JELANG di penghujung tahun 2020, masyarakat Indonesia terkesiap manakala Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan sejumlah operasi tangkap tangan (OTT) atas dugaan tindak pidana korupsi.
Tak tanggung-tanggung, OTT menyasar oknum pejabat puncak kementerian, pimpinan daerah, dan lainnya.
Jelas hal ini menjadi prestasi penegak hukum namun menjadi naif dan tragis terhadap tumbuh kembangnya budaya korupsi yang terjadi.
Lebih parahnya terjadi di tengah masyarakat Indonesia yang sedang terhimpit dampak global pandemi Covid-19.
Di saat semua kementerian/lembaga dan pemerintah pusat/daerah serentak harus melakukan refocusing anggaran,
untuk upaya-upaya mengantisipasi dampak multidimensi yang timbul akibat pandemi Covid-19, ternyata masih ada saja oknum pejabat publik
yang dengan ketamakannya ingin mengambil keuntungan pribadi dengan bersifat permisif terhadap korupsi di lingkungannya.
Padahal jauh hari sebelumnya Presiden RI telah mengultimatum akan menggigit siapa saja yang bertindak korupsi.
Perilaku permisif terhadap korupsi ini apakah hanya dilakukan oleh oknum di atas atau hanya sedang kebetulan apes sehingga perilaku menyimpangnya diketahui publik melalui aparat penegak hukum?
Bagaimana juga sikap permisif terhadap korupsi dari masyarakat Indonesia secara umum? Sejatinya perilaku permisif terhadap korupsi tidak bisa terbentuk dan terjadi dengan hanya satu individu saja yang bermain,
melainkan adanya keterhubungan beberapa pihak yang bersama-sama ingin berbuat culas demi mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompoknya.
Menyitir pernyataan Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM, banyak yang mengira jika korupsi hanya sebatas pada tindak pidana korupsi yang ada di dalam undang-undang saja,
sehingga tak jarang begitu mendengar kata korupsi maka perhatian langsung tertuju pada bidang hukum dan politik saja.
Sebagian lainnya mungkin langsung tertuju pada beberapa profesi seperti Polisi, KPK, DPR, dan Kepala Daerah.
Masih oleh PUKAT UGM, pengertian korupsi sangatlah luas dengan bibit-bibit korupsi berpotensi tumbuh di mana saja, bahkan di sekitar lingkungan terdekat.
Secara hukum, korupsi disebut sebagai kejahatan tindak pidana yang diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tindak pidana korupsi terbagi menjadi tujuh kategori, yaitu merugikan keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.
Jika dilihat dari faktor timbulnya korupsi, maka bisa bersumber dari faktor internal, yakni adanya dorongan untuk memenuhi kebutuhan namun muncul sifat rakus dan tamak untuk memiliki sesuatu yang lebih.
Selain itu ada faktor eksternal berupa tata tertib atau peraturan yang lemah dimana lingkungan pertemanan/masyarakat yang cenderung sudah biasa dengan perilaku korupsi.
Secara mendasar bangunan permisif terhadap korupsi dapat dilihat dari bangunan persepsi dan perilaku yang ada di tengah-tengah keluarga, komunitas, dan publik secara umum.
Hal ini bisa saja terjadi dan dilakukan oleh masyarakat kecil hingga pejabat tinggi, baik yang ada di pedesaan maupun perkotaan, bahkan dari yang berpendidikan tinggi maupun yang tidak.
Perlu disadari bahwa korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi.
Salah satu akar penyebab berkembangnya praktik korupsi diduga berasal dari rendahnya integritas para pelakunya dan masih kentalnya budaya permisif terhadap tindakan korupsi.
Untuk mengetahui perkembangan perilaku anti korupsi di Indonesia dengan skala kecil, BPS merumuskannya dalam Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK).
Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK)
IPAK menyediakan data dan informasi perilaku korupsi masyarakat melalui dua dimensi yaitu dimensi persepsi dan dimensi pengalaman.
Dimensi persepsi berupa penilaian/pendapat masyarakat terhadap beberapa kebiasaan/perilaku anti korupsi di masyarakat.
Sementara itu, dimensi pengalaman berupa pengalaman anti korupsi yang terjadi di masyarakat. Dimensi persepsi disusun atas tiga subdimensi, yaitu subdimensi keluarga, komunitas, dan publik.
Sementara itu, dimensi pengalaman terdiri atas dua subdimensi, yaitu subdimensi pengalaman mengakses layanan publik dan pengalaman lainnya.
Data IPAK berasal dari hasil Survei Perilaku Anti Korupsi (SPAK) oleh BPS. SPAK mengukur permisivitas masyarakat terhadap perilaku-perilaku korupsi di Indonesia.
SPAK mengukur penilaian, pengetahuan, dan perilaku anti korupsi individu di Indonesia. SPAK mengukur sejauhmana budaya zero tolerance terhadap perilaku korupsi.
Kegiatan SPAK 2020 dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia yang tersebar di 171 kabupaten/kota dan di 34 provinsi.
Hal ini penting bagi pemerintah karena dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024,
dinyatakan bahwa salah satu sasaran nasional yang ingin diwujudkan adalah meningkatnya IPAK menjadi 4,14 pada tahun 2024.
Berdasar rilis data BPS, perilaku antikorupsi masyarakat Indonesia tahun 2020 semakin meningkat. Hal ini ditunjukkan oleh IPAK Indonesia tahun 2020 sebesar 3,84 dengan skala 0 sampai 5.
Angka ini lebih tinggi dibandingkan capaian tahun 2019 sebesar 3,70. Jika nilai IPAK semakin mendekati 5 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin antikorupsi.
Sebaliknya nilai IPAK yang semakin mendekati 0 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin permisif terhadap korupsi.
Perkembangan IPAK cenderung mengalami fluktuasi dari tahun pertama diselenggarakan SPAK sejak 2012 sampai tahun 2020.
Tidak ada fenomena perubahan ekstrim sepanjang periode tersebut dengan IPAK terendah pada tahun 2012 sebesar 3,55 dan tertinggi pada tahun 2020 sebesar 3,84.
Jika ditelaah dimensi dalam IPAK, Indeks Persepsi pada tahun 2020 sebesar 3,68 persen, menurun 0,12 poin dibandingkan Indeks Persepsi tahun 2019.
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat cenderung lebih permisif terhadap perilaku korupsi. Berbeda dengan Indeks Persepsi, Indeks Pengalaman tahun 2020 sebesar 3,91, nilainya naik drastis sebesar 0,26 poin dibanding tahun 2019.
Tersirat peningkatan ini ditunjukkan dengan membaiknya sistem pelayanan publik di Indonesia. Hal ini diduga karena spirit semua kementerian/lembaga,
dan pemerintah pusat/daerah dalam berlomba membangun Zona Integritas (ZI), Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK), dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM).
Dengan adanya perubahan ke arah yang lebih baik atas sistem pelayanan publik maka dimensi pengalaman ini mampu terkerek menjadi cukup tinggi di tahun 2020.
Potret IPAK berdasarkan Wilayah, Pendidikan, dan Umur
Rilis data hasil SPAK 2020 BPS menunjukkan bahwa masyarakat di daerah perkotaan lebih antikorupsi dibandingkan di perdesaan.
Hal ini terlihat dari IPAK masyarakat perkotaan yang selalu lebih tinggi dibanding IPAK di perdesaan. Dilihat dari jarak IPAK keduanya, ada jarak cukup lebar rentang 2012-2019, yaitu berjarak rata-rata 0,27.
Namun demikian jarak indeks tersebut terkikis menjadi hanya 0,06 pada tahun 2020, dimana IPAK masyarakat perkotaan sebesar 3,87, sedangkan di perdesaan sebesar 3,81.
Hal ini mengindikasikan peningkatan perilaku antikorupsi yang cukup pesat pada masyarakat pedesaan dengan kualitas hampir serupa dengan di perkotaan.
Jika ditinjau dari tingkat pendidikannya, semakin tinggi pendidikan seseorang maka IPAK akan semakin tinggi.
Dengan kata lain, tingkat pendidikan mempengaruhi perilaku antikorupsi. Terlihat rentang tahun 2012-2020, IPAK masyarakat berpendidikan di atas SLTA masih paling tinggi sedangkan yang berpendidikan di bawah SLTA paling rendah.
Pada tahun 2020, IPAK yang berpendidikan di bawah SLTA sebesar 3,80, tingkat SLTA sebesar 3,88, dan tingkat di atas SLTA sebesar 3,97.
Namun demikian dalam empat tahun terakhir ada kecenderungan IPAK masyarakat berpendidikan SLTA, dan di atas SLTA sedikit menurun.
Sedangkan IPAK di bawah SLTA naik cukup tinggi meski belum menyalip IPAK yang berpendidikan di atasnya.
Berdasar tinjauan umurnya, pada tahun 2020 masyarakat yang berumur 18-40 tahun paling antikorupsi dibanding kelompok umur 40-59 tahun dan umur 60 tahun atau lebih.
Bisa diindikasikan bahwa di usia 18-40 tahun masih tertanam idealisme yang tinggi dan berangsur-angsur menjadi pragmatis/permisif di usia di atasnya.
Rentang tahun 2012-2019, penduduk berumur 60 tahun atau lebih paling permisif dibanding kelompok umur lainnya.
Namun demikian pada tahun 2020 penduduk berumur 60 tahun ke atas memiliki nilai indeks yang meningkat dan hampir menyamai dengan kedua kelompok umur lainnya.
IPAK 2020 masyarakat berumur 18-40 tahun sebesar 3,85, umur 40-59 tahun sebesar 3,84, dan umur 60 tahun ke atas sebesar 3,82. Spirit antikorupsi diyakini sudah cukup menjalar disemua kelompok umur tersebut.
Potret Umum Permisivitas Masyarakat terhadap Korupsi
Permisivitas terhadap korupsi dapat dilihat lebih jauh dalam rilis data IPAK oleh BPS berdasar subdimensi masing-masing dimensi yang membentuk IPAK.
Hal ini dimaksudkan dengan melihat perilaku individu secara umum dalam lingkup keluarga, komunitas, maupun di publik serta pengalaman individu dalam mengakses layanan publik maupun pengalaman lainnya.
Secara umum pada tahun 2020, gregret antikorupsi masyarakat semakin meningkat dengan ditunjukkannya sisi pengalaman yang semakin antikorupsi,
meski secara persepsi/penilaian masyarakat masih menganggap wajar sejumlah hal yang seharusnya hal itu merupakan perilaku korupsi.
Dalam lingkup keluarga, masyarakat Indonesia semakin permisif terhadap korupsi. Hal ini terlihat dari beberapa indikator seperti sikap istri (21,45 persen)
yang menganggap wajar manakala suaminya menerima uang tambahan di luar gaji yang diterimanya, tanpa mempertanyakan asal usul uangnya.
Persentase tersebut meningkat drastis dibanding perilaku yang sama tahun 2019 (hanya 1,06 persen).
Perilaku lainnya seperti seorang ASN (12,96 persen) menganggap wajar atas penggunaan kendaraan dinas untuk keperluan keluarga.
Masih ada juga orang tua (7,27 persen) menganggap wajar untuk mengajak anaknya dalam kampanye Pilkada/Pemilu demi mendapatkan uang lebih banyak.
Ada juga perilaku individu (2,46 persen) mengambil uang milik anggota keluarga lain tanpa seizin pemiliknya dianggap sebagai hal yang wajar,
dan ada sebanyak 7,25 persen perilaku individu yang menggunakan barang milik anggota keluarga lain tanpa seizin pemiliknya dianggap sebagai kewajaran.
Semua persentase perilaku di atas pada tahun 2020 mengalami peningkatan yang nyata dibanding tahun 2019.
Peningkatan persentase jawaban wajar ini menunjukkan masyarakat makin permisif terhadap sikap-sikap di atas yang sebenarnya bertentangan dengan pembangunan karakter antikorupsi.
Dalam lingkup komunitas, pada tahun 2020 juga didapatkan bahwa masyarakat semakin permisif terhadap korupsi.
Beberapa indikasi terlihat seperti sikap menganggap wajar sejumlah masyarakat (27,93 persen) memberi uang/barang/fasilitas kepada ketua RT/RW/Klian/Kades/Lurah ketika suatu keluarga melaksanakan hajatan.
Demikian juga pemberian kepada tokoh tertentu yang dianggap wajar (33,76 persen) dalam kasus yang sama.
Indikasi lainnya ada pemberian yang dianggap wajar (20,60 persen) kepada ketua RT/RW/Klian/Kades/ Lurah saat menjelang hari raya keagamaan, dan kepada tokoh tertentu (29,59 persen).
Tercatat indikator-indikaor ini semua meningkat dibanding tahun 2019. Hal ini menunjukkan masyarakat yang semakin permisif terhadap perilaku korupsi.
Sebagaimana di dua lingkup sebelumnya, pada tahun 2020 perilaku masyarakat di lingkup publik juga semakin permisif terhadap korupsi.
Hal ini seiring dengan kenaikan persentase persepsi kewajaran di semua indikator dibandingkan tahun 2019.
Hal ini tampak seperti menganggap wajar atas sikap memberi uang/barang/fasilitas dalam proses penerimaan menjadi ASN/pegawai swasta (4,30 persen),
sikap memberi uang/barang/fasilitas kepada petugas untuk mempercepat urusan administrasi kependudukan seperti KTP, KK, SKTM, dan lain-lain (18,37 persen),
sikap memberi uang/barang/ fasilitas kepada penegak hukum untuk mempercepat pengurusan SIM, STNK, SKCK, dan lain-lain (15,76 persen).
Perilaku lainnya yang menganggap hal yang wajar dan menunjukkan perilaku permisif terhadap korupsi adalah sikap pelanggar lalu lintas yang memberi uang damai kepada polisi (9,51 persen),
sikap petugas KUA meminta uang tambahan untuk transport ke tempat acara akad nikah (13,76 persen), sikap guru mendapat jaminan (jatah) anaknya diterima masuk sekolah
tempat dia mengajar (16,76 persen), sikap pihak sekolah (guru/ kepala sekolah/komite sekolah) meminta uang/barang/fasilitas dari orang tua murid
ketika kenaikan kelas/penerimaan rapor (9,12 persen), sikap memberi uang/barang/ fasilitas kepada pihak sekolah agar anaknya dapat diterima di sekolah tersebut (3,80 persen),
sikap peserta Pilkades/Pilkada/Pemilu membagikan uang/barang/fasilitas ke calon pemilih (13,82 persen), dan sikap menerima pembagian uang/barang/fasilitas pada Pilkades/Pilkada/Pemilu (19,78 persen).
Dari sisi pengalaman individu dalam mengakses layanan publik maupun pengalaman lainnya, pada tahun 2020 nilainya meningkat cukup tinggi dibanding tahun 2019.
Meskipun perilaku antikorupsi masyarakat membaik dalam dimensi ini, tetapi masih ada masyarakat yang membayar melebihi ketentuan saat mengakses layanan publik.
Persentase kelompok ini hanya sebesar 16,79 persen dari seluruh masyarakat yang mengakses layanan publik.
Sementara itu untuk pelaku usaha yang mengakses pelayanan publik dan membayar lebih hanya sebesar 19,97 persen.
Hasil di atas menunjukkan bahwa meski terjadi perbaikan namun masih ada peluang terjadinya pelanggaran ketika masyarakat mengakses layanan publik.
Berbagai perilaku pelanggaran yang semestinya tidak terjadi, dimungkinkan karena adanya ketidaksesuaian antara permintaan dan pelayanan yang diberikan dan tentunya banyak hal lainnya.
Untuk itu, diperlukan peningkatan penyebaran informasi antikorupsi secara langsung kepada tokoh masyarakat dan agama, pemerintah (K/L), organisasi kemasyarakatan (ormas), asosiasi profesi, dan lain sebagainya.
Diperlukan gerakan bersama dan serentak semua unsur untuk dapat menghindar dari sikap permisif terhadap korupsi hingga zero tolerance.
Hal demikian agar Indonesia bisa menjadi negara maju dalam sudut pandang antikorupsi dan mendekat sejajar dengan negara antikorupsi di Asia seperti Korea Selatan, Jepang, dan Singapura bahkan skala dunia seperti Jerman, Denmark, dan Swiss. (*)
Suprapto SSi MSi
Penulis adalah Statistisi Muda di BPS Kabupaten Jembrana