29.4 C
Jakarta
13 Juli 2025, 7:57 AM WIB

Gandeng Pemangku Desa Adat,Dimanfaatkan Untuk Bersihkan Sarana Upakara

Dinas Lingkungan Hidup Buleleng punya cara sendiri mengenalkan pemanfaatan cairan eco enzyme. Cairan itu digunakan untuk membersihkan sarana upakara yang selama ini digunakan para rohaniawan.

 

EKA PRASETYA, Singaraja

HALAMAN Sekretariat Desa Adat Buleleng, Rabu (30/12) pagi terlihat ramai. Sejumlah pemangku dan juru banten mendatangi sekretariat desa adat.

Mereka hendak membersihkan sarana upakara yang selama ini sudah terlihat berkarat. Puluhan alat upakara pun dibiarkan berderet di atas meja.

Berbagai jenis peralatan upakara dibawa. Seperti genta, bokoran, maupun sangku atau wadah tirta. Sebagian besar alat-alat itu sudah terlihat kotor dan tua. Ada yang terbuat dari kuningan, ada pula yang terbuat dari perak.

Pagi itu Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Buleleng tengah mendemonstrasikan pemanfaatan cairan eco enzyme.

Cairan itu disebut-sebut sebagai cairan pembersih alami yang terbuat dari fermentasi sampah buah-buahan maupun sayur mayur. Ada 6 liter cairan eco enzyme yang dibawa.

Cairan itu kemudian disemprotkan pada alat-alat upakara menggunakan alat semprot. Peralatan upakara itu kemudian digosok menggunakan sikat.

Peralatan upakara yang tadinya terlihat kusam dan tua, terlihat lebih mengkilat. Bahkan beberapa peralatan terlihat seperti baru.

Salah seorang pemangku, Jro Gede Subagia dibuat terkejut dengan keampuhan cairan tersebut. Ia tak menyangka cairan itu akan membuat bokor, genta, serta sangku miliknya terlihat mengkilat.

Selama ini alat-alat upakaranya dibiarkan kusam. Ia enggan membawa ke tukang sepuh peralatan upakara, karena biayanya relatif mahal.

“Saya sudah buktikan. Peralatan upakara saya yang tadi kusam, sekarang sudah mengkilat lagi. Seperti habis disepuh. Nanti di rumah, saya akan buat cairan ini. Minimal untuk membersihkan alat-alat upakara,” kata Subagia.

Kelian Desa Adat Buleleng Nyoman Sutrisna mengungkapkan, selama ini pihaknya sudah membuat eco enzyme secara mandiri.

Cairan yang ia buat tadinya digunakan untuk keperluan pribadi. Seperti memupuk tanaman, menjernihkan air, serta mencuci piring.

Saat mendapat informasi eco enzyme juga dapat digunakan untuk membersihkan peralatan upakara, ia pun berminat mencobanya.

“Tadi teman-teman di desa adat sudah lihat sendiri manfaatnya seperti apa. Disemprotkan sedikit saja sudah terlihat bagus.

Setelah melihat langsung, kami harap jro mangku dan jro serati juga mau membuat sendiri di rumah. Kemudian dikenalkan ke masyarakat lain,” kata Sutrisna.

Sementara itu, Kepala DLH Buleleng Putu Ariadi Pribadi mengungkapkan, teknologi eco enzyme ini mulai dikenalkan sejak awal tahun 2020.

Sampah itu dapat dibuat dari sampah-sampah yang timbul dari dapur. Seperti sayur mayur maupun buah-buahan.

Sampah itu kemudian dicampur dengan molase dan air, dengan takaran 1:3:10. Dalam artian 1 kilogram molase, dicampur dengan 3 kilogram sampah, serta 10 liter air.

Ariadi menuturkan awalnya pemanfaatan eco enzyme masih terbatas. Yakni digunakan untuk pupuk cair maupun pestisida alami. Selain itu baru-baru ini eco enzyme juga digunakan untuk menjernihkan Tukad Buleleng.

“Kami berusaha memperluas pemanfaatannya di masyarakat. Seperti mengepel, mencuci piring, termasuk sekarang untuk membersihkan peralatan upakara.

Biar masyarakat benar-benar merasakan dampak dari eco enzyme ini. Setelah merasakan dampaknya, kami berharap masyarakat juga mau membuatnya. Sehingga bisa mengurangi timbulan sampah di rumah tangga,” kata Ariadi. (*)

Dinas Lingkungan Hidup Buleleng punya cara sendiri mengenalkan pemanfaatan cairan eco enzyme. Cairan itu digunakan untuk membersihkan sarana upakara yang selama ini digunakan para rohaniawan.

 

EKA PRASETYA, Singaraja

HALAMAN Sekretariat Desa Adat Buleleng, Rabu (30/12) pagi terlihat ramai. Sejumlah pemangku dan juru banten mendatangi sekretariat desa adat.

Mereka hendak membersihkan sarana upakara yang selama ini sudah terlihat berkarat. Puluhan alat upakara pun dibiarkan berderet di atas meja.

Berbagai jenis peralatan upakara dibawa. Seperti genta, bokoran, maupun sangku atau wadah tirta. Sebagian besar alat-alat itu sudah terlihat kotor dan tua. Ada yang terbuat dari kuningan, ada pula yang terbuat dari perak.

Pagi itu Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Buleleng tengah mendemonstrasikan pemanfaatan cairan eco enzyme.

Cairan itu disebut-sebut sebagai cairan pembersih alami yang terbuat dari fermentasi sampah buah-buahan maupun sayur mayur. Ada 6 liter cairan eco enzyme yang dibawa.

Cairan itu kemudian disemprotkan pada alat-alat upakara menggunakan alat semprot. Peralatan upakara itu kemudian digosok menggunakan sikat.

Peralatan upakara yang tadinya terlihat kusam dan tua, terlihat lebih mengkilat. Bahkan beberapa peralatan terlihat seperti baru.

Salah seorang pemangku, Jro Gede Subagia dibuat terkejut dengan keampuhan cairan tersebut. Ia tak menyangka cairan itu akan membuat bokor, genta, serta sangku miliknya terlihat mengkilat.

Selama ini alat-alat upakaranya dibiarkan kusam. Ia enggan membawa ke tukang sepuh peralatan upakara, karena biayanya relatif mahal.

“Saya sudah buktikan. Peralatan upakara saya yang tadi kusam, sekarang sudah mengkilat lagi. Seperti habis disepuh. Nanti di rumah, saya akan buat cairan ini. Minimal untuk membersihkan alat-alat upakara,” kata Subagia.

Kelian Desa Adat Buleleng Nyoman Sutrisna mengungkapkan, selama ini pihaknya sudah membuat eco enzyme secara mandiri.

Cairan yang ia buat tadinya digunakan untuk keperluan pribadi. Seperti memupuk tanaman, menjernihkan air, serta mencuci piring.

Saat mendapat informasi eco enzyme juga dapat digunakan untuk membersihkan peralatan upakara, ia pun berminat mencobanya.

“Tadi teman-teman di desa adat sudah lihat sendiri manfaatnya seperti apa. Disemprotkan sedikit saja sudah terlihat bagus.

Setelah melihat langsung, kami harap jro mangku dan jro serati juga mau membuat sendiri di rumah. Kemudian dikenalkan ke masyarakat lain,” kata Sutrisna.

Sementara itu, Kepala DLH Buleleng Putu Ariadi Pribadi mengungkapkan, teknologi eco enzyme ini mulai dikenalkan sejak awal tahun 2020.

Sampah itu dapat dibuat dari sampah-sampah yang timbul dari dapur. Seperti sayur mayur maupun buah-buahan.

Sampah itu kemudian dicampur dengan molase dan air, dengan takaran 1:3:10. Dalam artian 1 kilogram molase, dicampur dengan 3 kilogram sampah, serta 10 liter air.

Ariadi menuturkan awalnya pemanfaatan eco enzyme masih terbatas. Yakni digunakan untuk pupuk cair maupun pestisida alami. Selain itu baru-baru ini eco enzyme juga digunakan untuk menjernihkan Tukad Buleleng.

“Kami berusaha memperluas pemanfaatannya di masyarakat. Seperti mengepel, mencuci piring, termasuk sekarang untuk membersihkan peralatan upakara.

Biar masyarakat benar-benar merasakan dampak dari eco enzyme ini. Setelah merasakan dampaknya, kami berharap masyarakat juga mau membuatnya. Sehingga bisa mengurangi timbulan sampah di rumah tangga,” kata Ariadi. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/