DENPASAR– Setelah hampir dua bulan menggelar sidang pembuktian secara maraton sepekan dua kali, sidang dugaan suap DID Tabanan tahun 2018 selangkah lagi memasuki babak tuntutan.
Pekan depan tepatnya tanggal 11 Agustus 2022, jaksa penuntut umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan membacakan tuntutan untuk terdakwa Ni Putu Eka Wiryastuti dan Dewa Nyoman Wiratmaja.
Diwawancarai usai sidang dengan agenda keterangan saksi ahli Kamis (4/8), Eka mengaku hanya bisa pasrah menjelang tuntutan. “Saya berdoa saja, saya ikhlas. Apapun itu saya siap, karena niat saya baik dan tulus untuk mengabdi. Semua saya serahkan pada yang di atas (Tuhan),” ujar mantan Bupati Tabanan dua periode itu.
Eka masih bersikeras bahwa dirinya tidak bersalah dan tidak tahu menahu perihal dugaan suap DID. Katanya, selama ini dirinya hanya menjalankan tugas dan tanggungjawab sebagai Bupati Tabanan. “Sekarang kami tinggal menunggu keputusan dari hakim, mudah-mudahan keadilan ada untuk saya,” harap ibu satu anak itu.
Setelah mendengar keterangan saksi ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta, Prof Mudzakkir, Eka mengaku mulai sedikit mengerti tentang hukum.
Di antaranya dakwaan yang disusun JPU harus sesuai bukti. “Artinya harus melihat duduk permasalahannya, jangan dicampur aduk seperti itu,” ucap putri Ketua DPRD Bali itu.
Eka menegaskan, dirinya hanya memberi perintah pada terdakwa Dewa Wiratmaja untuk melakukan koordinasi dan urun rembuk. Jika perintah koordinasi itu digunakan untuk hal yang lain itu di luar kewenangannya. “Kalau ada calo yang mendekati dia (Dewa Wiratmaja) itu bukan kewenangan saya. Perintah saya hanya koordinasi,” tukasnya.
Ditanya tentang uang yang dikasih Dewa Wiratmaja kepada Yaya Purnomo dan Rifa Surya sebagaimana dalam dakwaan jaksa, Eka menyatakan tidak tahu menahu. Ia hanya tahu DID otomatis didapat dan tidak perlu proposal asal daerah yang bersangkutan sudah memenuhi kriteria.
Ia lantas menyinggung tidak hanya Kabupaten Tabanan saja yang mendapat DID. Selain Tabanan yang mendapatkan DID Rp 51 miliar, Kabupaten Buleleng juga mendapat DID Rp 50 miliar. “Cuma Buleleng tidak ada yang naksir, Tabanan banyak yang naksir. Harusnya mantulnya (penyidikan KPK) ke Buleleng,” ucapnya lantas tertawa lepas.
Sementara itu, Prof Muzakkir sebagai saksi ahli dalam keterangnnya mengungkapkan, norma hukum yang terkandung dalam Pasal 55 ayat 1 ke-1 terkait subyek hukum dibagi menjadi empat.
Yang pertama adalah pelaku sebagai eksekutor, aktor intelektual, orang yang turut serta atau bersama-sama, dan orang yang menganjurkan atau menggerakkan orang lain melakukan kejahatan.
Salah satu pengacara Eka kemudian bertanya, perintah bupati untuk koordinasi sifatnya normatif atau umum, tidak ada perintah khusus DID. “Apakah perintah yang dikeluarkan termasuk delik pidana atau permufakatan jahat?” tanya pengacara Eka.
Mudzakkir mengatakan, permufakatan jahat harus disertai mens rea (niat jahat). Sedangkan perintah itu sendiri parameternya adalah hukum administrasi yang sah, sehingga tidak bisa dimasukkan ke dalam perbuatan pidana.
“Apabila perintah kemudian dijalankan menyimpang, maka kejahatan itu menjadi tanggungjawab yang melakukan kejahatan. Kecuali bupati memerintahkan penyimpangan, itu baru bisa kena,” ujar Mudzakkir. (san)