29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 0:42 AM WIB

Pabrik Tas Ate Terpaksa Pindah ke Pengungsian, Pekerja Hanya 10 Orang

Para pengungsi dampak Gunung Agung tidak bisa terus menerus berpangku tangan. Mereka mulai aktif bekerja di tempat pengungsian.

Seperti yang dilakukan oleh pengusaha tas pohon ate, I Wayan Sunarta, 39. Pengungsi yang biasa menggarap pesanan untuk daerah wisata itu memindahkan pabrik rumah tangganya ke pengungsian di pinggir pantai Masceti, Desa Medahan, Kecamatan Blahbatuh.

 

IB INDRA PRASETIA, Gianyar

SUARA deburan ombak dan hembusan angin Pantai Masceti, di Desa Medahan, Kecamatan Blahbatuh menemani sepuluh orang pekerja yang sibuk membuat tas anyaman dari bahan pohon ate kemarin.

Beberapa tas baru tahap pengerjaan awal, yakni membuat tali dari kulit sapi untuk asesoris tambahan pada tas.

“Ada yang memesan bahan tas ini,” ujar I Wayan Sunarta, 39, pengungsi asal Banjar Perang Sari Desa Duda Kecamatan Selat Karangasem, pengusaha tas ate.

Sambil memantau para pekerjanya, Sunarta mengaku tetap melakukan kegiatan sehari-hari untuk mengisi waktu dan juga untuk bertahan hidup.

“Tidak bisa terus-terusan diam di pengungsian, kami harus kerja,” terang Sunarta yang mengungsi di bangunan milik Ketut Sugatra di pinggir pantai Masceti.

Sunarta mengaku, saat ada berita gunung Agung akan meletus, dia bersama keluarganya menyelamatkan diri mendatangi kerabatnya yang mengabdi sebagai tentara di Yonzipur Gianyar di Masceti.

Dari kerabatnya itulah, Sunarta ditunjukkan lokasi pengungsian milik Ketut Sugatra. Kebetulan Sugatra memiliki bangunan mirip stage di pinggir pantai.

karena bangunan itu kosong, Sunarta dan keluarganya diberikan tempat menginap di sana. Total ada 46 pengungsi di bangunan itu.

Hari pun berlalu, dan Gunung Agung belum menunjukkan tanda akan meletus. “Jadi saya langsung kembali ke Selat, saya ambil peralatan produksi, satu mesin jahit, kulit sapi untuk tali tas, akar ate dan alat lain untuk bawa ke sini. Di sini saya kerjakan,” ujar Sunarta mengenang saat kondisi gawat itu.

Namun sayang, walau peralatan menganyam tas ate sudah ikut dibawa ke pengungsian, namun tidak semua pekerjanya bisa ikut mengerjakan tas itu.

Dari 150 pekerja, hanya 10 saja yang bisa dikut dengannya. “Sisanya menyebar mengungsi sama keluarga masing-masing. Menyebar hampir ke semua wilayah di Bali,” jelasnya.

Pekerjanya ikut mengungsi bersama keluarga mereka ke daerah kota Karangasem, Klungkung, Bangli, Gianyar dan Denpasar.

Setelah 10 pekerjanya yang bisa diajak itu terkumpul, Sunarta kemudian membeli bahan tambahan. “Supaya tidak hilang mata pencaharian orang. Saya berusaha juga untuk terus bekerja,” jelasnya.

Di pengungsian, kini mereka kembali merajut asa untuk menyambung hidup dalam keterbatasan. Selain tidak bisa bekerja maksimal, Sunarta, juga tidak bisa bekerja menggarap tas secara utuh.

“Kalau di rumah, satu hari kami bisa garap 300 tali dengan menggunakan 3 mesin jahit. Tapi di sini, baru 1 mesin yang saya bawa. Belum bisa maksimal,” terangnya.

Setelah membuat tali, akan dilanjutkan dengan menganyam tas dari bahan akar pohon ate. Anyaman ate ini kemudian dipadukan dengan tali dari kulit sapi yang telah dikeringkan.

Untuk pendistribusian produk, dibawa ke kawasan wisata di Tenganan, Buitan, Gumuh dan Ubud. Untuk harganya, satu tas termurah seharga Rp 80 ribu dan palung mahal Rp 450 ribu.

“Yang saya distribusikan masih mentah. Belum dioven. Ini saja sudah kewalahan, karena permintaan cukup tinggi sampai ribuan pices,” terangnya.

Di lokasi pengungsian milik I Ketut Sunatra di pinggir pantai Masceti, terdapat 46 orang pengungsi. Selain ada Sunarta, juga ada keluarga lainnya yang memilih bekerja sesuai keahlian mereka masing-masing.

Ibu-ibu pengungsi juga diberikan warung dan modal usaha oleh warga setempat. Salah satu warga pengungsi yang ikut mengurusi warung, Ni Wayan Suani, 33, mengaku selama enam hari di pengungsian, dia setiap pagi wajib pergi ke pasar untuk belanja kebutuhan sehari-hari sekaligus untuk barang dagangan di warung.

“Kami bagi tugas, saya ke pasar untuk makan kami dan untuk dipakai jualan,” jelasnya. Selama berjualan, diakui warung pengungsi itu setiap harinya memperoleh untung mencapai Rp 700 ribu hingga Rp 1 juta rupiah.

Ketika ada waktu luang, Suani juga menyempatkan diri menggarap anyaman tas ate membantu Sunarta. “Kebetulan satu tempat ngungsi sama pak Sunarta. Dikasih juga membuat anyaman,” tukasnya. 

Para pengungsi dampak Gunung Agung tidak bisa terus menerus berpangku tangan. Mereka mulai aktif bekerja di tempat pengungsian.

Seperti yang dilakukan oleh pengusaha tas pohon ate, I Wayan Sunarta, 39. Pengungsi yang biasa menggarap pesanan untuk daerah wisata itu memindahkan pabrik rumah tangganya ke pengungsian di pinggir pantai Masceti, Desa Medahan, Kecamatan Blahbatuh.

 

IB INDRA PRASETIA, Gianyar

SUARA deburan ombak dan hembusan angin Pantai Masceti, di Desa Medahan, Kecamatan Blahbatuh menemani sepuluh orang pekerja yang sibuk membuat tas anyaman dari bahan pohon ate kemarin.

Beberapa tas baru tahap pengerjaan awal, yakni membuat tali dari kulit sapi untuk asesoris tambahan pada tas.

“Ada yang memesan bahan tas ini,” ujar I Wayan Sunarta, 39, pengungsi asal Banjar Perang Sari Desa Duda Kecamatan Selat Karangasem, pengusaha tas ate.

Sambil memantau para pekerjanya, Sunarta mengaku tetap melakukan kegiatan sehari-hari untuk mengisi waktu dan juga untuk bertahan hidup.

“Tidak bisa terus-terusan diam di pengungsian, kami harus kerja,” terang Sunarta yang mengungsi di bangunan milik Ketut Sugatra di pinggir pantai Masceti.

Sunarta mengaku, saat ada berita gunung Agung akan meletus, dia bersama keluarganya menyelamatkan diri mendatangi kerabatnya yang mengabdi sebagai tentara di Yonzipur Gianyar di Masceti.

Dari kerabatnya itulah, Sunarta ditunjukkan lokasi pengungsian milik Ketut Sugatra. Kebetulan Sugatra memiliki bangunan mirip stage di pinggir pantai.

karena bangunan itu kosong, Sunarta dan keluarganya diberikan tempat menginap di sana. Total ada 46 pengungsi di bangunan itu.

Hari pun berlalu, dan Gunung Agung belum menunjukkan tanda akan meletus. “Jadi saya langsung kembali ke Selat, saya ambil peralatan produksi, satu mesin jahit, kulit sapi untuk tali tas, akar ate dan alat lain untuk bawa ke sini. Di sini saya kerjakan,” ujar Sunarta mengenang saat kondisi gawat itu.

Namun sayang, walau peralatan menganyam tas ate sudah ikut dibawa ke pengungsian, namun tidak semua pekerjanya bisa ikut mengerjakan tas itu.

Dari 150 pekerja, hanya 10 saja yang bisa dikut dengannya. “Sisanya menyebar mengungsi sama keluarga masing-masing. Menyebar hampir ke semua wilayah di Bali,” jelasnya.

Pekerjanya ikut mengungsi bersama keluarga mereka ke daerah kota Karangasem, Klungkung, Bangli, Gianyar dan Denpasar.

Setelah 10 pekerjanya yang bisa diajak itu terkumpul, Sunarta kemudian membeli bahan tambahan. “Supaya tidak hilang mata pencaharian orang. Saya berusaha juga untuk terus bekerja,” jelasnya.

Di pengungsian, kini mereka kembali merajut asa untuk menyambung hidup dalam keterbatasan. Selain tidak bisa bekerja maksimal, Sunarta, juga tidak bisa bekerja menggarap tas secara utuh.

“Kalau di rumah, satu hari kami bisa garap 300 tali dengan menggunakan 3 mesin jahit. Tapi di sini, baru 1 mesin yang saya bawa. Belum bisa maksimal,” terangnya.

Setelah membuat tali, akan dilanjutkan dengan menganyam tas dari bahan akar pohon ate. Anyaman ate ini kemudian dipadukan dengan tali dari kulit sapi yang telah dikeringkan.

Untuk pendistribusian produk, dibawa ke kawasan wisata di Tenganan, Buitan, Gumuh dan Ubud. Untuk harganya, satu tas termurah seharga Rp 80 ribu dan palung mahal Rp 450 ribu.

“Yang saya distribusikan masih mentah. Belum dioven. Ini saja sudah kewalahan, karena permintaan cukup tinggi sampai ribuan pices,” terangnya.

Di lokasi pengungsian milik I Ketut Sunatra di pinggir pantai Masceti, terdapat 46 orang pengungsi. Selain ada Sunarta, juga ada keluarga lainnya yang memilih bekerja sesuai keahlian mereka masing-masing.

Ibu-ibu pengungsi juga diberikan warung dan modal usaha oleh warga setempat. Salah satu warga pengungsi yang ikut mengurusi warung, Ni Wayan Suani, 33, mengaku selama enam hari di pengungsian, dia setiap pagi wajib pergi ke pasar untuk belanja kebutuhan sehari-hari sekaligus untuk barang dagangan di warung.

“Kami bagi tugas, saya ke pasar untuk makan kami dan untuk dipakai jualan,” jelasnya. Selama berjualan, diakui warung pengungsi itu setiap harinya memperoleh untung mencapai Rp 700 ribu hingga Rp 1 juta rupiah.

Ketika ada waktu luang, Suani juga menyempatkan diri menggarap anyaman tas ate membantu Sunarta. “Kebetulan satu tempat ngungsi sama pak Sunarta. Dikasih juga membuat anyaman,” tukasnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/