Oleh: Dahlan Iskan
Saya cemburu. Pada buku ini. Begitu bagusnya. Belum lagi membaca setengahnya tidak tahan untuk tidak menulis komentar tentangnya.
Target saya: begitu mendarat di Jakarta selesailah halaman terakhirnya. Ternyata tidak bisa. Padahal Los Angeles-Shanghai-Jakarta begitu jauhnya.
Saya harus membacanya pelan-pelan. Menikmati kata-demi-kata. Kewartawanan saya ternyata bukan apa-apa. Tidak sampai sekuku hitamnya.
Inilah kerja jurnalistik yang all out. Mengejar sumber berita. Menggali data. Mencari sisi-sisi yang diabaikan berita. Menemukan kejadian-kejadian langka. Dan menuliskannya dengan cara sastra.
Itulah buku berjudul ”Billion Dollar Whale”. Dengan sub judul: Laki-laki yang telah mengecoh Wall Street, Hollywood dan Alam Semesta.
Penulisnya: dua wartawan. Dari harian Wall Street Journal New York. Yang bertugas di Asia: Tom Wright dan Bradley Hope.
Temanya: tentang Jho Low. Anak muda Malaysia. Yang berhasil jadi cukong Najib Razak. Perdana Menteri Malaysia. Dengan fantastisnya.
Saya sedang di Memphis. Di negara bagian Tennessee. Saat mendengar buku itu akan terbit. Minggu itu juga. Begitu tiba di Houston, Texas, saya langsung ke toko buku. Siapa tahu sudah tersedia.
Saya datangi konter khusus buku-buku baru. Sialan. Ada lima. Saya pelototi satu persatu. Saya ingat benar desain sampulnya. Tidak ketemu. Sampai konter kelima buku itu tidak ada.
Saya putuskan bertanya. Petugas pun membuka komputernya. Menemukannya.
”Di rak sana,” katanya. Sambil menunjuk satu rak tidak jauh dari komputernya.
Saya pelototi rak itu. Dari kiri ke kanan. Tidak ketemu. Dari kanan ke kiri. Juga tidak ada.
”Tidak ketemu,” kata saya.
Ganti petugas yang ke rak buku. Juga tidak menemukannya.
”Coba saya cari ke gudang,” katanya lirih.
Saya menunggu lama. Sambil lihat-lihat yang lain: siapa tahu. Apakah sudah ada buku baru Sophie Kinsella. Serial shopaholic itu. Yang selalu bikin gemes itu.
”Ini dia,” kata petugas itu. Sambil membawa buku tebal.
Rupanya benar-benar baru tiba. Belum sempat dipajang. Mungkinkah tidak kesusu dipajang? Karena topik yang dibahas tentang Asia? Yang kurang menarik di mata publik Amerika?
Saya tidak langsung membacanya. Itu benda penting. Yang tidak boleh dibaca di tengah sibuk sana-sini. Tiga hari berikutnya saya masih banyak acara. Bahkan masih harus mengemudi ke Austin segala.
Buku itu akan jadi agenda utama: dalam penerbangan jarak jauh.
Dan saya betul-betul menikmatinya. Sambil merasa kalah telak. Tulisan panjang saya tentang Rosma Mansor tidak ada sesendok tehnya.
Begitu detil buku ini: bagaimana pesta-pesta orang kaya. Di hotel, nite club, di atas kapal mewah, di pesawat jet. Bagaimana mengundang artis Paris Hilton. Dengan cara mengiriminya pesawat khusus.
Bagaimana mendatangkan 20 Playmates. Bagaimana kalah judi miliaran rupiah dalam sekejap.
Untung saya sudah menonton film Crazy Rich Asians. Saat di Hays, Kansas. Yang saya tidak suka mutu filmnya. Tapi harus menontonnya: agar tahu mengapa banyak orang menontonnya.
Kemewahan di film itu tidak ada artinya. Dibanding yang digambarkan buku ini. Yang artis dibelikan Ferrari putih. Yang dibelikan jam berlian. Yang diberi koin untuk judi. Yang nilainya puluhan juta rupiah sekali lempar. Termasuk kepada yang baru kali itu melihat meja judi. Tidak tahu bagaimana menggunakan chip itu.
Jho Low memang keajaiban dunia. Orang tuanya pengusaha. Di Penang, Malaysia. Yang benar-benar mendesain anaknya untuk sukses.
Caranya: sekolahkan ke sekolah anak-anak orang kaya dunia.
Karena itu harus sekolah di negara maju. Hanya satu tahun Jho Low sekolah di SMA elit di Penang. Lalu dipindahkan ke SMA elit di London. Di situ ketemu anak Rosma. Anak tiri Najib.
Dari London pindah ke Amerika. Kuliahnya di Wharton. Tempat Presiden Trump kuliah.
Di sini berteman dengan anak-anak keluarga kerajaan. Dari negara-negara Arab. Itulah jaringan awal Jho Low.
Umur 22 tahun ia sudah mengatur pertemuan tingkat pangeran di Emirat Arab. Sudah bisa menyimpulkan: bisa memanfaatkan sistem ekonomi Islam. Untuk dapat uang dari bisnis di Malaysia. Yang juga negara Islam. Dengan memanfaatkan sistem mudabalah.
Umur 26 tahun sudah bisa menggalang dana mudabalah itu. Untuk proyek kota baru Iskandar City di Johor Baru.
Umur 28 sudah dapat kucuran dana Rp 14 triliun. Dari 1MDB Malaysia. Tanpa prosedur.
Drama pengucuran uang ini begitu menariknya. Sampai-sampai bank sekelas Deutsche Bank mencairkannya.
Ulang tahunnya ke 26 sudah gila-gilaan. Begitu tiap tahun. Ulang tahunnya ke 32 apalagi. (Baca: Rosma Setelah Tinggalkan Penyiar TV)
Saya harapkan wartawan baca buku ini. Juga para pejabat pemerintah. Terutama yang dari kalangan politik. Atau kalangan ulama. Agar tahu trik-trik pengusaha. Dalam memanfaatkan pejabatnya. Terutama memanfaatkan isteri mereka. (Dahlan Iskan)