24 C
Jakarta
13 September 2024, 7:20 AM WIB

Ketika Minat Tinggi Menjadi Anggota Dewan (1-Bersambung)

Pendapatan Rp 50 Juta sampai Rp 100 Juta Per Bulan, Pun Kejar Status Sosial hingga Kebanggaan!

Menjadi anggota dewan menjadi salah satu jabatan politis yang diminati banyak masyarakat. Ada beragam alasan yang mendasari orang berlomba-lomba menjadi wakil rakyat selain soal motif ekonomi.

Ni Kadek Novi Febriani/Candra Gupta

JIKA dipukul rata, pendapatan anggota dewan ditingkat provinsi/kota/kabupaten berkisar Rp 50 juta sampai Rp 100 juga per bulan. Itu belum dihitung keseluruhan tunjangan yang melekat pada wakil rakyat tersebut selain karena faktor kemampuan keuangan daerah di mana dewan itu terpilih.

Tengok saja pada pemilihan legislatif 2019 silam. Jika merujuk data Daftar Calon Sementara (DCS) untuk anggota DPRD Provinsi Bali dalam Pemilu Legislatif 2019. Setidaknya ada 589 calon di tahap pertama kemudian 51 orang dinyatakan gugur dan tersisa 538 caleg dari 16 partai politik.

Rinciannya masing-masing 55 caleg dari PDIP, Hanura, dan Golkar, selanjutnya 20 calon dari PKB, Gerindra (54), Nasdem (43), Garuda (20), Berkarya (31), PKS (9), Perindo (54), PPP (21), PSI (42), PAN (13), Demokrat (53), PKPI (8), serta PBB sebanyak 5 orang calon yang memperebutkan 55 kursi di DPRD Bali.

Sedangkan jika melihat pertarungan pada Pileg 2019 di Kota Denpasar. Berdasar daftar calon tetap (DCT), ada 414 calon yang bertarung memperebutkan 45 kursi di DPRD Denpasar. Lain lagi dengan di Tabanan yang terdapat 293 orang calon dewan dengan jumlah 40 kursi yang tersedia.

Sedangkan di Badung saat itu ada 292 caleg yang masuk DCT dengan 40 kursi DPRD. Gambaran peminat yang begitu tinggi juga terjadi di kabupaten lain di Bali. Baik itu di Buleleng, Gianyar, Bangli, Karangasem, Klungkung, maupun Jembrana.

Pastinya, ribuan orang akan bertarung memperebutkan kursi dewan yang jumlahnya terbilang sedikit. Belum lagi untuk caleg yang maju ditingkat pusat mencapai 7.968 orang. Ribuan orang itu rela merogoh kocek lumayan, bahkan ada sampai mengeluarkan duit miliaran untuk menjadi anggota dewan sesuai impian mereka. Motif ekonomi, kebanggaan, dan popularitas umumnya yang menjadi alasan mereka.

Pengamat politik Dr. Nyoman Subanda mengatakan, bahwa saat pemilu banyak orang mencalonkan diri menjadi calon legislatif karena beberapa hal. Pertama, karena ingin menaikkan atau memiliki status sosial. Menurut Dosen di Universitas Pendidikan Nasional bahwa anggota legislatif adalah simbolik status, bisa menjadi personal atau status sosial yang dihormati orang banyak.

Kedua, anggota dewan lebih mendapat akses yang cepat dibandingkan rakyat. Baik itu akses vertikal dan horizontal. “Bisa punya akses ke eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dengan akses yang bagus mereka mendapatkan berbagai manfaat, bisa memfasilitasi dapat bansos, mudah urus izin usaha, hukum dan lain-lain,” papar dia.

Selain itu menjadi anggota dewan adalah bagian dari aset. Jadi mereka bisa menambah aset karena gaji dan berbagai tunjangan DPR sangat tinggi dan bervariasi, mereka juga bisa mendapatkan berbagai sumber pendapatan dengan status sebagai  anggota dewan. Tidak menutup mata, mungkin saja sumber pendapatan lain itu ada yang tidak sah. Hal ini dikarenakan dewan bisa menjadi alat memuluskan kebijakan. Artinya, kebijakan yang dikeluarkan dewan bisa saja sesuai “pesanan”. Dan, setelah kebijakan tersebut selesai, dewan tentu dapat kompensasi.

“Ya memang tidak  sah, tapi karena  status sebagai  anggota DPR itu terhormat dan kadang dipentingkan untuk meloloskan anggaran atau memperjuangkan sesuatu. Banyak anggota DPR mendapatkan kompensasi material dari sana. Bisa dari pengusaha atau pihak-pihak lain,” ungkapnya tanpa tendeng aling-aling.

Terus bagaimana dengan kinerja dewan? Subanda menyebutkan kinerja dewan bisa dilihat dari dua hal. Yaitu berapa mengeluarkan Undang-undang atau peraturan yang dihasilkan. Terutama yang dari inisiatif dewan. Selanjutnya bagaimana citra di mata publik. “Kalau melihat dari kedua indikator tersebut kayaknya kinerja DPR masih relatif kurang bagus,” tegas dia.

Serupa juga diungkapkan aktivis I Nyoman Mardika. Ia mengatakan banyaknya fasilitas yang  diberikan kepada anggota DPRD baik provinsi maupun Kab/Kota di Bali, belum berbanding lurus dengan kinerja para anggota dewan. Salah satu kerja dewan adalah produk legislasi yang dihasilkan. Tetapi, buktinya hasil legislasi dewan sangat minim selama periode jabatan.

Terlebih juga dalam menyuarakan aspirasi dan menerima aspirasi masyarakat juga belum optimal. Mardika menekankan tugas dewan bukan hanya bagi-bagi bantuan sosial atau mencarikan anak sekolah. “Tugas Dewan bukan bagi-bagi bansos, atau mencarikan sekolah siswa yang bukan tupoksi dewan. Tupoksi dewan yang seharus optimal di legislasi, budgeting, dan pengawasan,” sentil dia.

Pria yang juga menjabat sebagai kepala dusun di Denpasar ini mengamati tingkah laku dewan atau yang bakal menyalonkan diri yang datang ke lingkungannya. Mereka lebih aktif menjelang pemilu. Terkadang antara rakyat dan wakil rakyat tidak berkolerasi secara langsung secara kepentingan.

Wakil rakyat hanya peduli suara rakyat menjelang pemilu. Dewan lebih banyak hanya merawat konstituen.  Kemudian, studi banding dan menawarkan bantuan sosial. Menurutnya, selayaknya pendapatan dan fasilitas anggota dewan selaras dengan kinerjanya. “Istilah vox populi fox dei atau suara rakyat, suara Tuhan hanya jargon semata,” tukas dia. (*)

Menjadi anggota dewan menjadi salah satu jabatan politis yang diminati banyak masyarakat. Ada beragam alasan yang mendasari orang berlomba-lomba menjadi wakil rakyat selain soal motif ekonomi.

Ni Kadek Novi Febriani/Candra Gupta

JIKA dipukul rata, pendapatan anggota dewan ditingkat provinsi/kota/kabupaten berkisar Rp 50 juta sampai Rp 100 juga per bulan. Itu belum dihitung keseluruhan tunjangan yang melekat pada wakil rakyat tersebut selain karena faktor kemampuan keuangan daerah di mana dewan itu terpilih.

Tengok saja pada pemilihan legislatif 2019 silam. Jika merujuk data Daftar Calon Sementara (DCS) untuk anggota DPRD Provinsi Bali dalam Pemilu Legislatif 2019. Setidaknya ada 589 calon di tahap pertama kemudian 51 orang dinyatakan gugur dan tersisa 538 caleg dari 16 partai politik.

Rinciannya masing-masing 55 caleg dari PDIP, Hanura, dan Golkar, selanjutnya 20 calon dari PKB, Gerindra (54), Nasdem (43), Garuda (20), Berkarya (31), PKS (9), Perindo (54), PPP (21), PSI (42), PAN (13), Demokrat (53), PKPI (8), serta PBB sebanyak 5 orang calon yang memperebutkan 55 kursi di DPRD Bali.

Sedangkan jika melihat pertarungan pada Pileg 2019 di Kota Denpasar. Berdasar daftar calon tetap (DCT), ada 414 calon yang bertarung memperebutkan 45 kursi di DPRD Denpasar. Lain lagi dengan di Tabanan yang terdapat 293 orang calon dewan dengan jumlah 40 kursi yang tersedia.

Sedangkan di Badung saat itu ada 292 caleg yang masuk DCT dengan 40 kursi DPRD. Gambaran peminat yang begitu tinggi juga terjadi di kabupaten lain di Bali. Baik itu di Buleleng, Gianyar, Bangli, Karangasem, Klungkung, maupun Jembrana.

Pastinya, ribuan orang akan bertarung memperebutkan kursi dewan yang jumlahnya terbilang sedikit. Belum lagi untuk caleg yang maju ditingkat pusat mencapai 7.968 orang. Ribuan orang itu rela merogoh kocek lumayan, bahkan ada sampai mengeluarkan duit miliaran untuk menjadi anggota dewan sesuai impian mereka. Motif ekonomi, kebanggaan, dan popularitas umumnya yang menjadi alasan mereka.

Pengamat politik Dr. Nyoman Subanda mengatakan, bahwa saat pemilu banyak orang mencalonkan diri menjadi calon legislatif karena beberapa hal. Pertama, karena ingin menaikkan atau memiliki status sosial. Menurut Dosen di Universitas Pendidikan Nasional bahwa anggota legislatif adalah simbolik status, bisa menjadi personal atau status sosial yang dihormati orang banyak.

Kedua, anggota dewan lebih mendapat akses yang cepat dibandingkan rakyat. Baik itu akses vertikal dan horizontal. “Bisa punya akses ke eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dengan akses yang bagus mereka mendapatkan berbagai manfaat, bisa memfasilitasi dapat bansos, mudah urus izin usaha, hukum dan lain-lain,” papar dia.

Selain itu menjadi anggota dewan adalah bagian dari aset. Jadi mereka bisa menambah aset karena gaji dan berbagai tunjangan DPR sangat tinggi dan bervariasi, mereka juga bisa mendapatkan berbagai sumber pendapatan dengan status sebagai  anggota dewan. Tidak menutup mata, mungkin saja sumber pendapatan lain itu ada yang tidak sah. Hal ini dikarenakan dewan bisa menjadi alat memuluskan kebijakan. Artinya, kebijakan yang dikeluarkan dewan bisa saja sesuai “pesanan”. Dan, setelah kebijakan tersebut selesai, dewan tentu dapat kompensasi.

“Ya memang tidak  sah, tapi karena  status sebagai  anggota DPR itu terhormat dan kadang dipentingkan untuk meloloskan anggaran atau memperjuangkan sesuatu. Banyak anggota DPR mendapatkan kompensasi material dari sana. Bisa dari pengusaha atau pihak-pihak lain,” ungkapnya tanpa tendeng aling-aling.

Terus bagaimana dengan kinerja dewan? Subanda menyebutkan kinerja dewan bisa dilihat dari dua hal. Yaitu berapa mengeluarkan Undang-undang atau peraturan yang dihasilkan. Terutama yang dari inisiatif dewan. Selanjutnya bagaimana citra di mata publik. “Kalau melihat dari kedua indikator tersebut kayaknya kinerja DPR masih relatif kurang bagus,” tegas dia.

Serupa juga diungkapkan aktivis I Nyoman Mardika. Ia mengatakan banyaknya fasilitas yang  diberikan kepada anggota DPRD baik provinsi maupun Kab/Kota di Bali, belum berbanding lurus dengan kinerja para anggota dewan. Salah satu kerja dewan adalah produk legislasi yang dihasilkan. Tetapi, buktinya hasil legislasi dewan sangat minim selama periode jabatan.

Terlebih juga dalam menyuarakan aspirasi dan menerima aspirasi masyarakat juga belum optimal. Mardika menekankan tugas dewan bukan hanya bagi-bagi bantuan sosial atau mencarikan anak sekolah. “Tugas Dewan bukan bagi-bagi bansos, atau mencarikan sekolah siswa yang bukan tupoksi dewan. Tupoksi dewan yang seharus optimal di legislasi, budgeting, dan pengawasan,” sentil dia.

Pria yang juga menjabat sebagai kepala dusun di Denpasar ini mengamati tingkah laku dewan atau yang bakal menyalonkan diri yang datang ke lingkungannya. Mereka lebih aktif menjelang pemilu. Terkadang antara rakyat dan wakil rakyat tidak berkolerasi secara langsung secara kepentingan.

Wakil rakyat hanya peduli suara rakyat menjelang pemilu. Dewan lebih banyak hanya merawat konstituen.  Kemudian, studi banding dan menawarkan bantuan sosial. Menurutnya, selayaknya pendapatan dan fasilitas anggota dewan selaras dengan kinerjanya. “Istilah vox populi fox dei atau suara rakyat, suara Tuhan hanya jargon semata,” tukas dia. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/