Kreativitas para pengungsi warga lereng Gunung Agung di posko pengungsian ternyata tak mati. Mereka mengusir suntuk dengan memproduksi keranjang anyaman.
NI KADEK NOVI FEBRIANI, Denpasar
PENGUNGSI Gunung Agung di Jalan Danau Tempe, Sanur Denpasar punya cara tersendiri mengusir suntuk.
Mereka mengisi waktu dengan memproduksi keranjang anyaman. Hasil karyanya dipamerkan dan menghasilkan.
Di tengah terik matahari di Lapangan Lumintang, pengunjung pasar murah terlihat lalu lalang mendatangi stan-stan pameran.
Kegiatan ini diselenggarakan bertujuan untuk menyambut hari raya Galungan dan Kuningan besutan Dinas Pertanian bersama PKK Kota Denpasar. Berlangsung selama empat hari dimulai Kamis (26/10).
Di antara sekian banyak stan, ada satu stan yang menarik perhatian. Yakni, stan yang menjual keranjang dan keben.
Ternyata kerajinan berbahan baku bambu, itu hasil karya pengungsi warga lereng Gunung Agung yang mengungsi di Jalan Danau Tempe Kota Denpasar.
Di stan itu tertulis spanduk, Stan Semeton Karangasem Gunung Agung. Menjual kerajinan dari Pengungsi Warga Gunung Agung, Karangasem.
Yang berjualan pun mengenakan pakaian adat ringan dan sibuk berbincang dengan pengunjung. Tentu saja stan itu menarik perhatian banyak pengunjung.
Nengah Srinteg, pedagang keranjang anyaman mengungkapkan keranjang-keranjang tersebut memang hasil kerajinan tangan para pengungsi di Posko Jalan Danau Tempe.
Dia mengatakan kerajinan ini memang sengaja dijual untuk membiayai kehidupan di pengungsian. Sebab, pihaknya tak ingin hanya mengandalkan bantuan dari donatur saja.
“Ya, kami buat ini sudah dari dulu. Saya jual untuk memenuhi kebutuhan di posko dan membiayai sekolah juga,” ujarnya.
Pria paro baya ini mengaku bekerja sama dengan 15 rekannya yang juga mengungsi di posko yang sama. Lanjutnya, dia mengerjakan keranjang beserta keben setiap hari.
Apalagi, dia tidak memiliki pekerjaan setelah meninggalkan desanya, yaitu Desa Ban, Karangasem. Menurutnya, keranjang dan keben itu berfungsi untuk sarana upakara atau tempat sesajen.
Keranjang tersebut juga bisa digunakan untuk tempat buah. Di mana barang-barang tersebut sangat dibutuhkan di Bali ditambah lagi menjelang hari raya.
Pastinya akan banyak diborong oleh krama Bali. Diakuinya untuk membuat keranjang dan keben dibutuhkan puluhan bambu.
Bayangkan saja, satu bambu bisa menghasilkan tiga keranjang atau kemben. “Wuihhh nyampek 50 bambu. Satu bambu saja bisa buat 3 keranjang,” ujar pria yang berusia 52 tahun ini.
Ditambahkan, sebelum mengikuti pameran dan berjualan di pasar murah di Lapangan Lumintang, keseharian Srinteg di kampung menjual keranjang-keranjang yang dibuat ke pasar-pasar.
Bahkan, dia menjual ke Pasar Kerobokan. “Biasanya dijual di pasar-pasar. Hasil keranjang dipakai untuk kebutuhan sehari-hari,” kata Pria asal Banjar Pengalusan ini.
Harga tentu lebih murah, dibandingkan harga pasar. Untuk keranjang sebesar Rp 15 ribu, keben kecil sebesar Rp 15 ribu, dan keben besar sebesar Rp 50 ribu.
Hanya selisih Rp 5 ribu dari harga di pasaran. Nah, untuk yang beli banyak bisa dapat diskon. Srinteg, mengaku dalam menjual di pasar murah, dia membutuhkan waktu empat hari untuk membuat keranjang dan keben.
Kepala Dinas Pertanian I Gede Ambara Putra Ketua pelaksanaan pasar murah ini rutin dilaksanakan setiap menjelang menyambut hari raya Galungan dan Kuningan.
Pelaksanaan pasar murah banyak melibatkan UMKM Kota Denpasar yang membuat produk keperluan upacara Galungan dan Kuningan.
Disamping itu antara stan tidak ada produk yang dijual jenisnya sama, hal ini untuk menghindari tumpang tindih.
“Untuk para pedagang tidak ada produk yang dijual jenisnya sama. Ini juga untuk menghindari tumpang tindih,” ujar Ambara Putra.
Terkait dengan harga Ambara Putra mengaku menjamin harganya lebih murah dari pasar mengingat produknya mendatangkan langsung dari para petani.
Disamping itu dalam pasar murah ini melibatkan Bulog untuk menyediakan produk sembako. Selain stan UMKM disediakan juga stan khusus untuk warga kawasan rawan bencana Gungung Agung yang menjual hasil-hasil karya kerajinannya.