PERGERAKAN Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan organisasi mahasiswa Islam yang mempunyai visi keislaman dan kebangsaan.
PMII dikenal memiliki budaya dekat dengan masyarakat, baik kedekatanya secara persuasif maupun sosio-kultural.
Sosok pendiri, senior dan terdahulu kader PMII biasanya hadir dari kalangan tokoh masyarakat. Sebut saja Zamroni, Prof. Dr. Chotibul Umam dan Prof. Dr. Hade Hidayat.
Begitu dekatnya dengan masyarakat, membuat PMII dicintai dan dikenang dihati rakyat. Banyak sekali gerakan maupun advokasi yang bersifat demonstrasi yang dilakukan oleh kader PMII terdahulu.
Mereka memperjuangkan hak rakyat dan kesejahteraan umat. Sosok yang dikenal luas pada tahun 66 adalah sahabat Zamroni, berkat kepeduliannya terhadap rakyat ia menjadi kunci dari sebuah spirit mahasiswa pergerakan pada zamannya.
Selain itu, sosok lain yang hari ini menjadi teladan adalah sahabat Dr. Wahiduddin Adam. Wahiduddin Adam merupakan aktivis, kader dan juga hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia yang lahir dari rahim PMII Cabang Ciputat.
History panjang dan kelam ia awali tatkala masih menjadi mahasiswa dan juga kader PMII. Wahidudin terkenal tegas dan kritis, sering kali kebijakan pemerintah yang dirasa merugikan rakyat dikritisi.
Ingat kawan, itu semua hanya history to glory pada zaman dulu. Hari ini semua terbalik. Bagaimana kita bisa terjun dan mendampingi masyarakat jika esensi dan makna advokasi saja tidak tahu.
Dan bagaimana kita bisa turun hingga ke akar rumput, jikalau sifat pragmatism lebih tinggi dibanding idealisme sebagai kader pergerakan, karena sebagian orang bilang, perut sebelum otak.
Demi menjaga isi kepala dari virus sok tahu dan tak tahu malu, kita perlu memahami makna dan esensi advokasi dan pendampingan terhadap masyarakat.
Kritik pedas hadir oleh sahabat mustolih siradj, beliau berkata terjadi penurunan budaya terhadap advokasi dan pendampingan hukum terhadap masyarakat.
Hal ini yang melatar belakangi penulis untuk membahas dan menulis perihal ini. Oleh karena itu, mari mulai sedikit-demi sedikit mengisi dan membuka nurani perihal advokasi.
Advokasi menurut Mustolih Siradj adalah perang, perang melawan yang bertentangan dengan kemaslahatan rakyat.
Dalam hal ini membela masyarakat bawah bukan membela masyarakat atas. Selain itu, advokasi adalah suatu bentuk upaya untuk mempengaruhi kebijakan publik dengan melakukan berbagai macam pola komunikasi yang persuasif.
Contoh, ada sebuah kebijakan dari pemerintah mengenai Pendidikan Jarak jauh (PJJ). Ada sebagian masyarakat yang tidak setuju dengan hal ini karena dirasa merugikan masyarakat.
Hal yang demikian adalah advokasi terhadap kebijakan publik. Secara ringkas, advokasi berarti sebuah cara untuk membela atau mengkritik kebijakan maupun hukum yang dilakukan oleh mahasiswa, pengacara, masyarakat atau orang-orang yang berkepentingan.
Selain itu, taktala ingin mengadvokasi perlu dipertimbangkan terlebih dahulu regulasi dan kondisi, agar yang kita lakukan tepat sasaran dan tidak bertentangan dengan regulasi maupun kondisi.
Karena tujuan dari advokasi sendiri tidak terlepas dari arti advokasi sendiri yaitu, semata-mata untuk menyelesaikan sengketa antar orang maupun kelompok.
Advokasi hadir bukan untuk diacuhkan. Di beberapa daerah banyak sekali kasus dan juga kebijakan yang perlu diadvokasi.
Sebut saja persoalan penggusuran dam sengketa tanah. Hal ini menjadi langganan wajib bagi masyakat awam untuk mendapatkan pendampingan dan perlindungan hokum.
Karena hari ini advokasi bukan hanya bagi kalangan terpelajar saja, masyarakat awam pun harus bisa memahaminya. Agar bisa melindungi diri dan keluarga soalnya mahasiswanya diam saja tak banyak bantu.
Advokasi erat kaitannya dengan pendampingan hukum terhadap masyarakat. Proses pendampingan hukum adalah bagian dari advokasi,
melindungi, mendengar curhatan rakyat, dan menganalisa merupakan satu kesatuan untuk menjadi sebuah kesimpulan.
Dengan hal itu secara perlahan dapat melindungi dan mendampinginya, karena banyak sekali oknum yang memanfaatkan hal itu untuk kepentingannya sendiri, mengambil manfaat dari orang yang tak tahu apa-apa.
Hari ini sedikit sekali kader pergerakan yang terlibat kedalam hal seperti itu, mulai jarang akhirnya semakin berkurang dan lama-lama tenggelam.
Diatas penulis telah menceritakan kilas balik leluhur kader pergerakan dengan begitu cintanya dengan rakyat.
Mereka mengorbankan jiwa dan raganya untuk rakyat. Sebagai kader pergerakan dan sebagai mahasiswa sudah sepatutnya bangkit dan kembali ke khittah.
Yakni menjadi kader pergerakan yang berguna untuk orang banyak, mengurangi kesedihan rakyat dengan cara peduli terhadapnya.
Semoga dengan hal ini, mata kita terbuka dan nurani kita sadar bahwa betapa pentingnya makna kader bagi kita.
Jika kita tidak pernah turun dan terjun untuk mendampingi masyarakat, apa manfaat status mahasiswa jika tidak pernah memberikan manfaat untuk masyarakat. (Ahmad Zaqi Ainurrofi/Aktivis PMII)