25.2 C
Jakarta
22 November 2024, 6:51 AM WIB

Tegas, Sampah Tak Akan Diangkut Bila Belum Dipilah

Persoalan sampah seperti masalah turun-temurun yang tak pernah bisa diselesaikan di banyak tempat. Namun, tidak demikian dengan Desa Padangtegal, Ubud.

___

IB INDRA PRASETIA, Gianyar

___

TAHUN 2012 menjadi awal mula revolusi persampahan di Desa Adat Padangtegal, di Kelurahan/Kecamatan Ubud, Gianyar. Sejak 2012 lalu, desa adat yang terkenal dengan hutan monyet alias monkey forest ini mendirikan pengolahan sampah menjadi kompos.

Pengelola memberlakukan edukasi ketat terhadap masyarakat. Sampah di rumah tangga harus dipilah dulu, antara organik dengan anorganik. Ini yang disebut pemilahan sejak dari sumbernya.

“Sampai saat ini di Rumah Kompos Padangtegal hanya mendatangkan sampah hasil pilahan dari masyarakat Padangtegal saja. Jika tidak dipilah petugas juga tidak akan mau angkut,” ujar Manager Rumah Kompos Padangtegal, I Dewa Gede Satya Deva, Selasa (15/12).

Rumah kompos, lanjut Satya, bukan saja jadi tempat pengolahan sampah semata. Melainkan sebagai tempat edukasi penyelamatan lingkungan.

Rumah kompos ini tidak hanya melayani pengangkutan sampah bagi masyarakat. Juga melayani jasa pengangkutan bagi hotel, restoran dan usaha yang ada di wilayah Padangtegal.

Sejak didirikan 2012 lalu, terdapat 57 bak pengolahan kompos untuk mengolah sampah organik. Sedangkan sampah yang nonorganik juga dilakukan pemilahan mana yang bisa didaur ulang mana yang tidak.

Sampah yang tidak bisa didaur ulang, akan dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Temesi. Sehingga dengan demikian volume sampah yang dibawa ke TPA Temesi akan menjadi lebih sedikit jumlahnya.

Agar pemilihan yang sudah dilakukan warga berjalan maksimal, pihak Rumah Kompos tidak sembarangan dalam melakukan pengangkutan. Ini berbeda dengan kampanye di sejumlah pemerintah daerah yang menganjurkan warga melakukan pemilahan sampah, namun sampah organik dan non-organik dijadikan dalam satu truk pengangkut.

Cara yang dilakukan Rumah Kompos adalah membuat jadwal pengangkutan berdasarkan jenis sampahnya. Pengangkutan sampah nonorganik dilakukan mulai pukul 20.00 hingga pukul 00.00.

“Petugas pengangkut sampah nonorganik mengenakan pakaian warna biru,” katanya.

Lebih lanjut, pengambilan sampah organik dilakukan dari pukul 03.00 hingga pukul 07.00.

Seluruh sampah yang dihasilkan dari 670 Kepala Keluarga dan 600-an akomodasi usaha di Padangtegal terkumpul 3 truk atau sekitar 10 ton.
Sampai di Rumah Kompos, sampah diolah dan dipilah. Sampah organik yang terkumpul mencapai 2 truk. Sampah anorganik yang tidak bisa diolah jadi kompos dibawa ke TPA Temesi.

Ketika sampai di rumah kompos, sampah organik dicacah agar pengomposan lebih cepat. Seluruh proses operasional Rumah Kompos ini menyerap 40 tenaga kerja. 

Meski Rumah Kompos berada di daerah pariwisata, dekat Monkey Forest, sampah tidak berbau. Untuk menghilangkan bau, pihaknya menyemprotkan bahan yang berfungsi sebagai mepercepat pemkomposan dan pengurangan bau. Setelah jadi kompos akan dikemas dan ditimbang terlebih dahulu sebelum dijual.

Penjualan kompos yang dihasilkan bisa sampai keluar desa. Bisa dibeli dengan skala eceran, dalam bentuk kampil (karung). Bahkan bisa dibeli dengan ukuran meter kubik.

Untuk bisa menyukseskan program Rumah Kompos, dukungan desa adat cukup besar. Terutam dalam hal regulasi, yakni membuat pararem atau aturan adat yang mewajibkan warga maupun penduduk pendatang ikut serta dalam pengolahan sampah yang ada di desa setempat. Tujuannya, dari pengolahan itu untuk membiasakan diri setiap warga memilah sampahnya dari masing-masing rumah tangga.

“Sehingga yang dibuang ke TPA dapat diminimalisir jumlahnya,” ungkapnya.

Bendesa Adat Padangtegal, I Made Gandra bercerita, awal mula berdirinya Rumah Kompos, yang paling sulit adalah dalam mengedukasi masyarakat untuk memilah sampah di rumah tangga.

“Sejak tahun 2012 itu selama dua tahun kami di sini sangat sulit sekali mengedukasi masyarakat agar bersama-sama memilah sampahnya dari rumah. Namun tiga tahunnya dan sampai saat ini mereka sudah sadar,” terangnya semringah.

Lanjut dia, menyelesaikan sampah harus dilakukan secara bersama-sama dan ada tempat edukasi. “Tanpa edukasi yang benar atau pengolahan yang benar akan sulit untuk melangkah,” pungkasnya.

Dewa Gede Putra Utama, salah satu warga setempat, mengaku bangga dengan adanya rumah kompos. “Saya selaku warga Padangtegal sangat berbangga dengan adanya Rumah Kompos. Sampah merupakan masalah yang sangat penting di dalam kehidupan sehari-hari terutama masalah sampah nonorganik,” ujar lulusan dokter gigi yang juga kepala lingkungan Banjar Padangtegal Mekarsari itu, Rabu malam (23/10).

Putra Utama mengaku bersyukur ada edukasi untuk memilah sampah organik dan nonorganik. Apalagi, masyarakat sudah paham mengenai bahaya sampah. “Sampah nonorganik sangat berbahaya dalam pencemaran lingkungan terutama sampah plastiknya yang sangat sulit terurai,” ujarnya.

Persoalan sampah seperti masalah turun-temurun yang tak pernah bisa diselesaikan di banyak tempat. Namun, tidak demikian dengan Desa Padangtegal, Ubud.

___

IB INDRA PRASETIA, Gianyar

___

TAHUN 2012 menjadi awal mula revolusi persampahan di Desa Adat Padangtegal, di Kelurahan/Kecamatan Ubud, Gianyar. Sejak 2012 lalu, desa adat yang terkenal dengan hutan monyet alias monkey forest ini mendirikan pengolahan sampah menjadi kompos.

Pengelola memberlakukan edukasi ketat terhadap masyarakat. Sampah di rumah tangga harus dipilah dulu, antara organik dengan anorganik. Ini yang disebut pemilahan sejak dari sumbernya.

“Sampai saat ini di Rumah Kompos Padangtegal hanya mendatangkan sampah hasil pilahan dari masyarakat Padangtegal saja. Jika tidak dipilah petugas juga tidak akan mau angkut,” ujar Manager Rumah Kompos Padangtegal, I Dewa Gede Satya Deva, Selasa (15/12).

Rumah kompos, lanjut Satya, bukan saja jadi tempat pengolahan sampah semata. Melainkan sebagai tempat edukasi penyelamatan lingkungan.

Rumah kompos ini tidak hanya melayani pengangkutan sampah bagi masyarakat. Juga melayani jasa pengangkutan bagi hotel, restoran dan usaha yang ada di wilayah Padangtegal.

Sejak didirikan 2012 lalu, terdapat 57 bak pengolahan kompos untuk mengolah sampah organik. Sedangkan sampah yang nonorganik juga dilakukan pemilahan mana yang bisa didaur ulang mana yang tidak.

Sampah yang tidak bisa didaur ulang, akan dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Temesi. Sehingga dengan demikian volume sampah yang dibawa ke TPA Temesi akan menjadi lebih sedikit jumlahnya.

Agar pemilihan yang sudah dilakukan warga berjalan maksimal, pihak Rumah Kompos tidak sembarangan dalam melakukan pengangkutan. Ini berbeda dengan kampanye di sejumlah pemerintah daerah yang menganjurkan warga melakukan pemilahan sampah, namun sampah organik dan non-organik dijadikan dalam satu truk pengangkut.

Cara yang dilakukan Rumah Kompos adalah membuat jadwal pengangkutan berdasarkan jenis sampahnya. Pengangkutan sampah nonorganik dilakukan mulai pukul 20.00 hingga pukul 00.00.

“Petugas pengangkut sampah nonorganik mengenakan pakaian warna biru,” katanya.

Lebih lanjut, pengambilan sampah organik dilakukan dari pukul 03.00 hingga pukul 07.00.

Seluruh sampah yang dihasilkan dari 670 Kepala Keluarga dan 600-an akomodasi usaha di Padangtegal terkumpul 3 truk atau sekitar 10 ton.
Sampai di Rumah Kompos, sampah diolah dan dipilah. Sampah organik yang terkumpul mencapai 2 truk. Sampah anorganik yang tidak bisa diolah jadi kompos dibawa ke TPA Temesi.

Ketika sampai di rumah kompos, sampah organik dicacah agar pengomposan lebih cepat. Seluruh proses operasional Rumah Kompos ini menyerap 40 tenaga kerja. 

Meski Rumah Kompos berada di daerah pariwisata, dekat Monkey Forest, sampah tidak berbau. Untuk menghilangkan bau, pihaknya menyemprotkan bahan yang berfungsi sebagai mepercepat pemkomposan dan pengurangan bau. Setelah jadi kompos akan dikemas dan ditimbang terlebih dahulu sebelum dijual.

Penjualan kompos yang dihasilkan bisa sampai keluar desa. Bisa dibeli dengan skala eceran, dalam bentuk kampil (karung). Bahkan bisa dibeli dengan ukuran meter kubik.

Untuk bisa menyukseskan program Rumah Kompos, dukungan desa adat cukup besar. Terutam dalam hal regulasi, yakni membuat pararem atau aturan adat yang mewajibkan warga maupun penduduk pendatang ikut serta dalam pengolahan sampah yang ada di desa setempat. Tujuannya, dari pengolahan itu untuk membiasakan diri setiap warga memilah sampahnya dari masing-masing rumah tangga.

“Sehingga yang dibuang ke TPA dapat diminimalisir jumlahnya,” ungkapnya.

Bendesa Adat Padangtegal, I Made Gandra bercerita, awal mula berdirinya Rumah Kompos, yang paling sulit adalah dalam mengedukasi masyarakat untuk memilah sampah di rumah tangga.

“Sejak tahun 2012 itu selama dua tahun kami di sini sangat sulit sekali mengedukasi masyarakat agar bersama-sama memilah sampahnya dari rumah. Namun tiga tahunnya dan sampai saat ini mereka sudah sadar,” terangnya semringah.

Lanjut dia, menyelesaikan sampah harus dilakukan secara bersama-sama dan ada tempat edukasi. “Tanpa edukasi yang benar atau pengolahan yang benar akan sulit untuk melangkah,” pungkasnya.

Dewa Gede Putra Utama, salah satu warga setempat, mengaku bangga dengan adanya rumah kompos. “Saya selaku warga Padangtegal sangat berbangga dengan adanya Rumah Kompos. Sampah merupakan masalah yang sangat penting di dalam kehidupan sehari-hari terutama masalah sampah nonorganik,” ujar lulusan dokter gigi yang juga kepala lingkungan Banjar Padangtegal Mekarsari itu, Rabu malam (23/10).

Putra Utama mengaku bersyukur ada edukasi untuk memilah sampah organik dan nonorganik. Apalagi, masyarakat sudah paham mengenai bahaya sampah. “Sampah nonorganik sangat berbahaya dalam pencemaran lingkungan terutama sampah plastiknya yang sangat sulit terurai,” ujarnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/