28.1 C
Jakarta
22 November 2024, 20:01 PM WIB

Peninggalan Abad ke-11, Hanya Ditarikan Pada Upacara Tertentu

Dua tarian sakral, yakni Sang Hyang dan Gambuh, ditampilkan dalam rangkaian piodalan di Desa Sidatapa. Tak setiap tahun tari itu ditampilkan. Seperti apa?

 

EKA PRASETYA, Banjar

SUASANA di sekitar Pura Bale Agung Sidatapa, Selasa (25/7) malam lalu, benar-benar riuh. Tak ubahnya seperti pasar malam.

Perhatian masyarakat terpusat pada sebuah arena sederhana di jaba Pura Bale Agung. Malam itu, adalah malam pertama dari rangkaian upacara unen-unen yang digelar setiap tiga tahun sekali.

Upacara ini akan berlangsung selama 42 hari tanpa jeda dan dilangsungkan pada sasih karo. Belum ditemukan secara pasti lontar yang mencantumkan upacara ini.

Meski demikian, masyarakat di Desa Sidatapa yang notabene salah satu Desa Bali Aga di Kecamatan Banjar itu, sudah melangsungkannya secara turun temurun.

Tak diketahui secara pasti, sejak kapan tradisi ini dilangsungkan di Desa Sidatapa. Dari cerita turun temurun, tradisi ini sudah muncul pada abad ke-11 atau sekitar tahun 1200-an.

Konon upacara ini merupakan pra taksu dari Ida Panembahan Saking Gunung Raung yang di-sungsung warga setempat.

Ida Panembahan juga di-stana­-kan pada sebuah pelinggih di jaba Pura Bale Agung Sidatapa. Upacara unen-unen itu pun biasanya selalu bersamaan dengan piodalan pelinggih Ida Panembahan.

Upacara juga nyaris tidak pernah dilaksanakan. Kalau toh tak dilaksanakan, hanya karena ada halangan di desa pakraman.

Kelian Desa Pakraman Sidatapa, Putu Kasma menuturkan, setiap kali upacara unen-unen digelar, maka dua kesenian sudah pasti dipentaskan.

Keduanya adalah Tari Gandrung dan Tari Sang Hyang. Tari Gandrung akan dibawakan selama 42 hari penuh dalam rangkaian upacara unen-unen, sementara Tari Sang Hyang hanya dibawakan pada triwara beteng dan kajeng.

“Sejak kapan mulai seperti ini, terus terang kami kurang tahu karena belum ada catatan tertulis pada lontar yang kami temukan. Tapi dari cerita leluhur kami, Tari Sang Hyang sudah ada sejak awal desa ini berdiri. Kalau upacara unen-unen itu sekitar tahun 1200-an. Setiap kali unen-unen diselenggarakan, wajib ada Gandrung dan Sang Hyang,” kata Kasma.

Biasanya Tari Gandrung akan dipentaskan lebih dulu. Seperti Tari Gandrung pada umumnya, tarian ini dibawakan oleh penari pria.

Di Desa Sidatapa, usia penari tak lebih dari 15 tahun dan jumlahnya hanya dua orang. Penari ini akan ditunjuk oleh tokoh-tokoh desa, dan dilatih secara khusus setidaknya sepekan sebelum pementasan.

Setelah ditunjuk mereka wajib menjalani ritual pelukatan karena akan membawakan tari sakral. Pada hari yang telah ditentukan, pemuda yang telah ditunjuk harus siap menari.

Mereka akan melakukan tarian yang mirip dengan joged. Hanya saja gerakannya lebih sederhana dan lebih banyak gerakan memutar.

Pakaiannya pun sangat-sangat sederhana dan lebih menekankan pada busana warna putih. Para penari akan terus menari, setidaknya selama satu jam penuh.

Ketika Tari Gandrung dibawakan, sejumlah warga “terpilih” pun akan bangkit dari duduknya karena kerauhan. Mereka akan menjadi pengibing dari penari gandrung.

Konon mereka dirasuki oleh tapakan dari Ida Panembahan. Setelah warga yang kerasukan mengibing, baru warga lain boleh ikut ngibing. Sebagian besar pengibing-nya pun laki-laki.

Usai Tari Gandrung, giliran Tari Sang Hyang yang dipentaskan. Tari ini akan dibawakan dua orang perempuan yang usianya juga tak lebih dari 15 tahun.

Mereka juga dipilih langsung oleh tokoh-tokoh adat di desa. Bedanya, penari yang menarikan Sang Hyang harus melakoni serangkaian ritual yang lebih panjang. Mereka wajib menjalani ritual pedudusan.

Saat ritual ini berjalan, para pengulu desa akan menyanyikan sebuah kidung pedudusan. Baik penari Gandrung maupun Sang Hyang, mereka hanya mendapatkan kesempatan membawakan tarian itu sekali seumur hidupnya.

Saat Tari Sang Hyang dibawakan, para penari juga akan dikeliling oleh para pengibing wanita yang kerasukan.

Penari Sang Hyang akan terus menari, mengikuti iringan gending tabuh yang dibawakan sekaa gong. Biasanya mereka akan menari dalam tempo waktu selama 30 menit.

Gerakannya pun terbilang sederhana dan lebih menekankan pada gerakan kaki. Tari Sang Hyang pun tak bisa ditarikan sembarangan.

“Hanya ada dua upacara yang boleh menampilkan Tari Sang Hyang. Upacara unen-unen yang sekarang ini berlangsung, dan upacara ngerasakin. Kalau upacara ngerasakin itu semacam maturan di kebun dengan sarana babi guling yang di-puput balian desa,” jelas Kasma.

Lebih lanjut Kasma menjelaskan, dulunya upacara ini dilangsungkan selama setahun sekali. Tetapi biaya yang dikeluarkan oleh desa adat setiap kali melangsungkan upacara begitu besar.

Warga juga wajib melakukan pecaruan ketika unen-unen digelar. Konon, kata Kasma, upacara unen-unen pernah tak digelar. Dampaknya terjadi marabahaya di desa.

Warga terserang wabah penyakit, atau suasana di desa menjadi mencekam karena banyak keributan. Setelah melalui rembug desa adat dan memohon petunjuk niskala, akhirnya upacara ini diselenggarakan setiap tiga tahun sekali.

“Tujuan upacaranya tetap sama. Memohon keselamatan dan keajegan bagi desa. Apabila tidak dilakukan, kami yakin itu menyebabkan bencana dan wabah penyakit di desa,” tandas Putu Kasma. 

Dua tarian sakral, yakni Sang Hyang dan Gambuh, ditampilkan dalam rangkaian piodalan di Desa Sidatapa. Tak setiap tahun tari itu ditampilkan. Seperti apa?

 

EKA PRASETYA, Banjar

SUASANA di sekitar Pura Bale Agung Sidatapa, Selasa (25/7) malam lalu, benar-benar riuh. Tak ubahnya seperti pasar malam.

Perhatian masyarakat terpusat pada sebuah arena sederhana di jaba Pura Bale Agung. Malam itu, adalah malam pertama dari rangkaian upacara unen-unen yang digelar setiap tiga tahun sekali.

Upacara ini akan berlangsung selama 42 hari tanpa jeda dan dilangsungkan pada sasih karo. Belum ditemukan secara pasti lontar yang mencantumkan upacara ini.

Meski demikian, masyarakat di Desa Sidatapa yang notabene salah satu Desa Bali Aga di Kecamatan Banjar itu, sudah melangsungkannya secara turun temurun.

Tak diketahui secara pasti, sejak kapan tradisi ini dilangsungkan di Desa Sidatapa. Dari cerita turun temurun, tradisi ini sudah muncul pada abad ke-11 atau sekitar tahun 1200-an.

Konon upacara ini merupakan pra taksu dari Ida Panembahan Saking Gunung Raung yang di-sungsung warga setempat.

Ida Panembahan juga di-stana­-kan pada sebuah pelinggih di jaba Pura Bale Agung Sidatapa. Upacara unen-unen itu pun biasanya selalu bersamaan dengan piodalan pelinggih Ida Panembahan.

Upacara juga nyaris tidak pernah dilaksanakan. Kalau toh tak dilaksanakan, hanya karena ada halangan di desa pakraman.

Kelian Desa Pakraman Sidatapa, Putu Kasma menuturkan, setiap kali upacara unen-unen digelar, maka dua kesenian sudah pasti dipentaskan.

Keduanya adalah Tari Gandrung dan Tari Sang Hyang. Tari Gandrung akan dibawakan selama 42 hari penuh dalam rangkaian upacara unen-unen, sementara Tari Sang Hyang hanya dibawakan pada triwara beteng dan kajeng.

“Sejak kapan mulai seperti ini, terus terang kami kurang tahu karena belum ada catatan tertulis pada lontar yang kami temukan. Tapi dari cerita leluhur kami, Tari Sang Hyang sudah ada sejak awal desa ini berdiri. Kalau upacara unen-unen itu sekitar tahun 1200-an. Setiap kali unen-unen diselenggarakan, wajib ada Gandrung dan Sang Hyang,” kata Kasma.

Biasanya Tari Gandrung akan dipentaskan lebih dulu. Seperti Tari Gandrung pada umumnya, tarian ini dibawakan oleh penari pria.

Di Desa Sidatapa, usia penari tak lebih dari 15 tahun dan jumlahnya hanya dua orang. Penari ini akan ditunjuk oleh tokoh-tokoh desa, dan dilatih secara khusus setidaknya sepekan sebelum pementasan.

Setelah ditunjuk mereka wajib menjalani ritual pelukatan karena akan membawakan tari sakral. Pada hari yang telah ditentukan, pemuda yang telah ditunjuk harus siap menari.

Mereka akan melakukan tarian yang mirip dengan joged. Hanya saja gerakannya lebih sederhana dan lebih banyak gerakan memutar.

Pakaiannya pun sangat-sangat sederhana dan lebih menekankan pada busana warna putih. Para penari akan terus menari, setidaknya selama satu jam penuh.

Ketika Tari Gandrung dibawakan, sejumlah warga “terpilih” pun akan bangkit dari duduknya karena kerauhan. Mereka akan menjadi pengibing dari penari gandrung.

Konon mereka dirasuki oleh tapakan dari Ida Panembahan. Setelah warga yang kerasukan mengibing, baru warga lain boleh ikut ngibing. Sebagian besar pengibing-nya pun laki-laki.

Usai Tari Gandrung, giliran Tari Sang Hyang yang dipentaskan. Tari ini akan dibawakan dua orang perempuan yang usianya juga tak lebih dari 15 tahun.

Mereka juga dipilih langsung oleh tokoh-tokoh adat di desa. Bedanya, penari yang menarikan Sang Hyang harus melakoni serangkaian ritual yang lebih panjang. Mereka wajib menjalani ritual pedudusan.

Saat ritual ini berjalan, para pengulu desa akan menyanyikan sebuah kidung pedudusan. Baik penari Gandrung maupun Sang Hyang, mereka hanya mendapatkan kesempatan membawakan tarian itu sekali seumur hidupnya.

Saat Tari Sang Hyang dibawakan, para penari juga akan dikeliling oleh para pengibing wanita yang kerasukan.

Penari Sang Hyang akan terus menari, mengikuti iringan gending tabuh yang dibawakan sekaa gong. Biasanya mereka akan menari dalam tempo waktu selama 30 menit.

Gerakannya pun terbilang sederhana dan lebih menekankan pada gerakan kaki. Tari Sang Hyang pun tak bisa ditarikan sembarangan.

“Hanya ada dua upacara yang boleh menampilkan Tari Sang Hyang. Upacara unen-unen yang sekarang ini berlangsung, dan upacara ngerasakin. Kalau upacara ngerasakin itu semacam maturan di kebun dengan sarana babi guling yang di-puput balian desa,” jelas Kasma.

Lebih lanjut Kasma menjelaskan, dulunya upacara ini dilangsungkan selama setahun sekali. Tetapi biaya yang dikeluarkan oleh desa adat setiap kali melangsungkan upacara begitu besar.

Warga juga wajib melakukan pecaruan ketika unen-unen digelar. Konon, kata Kasma, upacara unen-unen pernah tak digelar. Dampaknya terjadi marabahaya di desa.

Warga terserang wabah penyakit, atau suasana di desa menjadi mencekam karena banyak keributan. Setelah melalui rembug desa adat dan memohon petunjuk niskala, akhirnya upacara ini diselenggarakan setiap tiga tahun sekali.

“Tujuan upacaranya tetap sama. Memohon keselamatan dan keajegan bagi desa. Apabila tidak dilakukan, kami yakin itu menyebabkan bencana dan wabah penyakit di desa,” tandas Putu Kasma. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/