Pentas wayang inovatif Sanggar P’luk Jiner Baluk, Minggu (27/) malam di wantilan Pura Jagatnatha sukses mengocok perut penonton.
Dalang Putu Candra Wijaya tidak hanya bikin ngakak. Tapi, juga merenung dengan fenomena sosial di masyarakat saat ini. Pegawai negeri sampai pemkab pun jadi bahan ledekan.
M. BASIR, Negara
BEGINILAH kalau dalang muda lulusan sekolahan tampil. Dalang yang juga Kelian Banjar Baluk Satu, Desa Baluk, Kecamatan Negara, ini, membawakan wayang dengan tema Abimanyu Kapandaun, yang artinya memposisikan seni dan kebudayan kepada generasi – generasi muda.
Pesan-pesan moral, tuntunan, dan tontonan disampaikan dalam satu lakon wayang. Dan, gaya ceplas-ceplos sesuai suasana pun gencar dilontarkan.
Dalang tak ketinggalan menyinggung masalah pornografi. Menurutnya, pornografi bukan sekadar wacana jadi harus ditanggulangi.
Salah satunya adalah mengenai pornografi di kesenian joget yang cenderung dikonotasikan dengan pornoaksi dan pornografi.
Seni harus punya etika, estetika dan logika, jadi seni harus punya unsur itu. Karena ketika tidak ada etika, lepas dari norma hukum.
Misalnya sampai ada joget yang sampai mempertunjukkan celana dalam. Putu Candra mengingatkan bahwa generasi muda harus diselamatkan, karena generasi muda saat ini ada kecenderungan berpikiran negatif bahwa joget porno.
Sehingga harus diberikan pemahaman bahwa berkesenian atau joget itu tidak porno. “Joget itu tidak sekadar goyang,” ujarnya.
Menurutnya, melestarikan budaya bukan sekedar mencari materi. Karena itu, wayang sebagai sebuah kesenian, sebagai instrumen untuk menyampaikan pesan-pesan moral.
Jadi, bukan sekadar hiburan lucu, tapi tuntunan, tontonan, dan hiburan. Sejumlah isu dan fenomena terkini disoroti. Dalang slengekan ini menyindir apa saja yang mengusik perhatiannya.
Di antaranya mengenai predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang diperoleh Pemerintah Kabupaten Jembrana dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Maklum, WTP memang banyak bikin waswas penguasa daerah. Dengan perolehan, itu semestinya tidak ada lagi pegawai di lingkungan pemerintahan yang melakukan pungutan liar (pungli).
Juga tidak terjangkit “penyakit-penyakit” kuno seperti kudis (kurang displin) dan kurap (kurang rapi).
Alumni ISI Denpasar Jurusan Pedalangan ini memberikan catatan pada pegawai, agar dengan kemajuan teknologi saat ini pegawai juga menguasai atau paling tidak mengetahui teknologi seperti komputer.
“Karena teknologi sudah maju tidak ada lagi pegawai yang punya penyakit TBC (tidak bisa komputer),” ujarnya, usai mendalang.
Pria 28 tahun ini juga mengatakan bahwa makepung memiliki tiga arti. Yakni, ma; artinya masyarakat kecil diperhatikan oleh pemerintah dengan program yang menyentuh pada masyarakat.
Seperti santunan kematian dan penunggu pasien. Selanjutnya, ke; artinya kepedulian pada masyarakat dan desa, dan pung artinya pungli diberantas.