Oleh: Dahlan Iskan
Waktu tinggal 1 menit. Jam di New York menunjukkan angka 23.59. Tapi lampu hijau yang ditunggu tidak juga datang. Tepat pukul 00.00 Qualcomm mengumumkan: batal membeli NXP.
Lampu hijau yang ditunggu itu seharusnya datang dari Beijing. Delapan negara lainnya sudah setuju. Tinggal Tiongkok yang belum setuju. Tanpa alasan. Tanpa berita.
Tiongkok hanya membisu. Diam. Sampai pukul 00.00. Orang pun menafsirkan sendiri-sendiri: ini bagian dari perang dagang. Balasan untuk Amerika.
Atau: merger dua raksasa chip itu mengancam rencana Tiongkok: menjadi pelopor 5G di dunia handphone.
Dugaan lain: merger itu bisa mengancam dominasi Tiongkok. Dalam menciptakan dunia tanpa uang (cash-less). Persetujuan bulat sembilan negara diperlukan. Untuk mencegah terjadinya monopoli tingkat dunia.
Tapi juga bisa dipakai yang lain: perang dagang.
Qualcomm yang kini terbesar kedua dalam pembuatan microprocessor tidak bisa membatalkan begitu saja. Qualcomm harus membayar uang pembatalan. Sebesar Rp 24 triliun. Tepatnya USD 2 miliar.
Batalnya merger USD 44 miliar dolar ini mestinya heboh. Presiden Trump mestinya marah. Langkah besar perusahaan Amerika seperti Qualcomm begitu mudah dijegal. Oleh Tiongkok lagi.
Tapi yang terjadi justru keanehan: Trump mengeluarkan pernyataan yang menyejukkan. ”Pembicaraan kami dengan Tiongkok saat ini sangat baik,” katanya seperti dikutip media di Amerika.
Pembicaraan kami? Sangat baik? Pembicaraan yang mana? Pembicaraan yang kapan? Pembicaraan tentang apa?
Publik tahunya tidak ada pembicaraan apa pun. Di mana pun. Tentang apa pun. Sejak Trump benar-benar memulai perang 6 Juli lalu hubungan kedua negara ‘beku’. Tidak ada lagi perundingan. Tidak ada lagi saling kirim delegasi. Yang ada: saling ingin meningkatkan perang dagangnya.
Untung Trump sudah biasa bikin bingung. Kebingungan kali ini pun tidak terlalu membingungkan. Suka-suka Trump saja.
Dugaan saya pun salah: Tiongkok akhirnya akan mengeluarkan persetujuan itu. Sebagai isyarat mau sama-sama mengalah.
Amerika sudah mengalah dalam kasus ZTE: tidak lagi menghukum ZTE. Hanya minta denda Rp 40 triliun. Banyak juga ya… ZTE boleh impor chip lagi dari Amerika. ZTE berjanji tidak akan lagi dagang dengan Iran.
Masih ada pertanda-pertanda lainnya. Itu terjadi hanya sehari sebelum batas waktu pukul 00.00 hari Rabu itu. Bentuknya: semua perusahaan penerbangan Amerika bertekuk lutut. Kepada kemauan Beijing.
Bulan lalu Tiongkok mengancam: perusahaan penerbangan yang masih menulis kata ‘Taiwan’ sebagai tujuannya akan diberi sanksi. Batas waktunya: Selasa pukul 00.00 kemarin, 24 jam sebelum batas waktu merger Qualcomm-NXP.
Setelah menerima ultimatum itu American Airlines dan Delta diam saja. Ketika ditanya wartawan mereka menjawab: masih mengonsultasikan ultimatum tersebut kepada pemerintah Amerika.
Sampai hari Senin lalu website mereka masih menyebut tujuan penerbangan: Taipei, Taiwan.
Banyak yang menduga pemerintah Amerika bersikap menolak ultimatum Tiongkok itu. Kalau pun mereka tidak boleh lagi terbang ke Beijing Amerika bisa membalas: perusahaan penerbangan Tiongkok tidak boleh terbang ke Amerika.
Amerika telah mengejek ultimatum Tiongkok itu sebagai Orwellian Nonsens. Diambil dari novel karya George Orwell yang terkenal itu.
Maksudnya: mengada-ada. Tidak masuk akal.
Tapi endingnya di luar dugaan: American Airline dan Delta takluk. Hanya beberapa jam sebelum batas waktu, website mereka berubah. Kota tujuan ‘Taipei, Taiwan’ menjadi ‘Taipei, Taipei’.
Bagi Tiongkok Taiwan adalah provinsinya. Presiden Taiwan yang sekarang, Tsai Ing-wen berkeras Taiwan adalah negara tersendiri.
Dua pertanda-pertanda itu ternyata bukan pertanda. Tiongkok asyik dalam diamnya. Persetujuan merger Qualcomm-NXP tetap tidak keluar.
Jangan-jangan sebentar lagi tersiar berita: NXP diakuisisi Broadcom!
Bisa-bisa CEO Broadcom, Tan Hock Eng, yang ganti membeli NXP. Sebagai balas dendam. Atas kegagalan Broadcom membeli Qualcomm. Senilai Rp 1.500 triliun itu. Hanya karena digagalkan Trump.
Roda terus berputar. Pun ketika kejeglong lubang-lubang besar di tengah jalan. (dis)