarakat sebagai tari wali.

“Workshop ini akan menghasilkan direkomendasikan dimana tarian ini sebagai tari wali dan selanjutnya akan dibawa untuk menjadi kesepakatan bersama,” ujarnya.

Di sisi lain, Ida Ayu Made Diastini yang juga sebagai pembicara dalam workshop tersebut menjelaskan terkait kesederhanaan dalam berbusana

dalam tarian Rejang Renteng tersebut, dimana menurutnya, belakangan ini banyak yang salah kaprah tentang busana menari tarian tersebut.

Dikatakan, kostum atau busana Renteng sejatinya sangat sederhana, yakni terdiri dari kebaya putih polos lengan panjang memakai kutu baru, selendang kuning,

kain cepuk tenunan kuning, menggunakan tapih putih, pusung tagel, sasakan polos, menggunakan bunga jepun putih bali dan subeng sederhana.

“Semuanya memiliki filosofi masing-masing. Contoh sanggul (pusung tagel) sebagai tanda bahwa penarinya sudah menikah,

sakakan polos mengandung filosofi pikiran yang polos tulus iklas berbakti kepada Tuhan dan sebagainya,” ungkapnya. (*)

 

 

 

 

 

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/