Sejak bertahun-tahun, nenek 70 tahun, Gusti Ayu Tantriani, berhak menempati dan bangun rumah di atas tanah atau karang ayahan desa adat Peliatan, Kecamatan Ubud.
Mendadak sejak November 2019 lalu, kerabatnya Gusti Ngurah Pastika datang dan menduduki rumah si nenek. Muncullah sengketa, hingga akhirnya si nenek memilih mengungsi.
IB INDRA PRASETIA, Gianyar
RUMAH di atas lahan 26 are di Banjar Pande, Desa Peliatan, Kecamatan Ubud itu berasitektur Bali. Di rumah itu, hanya dihuni nenek Gusti Ayu Tantriani yang telah menjanda.
Sejak ada sengketa dengan saudaranya, Tantriani numpang sementara di rumah tetangganya.
Bendesa Adat Peliatan, I Ketut Sandi, menyatakan kasus “rebutan” rumah itu mencuat dari laporan warganya, Gusti Ayu Tantriani.
Katanya, ada kerabatnya, Gusti Ngurah Pastika, menduduki rumah itu lebih dari sebulan. “Antara Gusti Tantriani dengan orang yang tinggal di rumahnya,
Gusti Pastika memang ada hubungan keluarga. Tetapi Pastika ini sudah bertempat tinggal di Banjar Ambengan sejak leluhurnya,” jelas Ketut Sandi.
Sedangkan tanah yang disengketa ini adalah karang ayahan desa. Tanah itu semacam tanah pemberian dari desa dengan syarat si penghuni tanah harus ngayah atau gotong royong di desa.
“Yang dihuni oleh Gusti Tantriani sejak lama,” jelasnya. Diungkapkan jika leluhur Gusti Ngurah Pastika telah pindah dari karang tersebut sekitar tiga keturunan yang lalu.
Sehingga sampai saat ini sudah dianggap hubungan jauh. Terlebih yang melakukan kewajiban ngayah di karang yang seluas 26 are itu adalah Tantriani.
“Sesuai hasil Saba Desa, memutuskan agar dilakukan mediasi antara Gusti Pastika dengan Gusti Tantriani ini. Sudah kami surati. Tetapi Gusti Pastika hadir mendahului dan mengaku tidak datang dalam mediasi,” tegasnya.
Menindaklanjuti kasus tersebut sehingga pada Selasa (21/1) sempat akan dilakukannya eksekusi oleh desa adat.
Yaitu eksekusi meminta Gusti Pastika meninggalkan rumah yang dihuni nenek Tantriani. Mengingat Gusti Pastika tinggal di sana bersama tiga kepala keluarga lainnya ditambah lagi dengan anak dan istri.
“Sesuai daftar di banjar, yang menempati karang tersebut memang Gusti Tantriani, memang mereka memiliki hubungan darah
dengan Gusti Pastika dari leluhurnya. Tetapi mereka sudah pindah ke Banjar Ambengan dan masih dalam satu Desa Adat,” jelasnya.
Bendesa menambahkan, apabila antara Pastika dengan Tantriani terlibat masalah warisan, pihaknya tidak ikut campur.
Itu karena tanah yang jadi permasalahan saat ini milik desa adat yang dipinjamkan secara turun temurun kepada keluarga Tantriani.
“Kalau di dalamnya terdapat masasalah pewarisan desa adat tidak menjangkau ke sana. Yang jelas itu karang ayahan desa,” imbuhnya.
Sementara itu, Gusti Ayu Tantriani mengaku leluhur dari Gusti Pastika memang sudah pindah ke Banjar Ambengan sejak tiga keturunan.
“Awalnya salah satu keluarga Gusti Pastika datang setiap sore untuk mebanten di merajan saya. Kok tumben datang mebanten, tidak ada odalan tidak ada rainan datang,” terangnya.
Padahal saat di merajan ada odalan atau upacara, keluarga Pastika malah tidak pernah datang.
“Jangankan pas odalan, pas saya sakit tidak ada dia pulang. Malah tetangga yang bantu ngajak saya ke dokter,” kenangnya.
Diakui, kasus itu mencuat ketika nenek 70 tahun yang tak punya keturunan itu hendak mencari anak angkat. Tujuannya supaya ada yang merawat dan mengurusnya saat sakit.
“Akhir November 2019 mereka mulai datang, sampai malam dan menginap. Sampai akhirnya empat keluarga di sana. Dan dia sempat melaporkan ke klian dan bendesa,” jelasnya.
Saat keluarga Pastika menduduki rumah nenek, suasana rumah sedikit ramai dari biasanya. “Karena saya tidak kuat sering berisik makanya saya pindah ke sini,” bebernya.
Di tempat terpisah, Kapolsek Ubud, Kompol I Nyoman Nuryana menjelaskan bahwa pasa Selasa (21/1) pihaknya sudah turun ke lokasi sengketa.
Namun mereka hanya sebatas mengamankan pihak desa adat yang turun melakukan eksekusi.
“Kami kemarin datang ke lokasi hanya sebatas pengamanan saja, sedangkan saat ini kasus ada di Polres Gianyar yang menanganinya,” pungkasnya. (*)