28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 5:21 AM WIB

Bisa Kuliahkan Dua Anak, Demi Jaga Kualitas Tidak Pakai Minyak Bekas

Semua pekerjaan kalau dilakukan dengan tekun akan mendatangkan hasil yang lumayan besar. Hal ini sudah dirasakan penjual gorengan I Komang Sutama 50. 

Pria asal Dusun Bangbang Biaung, Duda, Selat Karangasem,  ini mengaku sudah 10 tahun jualan gorengan. Dari usahanya ini sudah mampu menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi.

WAYAN PUTRA, Amlapura

PEKERJAAN  yang ditekuni cukup berliku. Sutama awalnya adalah seorang sopir angkutan pedesaan (angkudes). 

Namun,  saat angkutan umum sekarat karena booming motor, dia mulai banting setir. Beberapa usaha sempat dilakukan sebelum memilih sebagai penjual gorengan. 

Di antaranya adalah  jualan kacang kapri keliling. Bahkan saat awal jualan gorengan sang istri masih jualan kacang kapri keliling. Caranya dengan menaruh di beberapa warung dengan sistem titip.

Namun seiring waktu usaha gorengan yang dia jual semakin ramai maka dia mulai fokus untuk jualan gorengan. “Sekarang ini hanya jual gorengan saja,” ujar pria Lulusan SMA tersebut.

 Pertama tama jualan hanya mampu menghasilkan Rp 150 ribu sampai 200 ribu per hari. Saat itu masih buka sore mulai jam 15 sore sampai pukul 18.00.  Belakangan ini dia mulai jualan sejak pagi sampai sore.

“Sekarang jam 10.00 pagi sudah mulai jualan,” ujarnya. Selain sempat jadi sopir bemo tahun 1998 dia juga sempat jadi tenaga honorer di SMAN 1 Selat. 

Namun, memilih mundur karena tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Gorengan yang dia jual lengkap dari tempe, pisang goreng tahu isi bahkan godoh nangka (nangka goreng).

Kerja kerasnya selama 10 tahun sekarang ini diakui cukup untuk kebutuhan sehari hari dan ditabung. 

Saat ini bisa menyekolahkan anaknya sampai di bangku kuliah. Bahkan, anak pertama sudah tamat kuliah sekalipun hanya  Diploma 1 (D1) namun sekarang sudah mandiri, sudah bekerja.

“Sempat kuliah di  World Training Center jurusan memasak,” ujarnya.  Sekarang ini sang anak Ni Luh Saraswati sudah bekerja di sebuah restoran di Denpasar. 

Sementara anak kedua saat ini juga masih kuliah di Apolonia Hotel School juga untuk satu tahun.

“Anak kedua baru empat bulan kuliah di sana,” ujarnya. Dia adalah Kadek Suarasta Dijaya. Sedangkan anak ketiga masih kelas VI SD.

Surasta sendiri juga piawai memainkan beberapa alat musik tradisional. Di antaranya rindik, gong, bale ganjur dan yang lainnya.  

Saat ini mengaku dia mendapat jualan per harinya mulai Rp 500 ribu sampai Rp 700 ribu. Ini dilakukan dari jam 10 pagi sampai jam 21.00. 

Sementara itu sampai saat ini dia mengerjakan sendiri kegiatannya tersebut bersama istrinya. Sutama sendiri mengaku belum bisa mencari tenaga kerja pembantu karena belum sanggup untuk menggajinya.

Sementara untuk persiapan dia pun harus bekerja mulai pagi dengan mulai membeli bahan- bahan sekaligus mengolahnya. 

Sebagian bahan baku seperti  tahu dan tempe dia ambil di Sidemen, Karangasem. Gorengan yang dia buat dijamin berkualitas karena menggunakan minyak goreng sekali pakai. 

“Saya tidak menggunakan minyak bekas. Karena bisa bikin batuk,” ujarnya. Menurutnya, kalau pembeli sampai sakit tentunya akan kapok berbelanja di tempatnya. 

Karena itu dia pun wajib menjaga kualitas dagangannya. “Saya awalnya dikira orang Jawa,” ujar suami Ni Wayan Tampeg tersebut. Ini lantaran  biasanya penjual gorengan dari Jawa atau Sunda.

Lokasi dia jualan juga cukup strategis dan ada di depan rumahnya. Ini karena jalan di depan rumahnya adalah jalan besar yang cukup ramai.

Dia  mengaku memang jarang tidak perlu gengsi untuk bekerja mendapatkan uang halal. “Mestinya tidak usah gengsi. Apa pun peluang harus dikerjakan dengan baik dan serius.

Keuntungan bersih dari hasil berjualan tersebut sekitar 30 persen. Ini sudah dipotong bahan baku, minyak goreng dan juga gas. Dia selalu menyisihkan untuk ditabung demi anak-anaknya.

Sejauh ini  dia juga tidak pernah membuat gorengan sisa dia goreng lagi. Karena ini akan merugikan konsumen. 

“Saya harus jaga terus kualitas sekalipun hanya dagang gorengan,” tambahnya. Awalnya di Selat ada dagang gorengan dari Jawa namun sekarang sudah tidak ada lagi. Sehingga sekarang ini nyaris tidak ada pesaing. (*)

Semua pekerjaan kalau dilakukan dengan tekun akan mendatangkan hasil yang lumayan besar. Hal ini sudah dirasakan penjual gorengan I Komang Sutama 50. 

Pria asal Dusun Bangbang Biaung, Duda, Selat Karangasem,  ini mengaku sudah 10 tahun jualan gorengan. Dari usahanya ini sudah mampu menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi.

WAYAN PUTRA, Amlapura

PEKERJAAN  yang ditekuni cukup berliku. Sutama awalnya adalah seorang sopir angkutan pedesaan (angkudes). 

Namun,  saat angkutan umum sekarat karena booming motor, dia mulai banting setir. Beberapa usaha sempat dilakukan sebelum memilih sebagai penjual gorengan. 

Di antaranya adalah  jualan kacang kapri keliling. Bahkan saat awal jualan gorengan sang istri masih jualan kacang kapri keliling. Caranya dengan menaruh di beberapa warung dengan sistem titip.

Namun seiring waktu usaha gorengan yang dia jual semakin ramai maka dia mulai fokus untuk jualan gorengan. “Sekarang ini hanya jual gorengan saja,” ujar pria Lulusan SMA tersebut.

 Pertama tama jualan hanya mampu menghasilkan Rp 150 ribu sampai 200 ribu per hari. Saat itu masih buka sore mulai jam 15 sore sampai pukul 18.00.  Belakangan ini dia mulai jualan sejak pagi sampai sore.

“Sekarang jam 10.00 pagi sudah mulai jualan,” ujarnya. Selain sempat jadi sopir bemo tahun 1998 dia juga sempat jadi tenaga honorer di SMAN 1 Selat. 

Namun, memilih mundur karena tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Gorengan yang dia jual lengkap dari tempe, pisang goreng tahu isi bahkan godoh nangka (nangka goreng).

Kerja kerasnya selama 10 tahun sekarang ini diakui cukup untuk kebutuhan sehari hari dan ditabung. 

Saat ini bisa menyekolahkan anaknya sampai di bangku kuliah. Bahkan, anak pertama sudah tamat kuliah sekalipun hanya  Diploma 1 (D1) namun sekarang sudah mandiri, sudah bekerja.

“Sempat kuliah di  World Training Center jurusan memasak,” ujarnya.  Sekarang ini sang anak Ni Luh Saraswati sudah bekerja di sebuah restoran di Denpasar. 

Sementara anak kedua saat ini juga masih kuliah di Apolonia Hotel School juga untuk satu tahun.

“Anak kedua baru empat bulan kuliah di sana,” ujarnya. Dia adalah Kadek Suarasta Dijaya. Sedangkan anak ketiga masih kelas VI SD.

Surasta sendiri juga piawai memainkan beberapa alat musik tradisional. Di antaranya rindik, gong, bale ganjur dan yang lainnya.  

Saat ini mengaku dia mendapat jualan per harinya mulai Rp 500 ribu sampai Rp 700 ribu. Ini dilakukan dari jam 10 pagi sampai jam 21.00. 

Sementara itu sampai saat ini dia mengerjakan sendiri kegiatannya tersebut bersama istrinya. Sutama sendiri mengaku belum bisa mencari tenaga kerja pembantu karena belum sanggup untuk menggajinya.

Sementara untuk persiapan dia pun harus bekerja mulai pagi dengan mulai membeli bahan- bahan sekaligus mengolahnya. 

Sebagian bahan baku seperti  tahu dan tempe dia ambil di Sidemen, Karangasem. Gorengan yang dia buat dijamin berkualitas karena menggunakan minyak goreng sekali pakai. 

“Saya tidak menggunakan minyak bekas. Karena bisa bikin batuk,” ujarnya. Menurutnya, kalau pembeli sampai sakit tentunya akan kapok berbelanja di tempatnya. 

Karena itu dia pun wajib menjaga kualitas dagangannya. “Saya awalnya dikira orang Jawa,” ujar suami Ni Wayan Tampeg tersebut. Ini lantaran  biasanya penjual gorengan dari Jawa atau Sunda.

Lokasi dia jualan juga cukup strategis dan ada di depan rumahnya. Ini karena jalan di depan rumahnya adalah jalan besar yang cukup ramai.

Dia  mengaku memang jarang tidak perlu gengsi untuk bekerja mendapatkan uang halal. “Mestinya tidak usah gengsi. Apa pun peluang harus dikerjakan dengan baik dan serius.

Keuntungan bersih dari hasil berjualan tersebut sekitar 30 persen. Ini sudah dipotong bahan baku, minyak goreng dan juga gas. Dia selalu menyisihkan untuk ditabung demi anak-anaknya.

Sejauh ini  dia juga tidak pernah membuat gorengan sisa dia goreng lagi. Karena ini akan merugikan konsumen. 

“Saya harus jaga terus kualitas sekalipun hanya dagang gorengan,” tambahnya. Awalnya di Selat ada dagang gorengan dari Jawa namun sekarang sudah tidak ada lagi. Sehingga sekarang ini nyaris tidak ada pesaing. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/