28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 4:14 AM WIB

Berkomunikasi dengan Cara Menulis, Happy Bisa Jualan di Dinas Sosial

Semangat Siti Mudawati warga Desa Tegak, Kecamatan Klungkung patut dicontoh. Meski memiliki keterbatasan dalam mendengar dan berkomunikasi, penyandang disabilitas ini terus berjuang memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari.

 

DEWA AYU PITRI ARISANTI, Semarapura

RAMAH. Itulah sosok Siti Mudawati pertama kali kala orang kenal. Meski memiliki keterbatasan dalam mendengar dan berkomunikasi, Siti berusaha tersenyum dan melayani calon pembelinya dengan sepenuh hati.

Kebetulan calon konsumennya adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemkab Klungkung.

Siti yang ditemui di Ruang Sekretariat Penyandang Disabilitas, menuturkan, sebelum berjualan di Ruang Sekretariat Penyandang Disabilitas, ia hanya seorang ibu rumah tangga.

Namun karena kebutuhan hidup semakin besar sementara gaji sang suami yang sebagai tukang sapu di salah satu sekolah hanya Rp 1 juta, ia pun akhirnya mencari pekerjaan.

“Saya tanya ke Dinas Sosial dan saya akhirnya diajak untuk berjualan ke sini. Saya bilang bisa membuat rajutan,” terangnya dengan cara menulis di sebuah buku.

Dari kemampuan merajut yang dipelajarinya saat bersekolah di sekolah luar biasa (SLB) dulu, ia mengaku bisa membuat tas, topi, jepit rambut, dan taplak meja.

Dengan harga terbilang terjangkau yakni mulai Rp 10 ribu – Rp 60 ribu per produk rajutan, ia mengaku banyak ASN yang tertarik untuk berbelanja.

“Satu hari saya bisa dapat jualan Rp 100 ribu. Tas, dan topi yang banyak dibeli,” ungkap Siti Mudawati kemarin.

Meski begitu, ia mengaku masih kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Terutama untuk memenuhi kebutuhan tiga orang anaknya yang masih duduk di bangku sekolah.

Untuk itu, dia harus hidup mengirit. Tak heran jika keluarganya kerap makan nasi tanpa lauk-pauk. “Anak saya sering nangis. Sepatunya robek besar, tapi saya tidak punya uang,” katanya.

Karena kondisi ekonomi seperti itu, pihaknya kerap kesulitan untuk membeli bahan baku produk rajutannya tersebut.

Apalagi benang wol yang merupakan bahan dasar kerajinan tangannya tersebut hanya terdapat di Jakarta, dan apabila ingin membelinya harus menggunakan jasa pengiriman barang dan harganya pun jatuhnya mahal.

“Saya senang bisa berjualan di sini. Jadi ada uang untuk kebutuhan sehari-hari,” tandasnya. Semangat bu! (*)

 

 

Semangat Siti Mudawati warga Desa Tegak, Kecamatan Klungkung patut dicontoh. Meski memiliki keterbatasan dalam mendengar dan berkomunikasi, penyandang disabilitas ini terus berjuang memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari.

 

DEWA AYU PITRI ARISANTI, Semarapura

RAMAH. Itulah sosok Siti Mudawati pertama kali kala orang kenal. Meski memiliki keterbatasan dalam mendengar dan berkomunikasi, Siti berusaha tersenyum dan melayani calon pembelinya dengan sepenuh hati.

Kebetulan calon konsumennya adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemkab Klungkung.

Siti yang ditemui di Ruang Sekretariat Penyandang Disabilitas, menuturkan, sebelum berjualan di Ruang Sekretariat Penyandang Disabilitas, ia hanya seorang ibu rumah tangga.

Namun karena kebutuhan hidup semakin besar sementara gaji sang suami yang sebagai tukang sapu di salah satu sekolah hanya Rp 1 juta, ia pun akhirnya mencari pekerjaan.

“Saya tanya ke Dinas Sosial dan saya akhirnya diajak untuk berjualan ke sini. Saya bilang bisa membuat rajutan,” terangnya dengan cara menulis di sebuah buku.

Dari kemampuan merajut yang dipelajarinya saat bersekolah di sekolah luar biasa (SLB) dulu, ia mengaku bisa membuat tas, topi, jepit rambut, dan taplak meja.

Dengan harga terbilang terjangkau yakni mulai Rp 10 ribu – Rp 60 ribu per produk rajutan, ia mengaku banyak ASN yang tertarik untuk berbelanja.

“Satu hari saya bisa dapat jualan Rp 100 ribu. Tas, dan topi yang banyak dibeli,” ungkap Siti Mudawati kemarin.

Meski begitu, ia mengaku masih kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Terutama untuk memenuhi kebutuhan tiga orang anaknya yang masih duduk di bangku sekolah.

Untuk itu, dia harus hidup mengirit. Tak heran jika keluarganya kerap makan nasi tanpa lauk-pauk. “Anak saya sering nangis. Sepatunya robek besar, tapi saya tidak punya uang,” katanya.

Karena kondisi ekonomi seperti itu, pihaknya kerap kesulitan untuk membeli bahan baku produk rajutannya tersebut.

Apalagi benang wol yang merupakan bahan dasar kerajinan tangannya tersebut hanya terdapat di Jakarta, dan apabila ingin membelinya harus menggunakan jasa pengiriman barang dan harganya pun jatuhnya mahal.

“Saya senang bisa berjualan di sini. Jadi ada uang untuk kebutuhan sehari-hari,” tandasnya. Semangat bu! (*)

 

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/