EFEK dari kondisi pandemi yang terjadi selama hampir satu tahun sangat dirasakan diseluruh dunia, termasuk Indonesia dan tentunya Bali sebagai provinsi yang menggantungkan perekonomiannya pada sektor periwisata.
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali mencatat perekonomian Bali selama tahun 2020 terkontraksi sedalam -9,31 persen.
Kondisi ini bahkan sudah terasa semenjak triwulan I-2020 dimana ekonomi Bali tumbuh negatif sedalam -1,20 persen (secara y-on-y).
Terbatasnya kegiatan pariwisata di Bali tentunya mempengaruhi pergerakan ekonomi di beberapa kategori lapangan usaha yang berkaitan erat dengan pariwisata.
Seperti Kategori H (Transportasi dan Pergudangan) dengan aktivitas yang dominan menunjang mobilitas wisatawan, mengalami kontraksi sedalam -31,79 persen.
Disusul oleh Kategori I (Penyedia Akomodasi dan Makan Minum) yang mencakup aktivitas hotel dan restoran yang juga mengalami kontraksi sedalam -27,52 persen.
Penurunan aktivitas pariwisata di Bali juga pernah terjadi akibat dari adanya peristiwa Bom Bali pada tahun 2002 dan erupsi Gunung Agung yang terjadi pada tahun 2017.
Namun, kondisi perekonomian Bali masih jauh lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi Bali akibat pandemi COVID-19.
Saat terjadinya erupsi Gunung Agung, Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel berbintang di Bali pada bulan Desember 2017 masih tercatat diatas 50 persen dengan TPK hotel berbintang terendah ada di Kabupaten Karangasem sebesar 19,89 persen.
Sementara pada bulan Desember 2020 TPK hotel berbintang di Bali hanya mencapai 19,00 persen dengan jumlah
kunjungan wisman ke Bali selama tahun 2020 sebanyak 1.050.505 kunjungan, jumlah kunjungan terendah selama sepuluh tahun terakhir.
Kondisi ini tentunya cukup memprihatinkan terutama terhadap keberlangsungan perekonomian Bali kedepannya.
Sudah saatnya Bali mengembangkan sektor lain yang dapat membantu Bali bangkit dari keterpurukan ekonomi yang sudah berlangsung selama hampir satu tahun ini.
Bali yang selama ini telah menikmati perekonomian dari sektor pariwisata saat ini harus kembali bangkit melirik potensi ekonomi lainnya
yang belum maksimal dikembangkan karena terlena oleh peluang ekonomi sektor pariwisata yang lebih menggiurkan selama ini.
Salah satu harapan sektor yang dapat dikembangkan di Bali adalah sektor pertanian yang semenjak perkembangan pariwisata Bali sektor ini kurang dilirik oleh penduduk Bali.
Pertanian Bali memiliki potensi yang dapat dikembangkan sehingga menjadi sarana mewujudkan ketahanan pangan masyarakat Bali di tengah pandemi COVID-19.
Produk hasil pertanian Bali diharapkan dapat dikembangkan sebagai komoditas ekspor yang membuka banyak peluang usaha bagi masyarakat Bali.
Kualitas hasil pertanian Bali tidak kalah dengan produk pertanian dari daerah lain, seperti Jembrana penghasil kakao, Gianyar penghasil cabai, Bangli penghasil kopi,
Karangasem penghasil salak gula pasir, Tabanan dengan hasil padinya, Buleleng penghasil anggur serta Badung penghasil asparagus.
Selain itu Bali memiliki komoditas buah unggulan yang sudah memiliki pangsa pasar di kelas ekspor seperti manggis, sawo, alpukat dan mangga.
Tidak menutup kemungkinan olahan dari produk pertanian Bali seperti wine dari salak Bali yang bahan bakunya merupakan produk khas pertanian Bali, dapat menjadi komoditas unggulan ekspor Bali.
Semenjak pandemi berlangsung, telah terjadi transformasi pasar dari yang sebelumnya bersifat konvensional dengan ciri khas adanya kontak fisik antara pedagang dan pembeli,
kini dikemas secara digital dengan memanfaatkan internet sebagai media online saat melakukan transaksi jual beli termasuk pemenuhan kebutuhan bahan makanan pokok sehari-hari.
Penerapan transaksi perdagangan dengan media online menandakan ekonomi digital sudah berkembang semakin pesat.
Saat ini ada beberapa marketplace pertanian yang dapat diakses untuk mendapatkan hasil pertanian langsung dari petani secara online seperti Agomaret, TaniHub, Petani Harga, Sayubox dan Limakilo.
Bentuk pengembangan lainnya dari digitalisasi pertanian di Bali adalah pengembangan aplikasi untuk bertani menggunakan aplikasi Farmer App dan marketplace
untuk menjual hasil pertanian menggunakan aplikasi BOS Fresh Retail yang dikelola oleh komunitas petani muda asal Bali yaitu Petani Muda Keren (PMK).
Kementrian Pertanian Indonesia saat ini sedang fokus membangun ekosistem pertanian lewat digitalisasi, salah satu programnya
adalah Komando Strategis Pembangunan Pertanian (Kostra Tani) yang merupakan transformasi Balai Penyuluhan Pertanian yang terkoneksi secara online ke Agriculture War Room (AWR).
AWR dirancang secara multiguna untuk memantau kondisi pertanian di tingkat Kecamatan dan Desa, selain itu
AWR dapat berfungsi sebagai ruang gagasan dan ide yang dilengkapi dengan peralatan komunikasi yang canggih sehingga menjangkau sampai pelosok tanah air.
Kostra Tani memiliki lima tugas, fungsi dan peran yaitu sebagai pusat data dan informasi, gerakan pembangunan pertanian, pembelajaran, konsultasi agribisnis, dan pengembangan jejaring dan kemitraan.
Dengan adanya perkembangan digitalisasi pertanian saat ini, baik dari kementrian pusat maupun inovasi yang sudah di lakukan masyarakat di Bali,
diharapkan Bali kedepannya dapat mengandalkan sektor pertanian sebagai penggerak ekonomi Bali yang selama ini bergantung pada sektor pariwisata.
Perkembangan digitalisasi pertanian di Bali diharapkan dapat melawan alih fungsi lahan pertanian yang selama ini marak terjadi.
Dengan adanya kondisi pandemi ini, diharapkan masyarakat Bali dapat lebih adaptif memanfaatkan teknologi yang terus berkembang dengan melihat potensi besar pertanian Bali yang sangat mungkin dikembangkan oleh masyakarat Bali.
Semoga Bali dapat kembali bangkit dengan potensi besar yang dimiliki Bali. (*)
Ida Ayu Candrawati, SST
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali