Hidup di keluarga pemahat, I Wayan Reka, tumbuh menjadi spesialis pembuat barong. Perajin asal Banjar Puaya, Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, itu kini mendirikan studio
dan art shop di Jalan Lettu Ngurah Duaji I di Desa Sukawati. Hingga saat ini, karya barong yang dihasilkan menghiasi sejumlah pura di desa-desa yang ada di Bali.
IB INDRA PRASETIA, Gianyar
BANGUNAN bale dauh di tempat usaha kerajinan milik I Wayan Reka dipenuhi dengan tapel (kepala barong) dan ukir-ukiran.
Ditemui Senin lalu (25/6), Reka tampak sibuk mengecat tapel pesanan berbahan kayu Pule. “Ini dari bahan, sketsa, sampai mengukir saya yang buat. Tapi sekarang saya dibantu sama anak-anak,” ujar perajin berusia 77 tahun itu.
Pria kelahiran 1942 itu mengaku sudah melihat kakeknya, bernama pekak Durus mengukir. “Saya hidup dari keluarga pemahat. Sejak kecil sudah melihat orang memahat,” ujarnya.
Reka sendiri diajarkan oleh ayahnya, Wayan Darsa. “Saya termasuk belajar otodidak, karena sering diambil akhirnya bisa,” jelasnya.
Sembari mengambil cat menggunakan kuas dan memoles tapel, Reka pun mengenang kisahnya. Reka muda pun sudah biasa membuat ukiran di Puri Klungkung.
“Dulu saya sering ngukir di Puri. Sampai disuruh jadi utusan puri ke Nusa Penida untuk memperbaiki ukiran di pura di sana,” jelasnya.
Sejak berkiprah sebagai perajin barong, sudah banyak pura-pura di Bali, yang mencarinya. “Hampir semua kabupaten di Bali sudah pernah saya tangani,” jelasnya.
Cara penanganannya pun beragam. “Mulai dari membuat baru. Sampai menservis. Servis itu mengecat ulang, didempul pakai serbuk cempaka dan lain-lain,” jelasnya.
Kata bapak 4 anak itu, penanganan tapel barong ini disesuaikan kebutuhan. “Ada desa yang ingin mengambil kayu lokal dari wilayah desa mereka. Ada yang mau pakai kayu yang kami sediakan,” jelasnya.
Reka juga kerap dipanggil untuk menservis barong di pura setempat. “Ada juga yang barongnya dibawa ke bengkel saya. Di sinilah (bale dauh, red) saya kerjakan barong milik pura,” ungkap suami dari Ni Ketut itu.
Sebagai perajin yang kerap mengambil barang milik pura, tentunya Reka harus minta izin dulu.
“Istri saya harus sediakan pejati. Minta izin sebelum saya kerjakan. Karena kejadian mistis sudah sering saya alami karena ini benda sakral,” jelasnya.
Untuk satu barong, rata-rata dikerjakan selama 3 bulan. Sejak bergelut menjadi spesialis barong pada 1970-an silam, karya Reka pun tercatat sebanyak 90-an.
“Ada catatannya. Barong saya sudah tersebar di seluruh Bali. Juga sampai ke Jepang dan Amerika,” jelasnya.
Harga barong pun beragam, mulai Rp 80-200 juta tergantung ukiran dan cat bertinta emas. Karya barong miliknya juga dibeli oleh beberapa orang penting, terutama pejabat di era presiden Soeharto.
“Pernah dibeli sama menteri, saya lupa namanya. Juga pernah dibeli sama Ibu Tien Soeharto,” jelasnya.
Atas kiprahnya melestarikan barong di pura-pura di Bali, Reka pun sempat menerima tiga penghargaan.
Di antaranya, penghargaan dari Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Bali yang diteken oleh gubernur Bali Ida Bagus Oka.
Kedua, penghargaan juara III membuat kerajinan dari kulit yang diteken oleh gubernur Bali, Ida Bagus Oka.
Dan penghargaan ketiga, terkait partisipasinya dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) 1984 yang diteken oleh Kepala Departemen Perindustrian, I Ketut Gede Mendra.
Sementara itu, putra ketiga Reka, I Nyoman Sujaya, mengaku sering membantu ayahnya berkarya.
“Saya sering membantu. Dari datang langsung ke lokasi (ke pura, red) atau bantu di rumah,” ujar Sujaya.
Kata Sujaya, gaya ukiran ayahnya itu tergolong gaya Puaya. “Ada perbedaan ukiran, antara gaya Batuan dengan Puaya.
Ukiran Puaya lebih rumit. Kalau bahasa spesifik, sulit saya menjelaskan. Orang mengerti ukiran pasti paham gaya Puaya ini,” jelasnya.
Menurut dia, ayahnya ini masih menggeluti dunia ukir meski sudah berusia senja. “Ini sebagai obat. Ini aktivitas sehari-hari, supaya ada kegiatan, ada semangat,” tukasnya. (*)