DENPASAR – I Wayan Parwanta, 33, tertunduk pasrah saat mendengarkan jaksa penuntut umum (JPU) membacakan tuntutan pidana.
Jaksa penuntut umum (JPU) Assri Susantina meminta majelis hakim yang diketuai IG Putra Atmaja menyatakan pria asal Mengwi, Badung, itu bersalah melakukan tindak pidana perbankan.
Ditegaskan JPU Assri, perbuatan terdakwa yang menyebabkan kerugian pada korbannya sebesar Rp 349 juta lebih telah terbukti melanggar Pasal 49 ayat (1) huruf b UU Nomor 10/1998 tentang Perbankan.
“Menuntut terdakwa terbukti bersalah tindak pidana perbankan. Meminta majelis hakim menjatuhkan pidana
penjara selama enam tahun dan denda Rp 10 miliar subsider enam bulan kurungan,” ujar JPU Assri di PN Denpasar baru-baru ini.
Yang menarik, saat ditanya hakim uang digunakan untuk apa, terdakwa dengan enteng menjawab uang dipakai untuk dirinya sendiri.
“Uangnya saya pakai untuk kepentingan pribadi. Perbulan (korban) menyetor Rp 9 juta. Uangnya tidak pernah saya setor ke bank,” ujar terdakwa.
Hal yang memberatkan JPU mengajukan tuntutan yakni perbuatan terdakwa membuat kepercayaan masyarakat kepada bank berkurang dan terdakwa tidak ada itikad baik mengembalikan kerugian.
Sedangkan yang meringankan terdakwa bersikap sopan di persidangan, mengakui perbuatannya, dan belum pernah dihukum.
Mendapat tuntutan lumayan tinggi, terdakwa yang lulusan SMA itu bakal mengajukan pledoi atau pembelaan.
“Kami akan mengajukan pledoi tertulis pada sidang selanjutnya, Yang Mulia,” kata Desi Purnani, pengacara terdakwa.
Sementara JPU Assri dalam dakwaannya mengungkapkan, terdakwa terdakwa adalah pegawai bank di PT BPR Udiartha Udiyana yang beralamat di Sempidi, Mengwi, Badung, sejak Oktober 2015.
Terdakwa bertugas sebagai petugas pemasaran kredit, tabungan, dan deposito. “Tugas terdakwa yaitu menarik dan menerima kredit,” jelas JPU.
Nah, masalah muncul ketika saksi yang juga korban atas nama AA Putu Kartika Adi memercayakan pembayaran kredit pada terdakwa.
Korban sebagai nasabah kredit menjadikan jaminan tabungan sebesar Rp 734 juta lebih di tempat terdakwa bekerja.
Sejak Agustus 2015 hingga Juli 2017 terdakwa tidak menyetorkan uang milik korban ke bank. Total sebanyak 33 kali angsuran dengan jumlah sebesar Rp 349 juta uang tidak disetorkan terdakwa ke bank.
Di lain sisi pihak bank tidak melakukan pencatatan. Akibatnya seolah-olah terjadi keterlambatan pembayaran kredit oleh saksi korban.
Selanjutnya atas permintaan terdakwa meminta admin kredit melakukan pemindahan buku atau pendebeten dari rekening tabungan korban yang kata terdakwa sudah mendapat persetujuan dari korban.
Untuk menutupi perbuatannya memberi bukti pembayaran kredit berupa kuitansi pembayaran berupa angsuran kredit yang didapat dari admin kredit.
“Akibat perbuatan terdakwa mengakibatkan berkurangnya saldo korban. Sehingga korban mengalami kerugian sebesar Rp 349 juta lebih,” tukas JPU Assri.