31.1 C
Jakarta
30 April 2024, 10:15 AM WIB

Minat Wisatawan Asing ke Lukisan Wayang Kamasan Mulai Menurun

SEMARAPURA – Lukisan wayang Kamasan merupakan lukisan khas Desa Kamasan, Klungkung yang sangat terkenal sejak dahulu.

Saking terkenalnya, lukisan ini dipasarkan dengan harga yang cukup tinggi terutama kepada wisatawan mancanegara.

Sayang, peminat lukisan wayang Kamasan kian hari kian sedikit. Kondisi ini berdampak terhadap para seniman wayang Kamasan.

Jika tahun 90-an para seniman lukisan wayang Kamasan bisa meraup pendapatan cukup besar dari menjual lukisannya, hingga bisa menabung.

Kini untuk biaya hidup sehari-hari pun tidak mampu terpenuhi jika hanya mengandalkan penjualan lukisan. Kondisi ini pula yang menyebabkan regenerasi seniman lukis wayang Kamasan terancam.

Salah seorang seniman wayang Kamasan asal Desa Kamasan, Nyoman Sukini, 62, saat ditemui di Balai Kambang, Objek Wisata Kertha Gosa,

kemarin menuturkan, sejak dua tahun terakhir ini minat wisatawan terhadap lukisan wayang Kamasan mengalami penurunan.

Hanya wisatawan asal Prancis yang menurutnya masih memiliki ketertarikan terhadap lukisan yang ada sejak zaman kerajaan ini.

“Sekarang wisatawan mancanegara yang berkunjung sebagian besar pelajar. Mereka tidak terlalu tertarik dengan lukisan wayang Kamasan.

Kalau tertarik biasanya pasti menyempatkan diri untuk melihat proses pembuatannya. Ini asal lewat saja,” ungkapnya.

Saking rendahnya minta wisatawan akan lukisan wayang Kamasan, ia mengaku lukisannya kerap tidak laku meski

puluhan wisatawan hilir mudik di sekelilingnya melihat lukisan wayang kamasan yang terpajang di langit-langit Bale Kambang, Kertha Gosa.

“Apa zamannya sekarang sudah berubah, ya? Dulu banyak wisatawan yang suka lukisan wayang Kamasan. Walau harganya mahal tetap diborong.

Sekarang harganya Rp 200 ribu hingga jutaan rupiah tergantung kualitas dan ukuran, jarang wisatawan mau beli,” keluhnya.

Bahkan menurutnya sejak Bom Bali I terjadi, seniman lukisan Kamasan yang membuka galeri di rumah masing-masing di Desa Kamasan telah lebih dulu merasakan dampak sepinya kunjungan wisatawan.

Hanya ada segelintir wisatawan yang datang dan membeli koleksi lukisan mereka. “Biasanya lukisan yang dibuat warga Kamasan kalau belum ada yang membeli langsung, biasanya di simpan.

Jarang yang jual ke luar Kamasan (galeri di luar Kamasan),” terang wanita yang sudah belajar melukis wayang Kamasan sejak kelas 6 SD itu.

Dengan kondisi seperti itu, ia tidak bisa lagi mengandalkan penjualan lukisan wayang Kamasannya untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.

Beda dengan dahulu, pendapatannya dari menjual lukisan wayang Kamasan karyanya lebih dari cukup hingga bisa menabung.

“Bahkan, pendapatan saya lebih besar dari suami saya yang pegawai negeri. Sekarang saya mengandalkan gaji pensiunan suami saya.

Inilah yang menyebabkan anak muda Kamasan kurang tertarik dengan profesi ini dan memilih mencari pekerjaan yang hasilnya lebih pasti,” katanya.

Hal senada juga diungkapkan seniman lukisan wayang Kamasan, Mangku Muryati, 51. Menurutnya rasa ingin tahu

wisatawan terhadap seni lukis wayang Kamasan masih cukup tinggi hingga saat ini, terutamanya bagi wisatawan Prancis dan Australia.

Hanya saja minat untuk membeli mengalami penurunan. “Ini terjadi sejak tahun 2000 atau setelah bom Bali.

Mereka hanya bertanya-tanya bahkan hingga mendatangi rumah saya. Namun tidak sampai membeli,” ungkapnya.

Bahkan, saat dirinya memamerkan proses pembuatan lukisan wayang Kamasan dan sejumlah karya lukisan wayang Kamasan di Kertha Gosa sesuai program Bupati Klungkung, para wisman hanya melihat dan bertanya saja.

Sekalinya ada yang tertarik membeli, karyanya ditawar dengan harga yang cukup murah. “Saya bawa lukisan wayang Kamasan kecil dengan harga Rp 500 ribu – Rp 1 juta.

 Yang tahu seni, paling menawar hanya Rp 100 ribu dari harga awal. Tapi yang tidak tahu seni bisa minta harga Rp 200 ribu per lukisan,” katanya.

“Tapi, saya tetap pertahankan harganya. Jangan sampai nilai lukisan Kamasan menjadi jatuh,” ujar wanita kelahiran tahun 1966 ini. 

SEMARAPURA – Lukisan wayang Kamasan merupakan lukisan khas Desa Kamasan, Klungkung yang sangat terkenal sejak dahulu.

Saking terkenalnya, lukisan ini dipasarkan dengan harga yang cukup tinggi terutama kepada wisatawan mancanegara.

Sayang, peminat lukisan wayang Kamasan kian hari kian sedikit. Kondisi ini berdampak terhadap para seniman wayang Kamasan.

Jika tahun 90-an para seniman lukisan wayang Kamasan bisa meraup pendapatan cukup besar dari menjual lukisannya, hingga bisa menabung.

Kini untuk biaya hidup sehari-hari pun tidak mampu terpenuhi jika hanya mengandalkan penjualan lukisan. Kondisi ini pula yang menyebabkan regenerasi seniman lukis wayang Kamasan terancam.

Salah seorang seniman wayang Kamasan asal Desa Kamasan, Nyoman Sukini, 62, saat ditemui di Balai Kambang, Objek Wisata Kertha Gosa,

kemarin menuturkan, sejak dua tahun terakhir ini minat wisatawan terhadap lukisan wayang Kamasan mengalami penurunan.

Hanya wisatawan asal Prancis yang menurutnya masih memiliki ketertarikan terhadap lukisan yang ada sejak zaman kerajaan ini.

“Sekarang wisatawan mancanegara yang berkunjung sebagian besar pelajar. Mereka tidak terlalu tertarik dengan lukisan wayang Kamasan.

Kalau tertarik biasanya pasti menyempatkan diri untuk melihat proses pembuatannya. Ini asal lewat saja,” ungkapnya.

Saking rendahnya minta wisatawan akan lukisan wayang Kamasan, ia mengaku lukisannya kerap tidak laku meski

puluhan wisatawan hilir mudik di sekelilingnya melihat lukisan wayang kamasan yang terpajang di langit-langit Bale Kambang, Kertha Gosa.

“Apa zamannya sekarang sudah berubah, ya? Dulu banyak wisatawan yang suka lukisan wayang Kamasan. Walau harganya mahal tetap diborong.

Sekarang harganya Rp 200 ribu hingga jutaan rupiah tergantung kualitas dan ukuran, jarang wisatawan mau beli,” keluhnya.

Bahkan menurutnya sejak Bom Bali I terjadi, seniman lukisan Kamasan yang membuka galeri di rumah masing-masing di Desa Kamasan telah lebih dulu merasakan dampak sepinya kunjungan wisatawan.

Hanya ada segelintir wisatawan yang datang dan membeli koleksi lukisan mereka. “Biasanya lukisan yang dibuat warga Kamasan kalau belum ada yang membeli langsung, biasanya di simpan.

Jarang yang jual ke luar Kamasan (galeri di luar Kamasan),” terang wanita yang sudah belajar melukis wayang Kamasan sejak kelas 6 SD itu.

Dengan kondisi seperti itu, ia tidak bisa lagi mengandalkan penjualan lukisan wayang Kamasannya untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.

Beda dengan dahulu, pendapatannya dari menjual lukisan wayang Kamasan karyanya lebih dari cukup hingga bisa menabung.

“Bahkan, pendapatan saya lebih besar dari suami saya yang pegawai negeri. Sekarang saya mengandalkan gaji pensiunan suami saya.

Inilah yang menyebabkan anak muda Kamasan kurang tertarik dengan profesi ini dan memilih mencari pekerjaan yang hasilnya lebih pasti,” katanya.

Hal senada juga diungkapkan seniman lukisan wayang Kamasan, Mangku Muryati, 51. Menurutnya rasa ingin tahu

wisatawan terhadap seni lukis wayang Kamasan masih cukup tinggi hingga saat ini, terutamanya bagi wisatawan Prancis dan Australia.

Hanya saja minat untuk membeli mengalami penurunan. “Ini terjadi sejak tahun 2000 atau setelah bom Bali.

Mereka hanya bertanya-tanya bahkan hingga mendatangi rumah saya. Namun tidak sampai membeli,” ungkapnya.

Bahkan, saat dirinya memamerkan proses pembuatan lukisan wayang Kamasan dan sejumlah karya lukisan wayang Kamasan di Kertha Gosa sesuai program Bupati Klungkung, para wisman hanya melihat dan bertanya saja.

Sekalinya ada yang tertarik membeli, karyanya ditawar dengan harga yang cukup murah. “Saya bawa lukisan wayang Kamasan kecil dengan harga Rp 500 ribu – Rp 1 juta.

 Yang tahu seni, paling menawar hanya Rp 100 ribu dari harga awal. Tapi yang tidak tahu seni bisa minta harga Rp 200 ribu per lukisan,” katanya.

“Tapi, saya tetap pertahankan harganya. Jangan sampai nilai lukisan Kamasan menjadi jatuh,” ujar wanita kelahiran tahun 1966 ini. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/