DALAM ihwal kebijakan publik, tidaklah penting apa yang dibaca oleh pejabat publik, seperti seorang Gubernur.
Yang dibutuhkan oleh publik adalah apa yang pejabat itu tuliskan, bukan yang ia pikirkan. Yang paling pokok bagi masyarakat
adalah apa yang pejabat publik itu katakan dan tidak ia katakan, yang ia respon dan yang tak ia respon, apa yang ia lakukan dan yang tak ia lakukan, dalam konteks tertentu.
Sebagai politisi, pose Anies Baswedan membaca buku tertentu, itu bisa dimaknai gimmick politik belaka. Sebagai sebuah tanda (pesan) yang ia sampaikan, baik atas peristiwa yang sudah, sedang, atau yang ia prediksi akan terjadi.
Di luar itu, gimmick politik tersebut membuat popularitasnya terus menanjak, dibicarakan orang, dituliskan media.
Kebijakan dan Media
Karl W. Deutsch mengumpamakan negara sebagai sebuah kapal, dengan pemerintah sebagai nakhodanya.
Perumpamaan ini menggunakan pendekatan ini cybernetika, yaitu ilmu komunikasi dan pengendalian (control).
Komunikasi dan kontrol adalah berperan penting dalam suatu hubungan kekuasaan (power relationship), yang seringkali menyebabkan adanya ketidakseimbangan atau hubungan yang asimetris.
Selalu ada pihak yang lebih kuat dari pihak lain. Kondisi ini menimbulkan ketergantungan (dependency). Ketergantungan ini disebut sebagai dominasi dan hegemoni.
Untuk memahami hubungan asimteris, dominasi, dan kontrol, secara sederhana, meminjam pemikiran Noam Chomsky (Media Control), dalam demokrasi ada dua pihak; kaum intelektual dan kaum pandir (uneducated citizens).
Kaum pandir inilah target dari rekayasa propaganda, subyek dari kontrol media. Chomsky mengambil konsep tersebut dari Walter Lippman.
Lippman dalam teori demokrasi progresif mengatakan, bahwa dalam keadaan demokrasi berjalan dengan baik ada dua kelas dalam masyarakat.
Kelas pertama, kaum intelektual yang jumlahnya sedikit, aktif berperan dalam merencanakan, menganalisa, dan mengambil keputusan.
Kelas kedua adalah kaum pandir yang merupakan mayoritas dari populasi, bukan pemain utama dalam kebijakan publik.
Fungsi kaum pandir menurut Lippman adalah penonton dalam proses kebijakan publik, yang kekuatan besarnya digunakan
(dipinjam atau dimanfaatkan) oleh kelompok intelektual untuk meligitimasi kekuasaan kelas intelektual tersebut dalam pemilu.
Pasca pemilu, kelas kedua akan kembali menjadi penonton dalam proses kebijakan publik. Inilah yang disebut sebagai rekayasa persetujuan.
Dalam proses rekayasa persetujuan itu, media memainkan propaganda sebagaimana direncanakan oleh kaum intelektual.
Kaum intelektual ini tahu kapan dan bagaimana harus bermain propaganda, Chomsky menyebutnya sebagai the art of media control.
Media memainkan peranan penting dalam proses pengambilan keputusan kebijakan publik, karena itulah media dijuluki sebagai pilar keempat demokrasi, selain eksistensi trias politika: eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Namun, dalam banyak prakteknya, media dengan segala agendanya dapat berfungsi sebagai agen-agen dari kepentingan politik kelas intelektual.
Demokrasi
Demokrasi yang menjadi dasar perpolitikan nasional ialah demokrasi konstitusional, dengan corak khas yaitu kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, yang dimuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar.
Segala legitimasi dalam pengambilan kebijakan publik pertama-tama harus mengacu pada prinsip ini.
Namun, Lord Acton mengingatkan bahwa bagaimanapun juga, pemerintahan diselenggarakan oleh manusia, dan bahwa manusia mempunyai banyak kelemahan.
Dalil Acton yang terkenal, “Manusia dengan kuasa cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya (Power tends corrupt, but absolute power corrupts absolutely).”
Karena itulah demokrasi tidak bergerak linear, dari bayi menuju dewasa. Demokrasi bisa naik atau turun kualitasnya, bisa juga layu sebelum berkembang. Demokrasi memang bisa mati, setidaknya karena beberapa hal:
Pertama, mengijinkan orang/kelompok anti demokrasi hidup dalamnya, bahkan diperbolehkan ikut dalam kontestasi, dalam pemilu di berbagai level.
Contoh gamblang adalah Adolf Hitler yang menunggangi demokrasi, lalu membunuhnya. Ini memang paradoks toleransi dalam demokrasi menurut Karl Popper (The Open Society and Its Enemies).
Kedua, mengutamakan syarat administratif bagi kontestan dalam pemilu, dengan mengabaikan latar status pelanggar HAM, kejahatan seksual (pedofil, porno, dll), pengguna narkoba, juga terkait dengan korupsi.
Dalam konteks Indonesia, usulan KPU ini ditolak oleh DPR RI. Hasilnya, para koruptor masuk lagi dalam arena demokrasi.
Ketiga, membiarkan penggunaan isu SARA dalam kontestasi politik. Proses demokrasi direduksi menjadi mobokrasi, bahkan disertai dengan ancaman dan persekusi.
Konsultan politikpun menggunakan cara-cara seperti ini. Tujuan utama bukan menjaga marwah demokrasi, tapi sekadar menang dan kalah dalam kontestasi. Contoh paling transparan di Indonesia terjadi dalam Pilkada DKI 2017 lalu.
Keempat, media yang memberi panggung pada kelompok-kelompok anti demokrasi, politisi dengan latar pelanggar HAM, koruptor, pengguna narkoba, pelaku kejahatan seksual,
juga memberi panggung untuk kontestan (beserta konsultan dan pendukungnya) yang menggunakan isu SARA dan menghalalkan segala cara.
Apabila demokrasi kita diisi oleh para politisi yang lebih banyak bermain propaganda media dengan segala gimmick politiknya namun rendah dalam keberpihakan pada komitmen demokrasi,
atau diisi oleh pelaku kejahatan seksual, pengguna narkoba, dan atau pengguna isu SARA untuk memenangkan kontestasi, maka demokrasi Indonesia di ambang kematiannya.
Konsekuensi dari kematian demokrasi bagi nation state bernama Indonesia, tentu sangat mahal harganya. Kita tentu tak mau berandai-andai apa yang akan terjadi jika roh demokrasi tercabut.
Di sinilah nasionalisme seseorang diuji. Nasionaliskah seorang politisi? Pedulikah ia dengan masa depan bangsa?
Joaquim Rohi
Political Science, RUDN University, Moscow – Russia