DENPASAR – Salah satu pelanggaran kampanye yang jadi perhatian serius Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia dalam Pemilu 2019 adalah keterlibatan aparatur sipil negara (ASN).
Tak hanya di tingkat pusat, potensi pelanggaran berupa keterlibatan ASN dalam upaya pemenangan peserta pemilu serta penggunaan sumber daya milik negara,
baik dalam pemilihan legislatif (pileg) maupun pemilihan presiden (pilpres) juga menjadi atensi khusus Bawaslu Bali.
Hal ini menjadi krusial lantaran tidak sedikit calon legislatif (caleg) yang tertera dalam daftar calon tetap (DCT) merupakan pensiunan ASN.
Beberapa di antaranya adalah mantan Penjabat Bupati Gianyar sekaligus Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Bali I Ketut Rochineng,
mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Gianyar Ida Bagus Gaga Adi Saputra alias Gus Gaga, mantan Sekda Provinsi Bali Cokorda Ngurah Pemayun, dan sederet birokrat lainnya.
Kepada Jawa Pos Radar Bali, Senin (24/9) kemarin, Komisioner Bawaslu Bali I Ketut Rudia mengatakan, sudah ada ketentuan yang mengatur agar netralitas ASN dapat dipertanggungjawabkan.
Hal tersebut diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017. Larangan khusus bagi pelaksana dan atau tim kampanye pemilu yang melanggar
diatur dalam Pasal 493. Pasal 280 ayat (2) berbunyi para pelanggar dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp 12.000.000.
“Jadi, ASN dan pelaksana kampanye agar hati-hati dan jangan coba-coba melanggar ketentuan pasal tersebut,” ucap Rudia.
Imbuh mantan Ketua Bawaslu Bali periode 2013-2018 itu, aturan yang melarang keterlibatan ASN tercantum dalam
huruf f Pasal 280 ayat (2) yang berbunyi pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang mengikutsertakan aparatur sipil negara.
“Pelanggaran terhadap ketentuan pada ayat (2) huruf f merupakan tindak pidana pemilu,” tegas I Ketut Rudia.
Selain ASN, Rudia menyatakan, pihaknya juga memelototi beberapa hal yang memicu gangguan pelaksanaan Pemilu 2019.
Terdiri atas penggunaan kekerasan, perusakan alat peraga kampanye, politik uang, dan penggunaan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan sebagai lokasi kampanye.
Rudia merinci ancaman gangguan tersebut seluruhnya diatur dalam Pasal 280 ayat (1). Huruf f tentang tindakan mengancam
untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan atau peserta pemilu yang lain.
Huruf g mengatur pelarangan perusakan dan atau menghilangkan alat peraga kampanye peserta pemilu. Huruf j berbunyi menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya
kepada peserta kampanye pemilu. Pasal 280 ayat (1) huruf h mengatur larangan penggunaan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
“Pelanggaran terhadap huruf f, g, dan j dipidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta rupiah,” tegasnya