Oleh: Dahlan Iskan
Biarlah Nihi Sumba menggantung dulu. Biarlah kebun tebu Sumba Timur tertunda dulu. Biarlah Pilkada-pilkada bicara dengan hasilnya masing-masing.
Ini.
Ada peristiwa yang juga luar biasa: Tiongkok kehilangan kekuatan ekonominya sebesar ekonomi ekonomi satu negara Kanada. Harga saham di bursa Shanghai merosot drastis. Minggu ini. Total kemerosotan itu senilai USD 5,6 triliun.
Bayangkan. Dalam enam bulan kehilangan kekuatan sebesar ekonomi satu negara besar. Atau kehilangan lima kali kekuatan ekonomi Indonesia.
Mengapa itu bisa terjadi?
Ingat www.disway.id edisi 20 Juni lalu? Ketika Xiaomi tiba-tiba batal go public di bursa Shanghai?
Itu salah satu penyebabnya: kepercayaan pada bursa Tiongkok merosot: ramai-ramai jual saham.
Bursa saham adalah alat ekonomi liberal. Yang paling liberal. Sedang pemerintah Tiongkok masih ingin mencampuri bursa sahamnya. Bahkan sangat dalam. Seperti anti liberal.
Pertanyaan pada Xiaomi saat itu sangat menakutkan: Xiaomi itu perusahaan manufacture atau perusahaan teknologi informasi.
Di negara liberal tidak akan ada pertanyaan seperti itu. Biarlah masyarakat sendiri yang menilai. Kalau ada masyarakat yang tertipu biarlah itu resiko mereka sendiri.
Sungguh. Pemerintah Tiongkok tidak salah dengan pertanyaan seperti itu. Tapi di negara liberal tidak begitu. Yang bertanya seperti itu bukan penguasa. Tapi media. Wartawan.
Wartawan yang kritis. Yang melindungi agar masyarakat jangan sampai tertipu.
Pertanyaan tersebut memang sangat kritis. Dasarnya adalah laporan keuangan perusahaan Xiaomi sendiri. Yang menyebutkan: 80 persen penghasilan perusahaan dari penjualan perangkat keras HP.
Kalau kenyataannya seperti itu memang pantas dikritisi. Itu pukulan bagi Xiaomi.
Misi pertanyaan pemerintah Tiongkok itu adalah: janganlah menggelembungkan nilai perusahaan secara berlebihan. Dengan dalih ‘ini kan perusahaan teknologi’. Yang nilainya bukan dilihat dari mahal tidaknya barang. Tapi dari kualitas teknologinya yang tidak ternilai.
‘Tidak ternilai’ itulah yang kemudian sering dipakai perusahaan untuk menentukan nilainya sendiri. Semaunya sendiri. Hanya dengan satu pertimbangan: toh nilai itu bisa diterima pasar.
Ternyata sering kali diterima oleh pasar. Bahkan pasar itu sendiri yang kemudian membentuk nilai pasar. Dari situlah berkembang istilah populer ‘menggoreng saham’ di pasar modal.
Tesla, misalnya. Yang baru bisa menjual mobil listrik sekitar 500 ribu setahun. Nilai perusahaan itu sudah mencapai USD 45 miliar. Sudah mampu mengalahkan nilai perusahaan Ford. Yang sudah bertahun-tahun mampu jualan 7 juta mobil pertahun.
Tiongkok pernah punya pengalaman pahit. Lima tahun lalu. Harga saham di bursa Shanghai membumbung. Nilai perusahaan menggelembung kian jauh dari nilai yang sebenarnya. Persepsi telah mengalahkan kenyataan.
Harga saham tidak lagi ditentukan oleh kondisi riel di perusahaan. Tapi sudah lebih dibentuk oleh persepsi.
Gelembung itu akhirnya pecah. Bursa Shanghai ambruk. Harga saham jatuh. Jutaan rakyat menderita rugi besar: rakyat pembeli saham.
Terutama yang membeli saham dari uang pinjaman. Yang mengira bunga pinjaman akan kalah dari nilai kenaikan harga saham.
Saat itu rakyat menyalahkan pemerintah: kok tidak mengawasi bursa saham. Kok tidak menindak perusahaan yang menggelembungkan harga saham.
Kini pemerintah mencoba mengawasi. Tapi juga disalahkan. Oleh para pelaku ekonomi. Yang kemudian tidak mempercayai bursa Shanghai.
Serba salah.
Memang ada juga penyebab lain: perang dagang dengan Amerika. Yang kian seru. Kian saling balas.
Saya geleng-geleng kepala. Betapa besar ekonomi Tiongkok saat ini. Kehilangan kekuatan sebesar ekonomi Kanada pun tidak terasa guncang-guncang amat. (dis)