29.9 C
Jakarta
20 September 2024, 19:08 PM WIB

Gelar Tabuh Rah Sebagai Penghormatan Terakhir

Upacara palebon (kremasi) terhadap jasad I Dewa Made Alit, 76, di setra (kuburan) Banjar Kesian, Desa Lebih, Kecamatan Gianyar sedikit berbeda.

Saat api membakar patung lembu, yang dijadikan tempat jenazah, warga mengadu ayam dihadapan jasad almarhum. Penghormatan terakhir itu berlangsung Jumat (24/5) kemarin.

 

INDRA PRASETIA, Gianyar

RATUSAN warga Desa Pakraman Kesian bersama petugas Pemadam Kebakaran (Damkar) Pemkab Gianyar tampak berbaur.

Mengenakan pakaian adat madya, mereka mengiringi upacara palebon (kremasi) almarhum I Dewa Made Alit. Kakek 76 tahun tersebut merupakan ayah dari petugas Damkar Gianyar, I Dewa Putu Anom, 45.

Sekilas, prosesi upacara tak jauh berbeda dengan palebon pada umumnya. Ada bade atau tempat mengantar jenazah dari rumah ke setra. Juga ada lembu hitam, sebagai sarana menempatkan jenazah saat dibakar.

Pengarak lembu dari kalangan petugas Damkar Gianyar. Sedangkan, pengarak bade dari kerabat dan warga setempat. Sampai di setra, jasad yang tadinya diarak dari bade, kemudian dipindahkan ke lembu.

Pemandangan berbeda pun mulai terlihat saat api membakar perlahan lembu tersebut. Sekumpulan warga penghobi ayam aduan langsung berkumpul di depan lembu yang terbakar.

Mereka menyiapkan ayam aduan. Saat api disulut ke patung lembu, ayam jago langsung diadu. Mereka sedang menggelar menggelar tabuh rah.

Ayam yang kalah pun lari dan dibiarkan lepas. Sedangkan yang menang diamankan oleh pemiliknya.

“Ini adalah penghormatan terakhir kami kepada Dewa Kak (panggilan almarhum Dewa Made Alit, red),” ujar I Nyoman Utik, yang mengaku sebagai murid dari almarhum.

Nyoman Utik bersama sejumlah temannya menganggap almarhum sebagai guru di bidang ayam aduan. “Dewa Kak memberikan arahan tentang cara memelihara ayam. Hingga mengadu ayam secara tradisional,” jelasnya.

Utik mengaku, semasa hidup almarhum merupakan sosok serba sederhana. Dibalik kesederhanaan itu, almarhum memiliki vibrasi untuk mengajari generasi muda penghobi pengayam-ngayaman (tentang ayam aduan).

“Beliau tidak serta merta bertaruh. Lebih banyak memberikan arahan agar memetik filosofi dari ayam beradu dan banyak hal lainya agar kita tetap kontrol diri,” imbuhnya.

Sementara itu, putra almarhum, Dewa Putu Anom mengakui jika semasa hidupnya, sang ayah banyak memiliki rekan di dunia tabuh rah. Padahal, ayahnya bukannya orang yang suka bertaruh banyak.

Hanya saja, rekan-rekannya itu sering meminta pertimbangan ke almarhum, sebelum ke arena tabuh rah. “Beliau memang memahami tata cara pengayam-ayaman secara tradisional.

Beliau juga sering mewanti agar rekannya senantiasa membatasi diri,” jelasnya. Hal itu dibuktikan dengan kebiasaan almarhum semasa hidup.

“Buktinya, tidak pernah jual tanah selama menekuni tabuh rah ini. Malah, sebagai petani, beliau mampu menabung dan membeli sebidang lahan pertanian,” kenangnya bangga.

Dewa Anom pun mengakui, semasa hidupnya tabuh rah selalu dijadikan batasan dalam mendidik anak-anaknya.

Salah satunya adalah sikap ikhlas saat tidak mampu menghadapi cobaan hidup. “Tapi tetap akan ada peluang untuk menang di kemudian hari,” jelasnya.

Tidak hanya itu, almarhum juga menanamkan jiwa sportivitas. Saling menerima keadaan tanpa iri hati, melainkan harus tetap memiliki motivasi.

“Dan terpenting adalah persaudaraan,” tegasnya. Dalam tabuh rah, disebutkan semua orang dari berbagai penjuru berkumpul, tiada rasa perbedaan.

Sehingga rasa ini sebenarnya dapat meredam konflik tengah persaingan. “Kami anak-anaknya kadang sulit memahami.

Tapi, ketika dijalankan dalam keseharian dengan berpikir rasional, kami baru rasakan sekarang saat beliau telah pergi,” tukasnya. (*)

 

Upacara palebon (kremasi) terhadap jasad I Dewa Made Alit, 76, di setra (kuburan) Banjar Kesian, Desa Lebih, Kecamatan Gianyar sedikit berbeda.

Saat api membakar patung lembu, yang dijadikan tempat jenazah, warga mengadu ayam dihadapan jasad almarhum. Penghormatan terakhir itu berlangsung Jumat (24/5) kemarin.

 

INDRA PRASETIA, Gianyar

RATUSAN warga Desa Pakraman Kesian bersama petugas Pemadam Kebakaran (Damkar) Pemkab Gianyar tampak berbaur.

Mengenakan pakaian adat madya, mereka mengiringi upacara palebon (kremasi) almarhum I Dewa Made Alit. Kakek 76 tahun tersebut merupakan ayah dari petugas Damkar Gianyar, I Dewa Putu Anom, 45.

Sekilas, prosesi upacara tak jauh berbeda dengan palebon pada umumnya. Ada bade atau tempat mengantar jenazah dari rumah ke setra. Juga ada lembu hitam, sebagai sarana menempatkan jenazah saat dibakar.

Pengarak lembu dari kalangan petugas Damkar Gianyar. Sedangkan, pengarak bade dari kerabat dan warga setempat. Sampai di setra, jasad yang tadinya diarak dari bade, kemudian dipindahkan ke lembu.

Pemandangan berbeda pun mulai terlihat saat api membakar perlahan lembu tersebut. Sekumpulan warga penghobi ayam aduan langsung berkumpul di depan lembu yang terbakar.

Mereka menyiapkan ayam aduan. Saat api disulut ke patung lembu, ayam jago langsung diadu. Mereka sedang menggelar menggelar tabuh rah.

Ayam yang kalah pun lari dan dibiarkan lepas. Sedangkan yang menang diamankan oleh pemiliknya.

“Ini adalah penghormatan terakhir kami kepada Dewa Kak (panggilan almarhum Dewa Made Alit, red),” ujar I Nyoman Utik, yang mengaku sebagai murid dari almarhum.

Nyoman Utik bersama sejumlah temannya menganggap almarhum sebagai guru di bidang ayam aduan. “Dewa Kak memberikan arahan tentang cara memelihara ayam. Hingga mengadu ayam secara tradisional,” jelasnya.

Utik mengaku, semasa hidup almarhum merupakan sosok serba sederhana. Dibalik kesederhanaan itu, almarhum memiliki vibrasi untuk mengajari generasi muda penghobi pengayam-ngayaman (tentang ayam aduan).

“Beliau tidak serta merta bertaruh. Lebih banyak memberikan arahan agar memetik filosofi dari ayam beradu dan banyak hal lainya agar kita tetap kontrol diri,” imbuhnya.

Sementara itu, putra almarhum, Dewa Putu Anom mengakui jika semasa hidupnya, sang ayah banyak memiliki rekan di dunia tabuh rah. Padahal, ayahnya bukannya orang yang suka bertaruh banyak.

Hanya saja, rekan-rekannya itu sering meminta pertimbangan ke almarhum, sebelum ke arena tabuh rah. “Beliau memang memahami tata cara pengayam-ayaman secara tradisional.

Beliau juga sering mewanti agar rekannya senantiasa membatasi diri,” jelasnya. Hal itu dibuktikan dengan kebiasaan almarhum semasa hidup.

“Buktinya, tidak pernah jual tanah selama menekuni tabuh rah ini. Malah, sebagai petani, beliau mampu menabung dan membeli sebidang lahan pertanian,” kenangnya bangga.

Dewa Anom pun mengakui, semasa hidupnya tabuh rah selalu dijadikan batasan dalam mendidik anak-anaknya.

Salah satunya adalah sikap ikhlas saat tidak mampu menghadapi cobaan hidup. “Tapi tetap akan ada peluang untuk menang di kemudian hari,” jelasnya.

Tidak hanya itu, almarhum juga menanamkan jiwa sportivitas. Saling menerima keadaan tanpa iri hati, melainkan harus tetap memiliki motivasi.

“Dan terpenting adalah persaudaraan,” tegasnya. Dalam tabuh rah, disebutkan semua orang dari berbagai penjuru berkumpul, tiada rasa perbedaan.

Sehingga rasa ini sebenarnya dapat meredam konflik tengah persaingan. “Kami anak-anaknya kadang sulit memahami.

Tapi, ketika dijalankan dalam keseharian dengan berpikir rasional, kami baru rasakan sekarang saat beliau telah pergi,” tukasnya. (*)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/