SINGARAJA – Oknum pegawai kontrak di RSUD Buleleng diduga ikut memainkan proyek pengadaan cetak rekam medis di RSUD Buleleng.
Oknum tersebut bermain agar perusahaan yang ia miliki mendapat proyek dari rumah sakit. Bahkan ada indikasi pemalsuan dokumen yang mencuat dalam proses pengadaan yang dilakukan pada tahun 2016 dan 2017 ini.
Informasi yang dihimpun Jawa Pos Radar Bali menyebutkan, oknum pegawai kontrak tersebut sempat melakukan survei harga untuk pengadaan cetak rekam medis.
Ia ditugaskan menyusun dokumen Harga Perkiraan Sendiri (HPS) untuk pengadaan barang cetak rekam medis.
Tugas itu dilakukan berdasarkan perintah lisan dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) program dana BLUD.
Selanjutnya oknum tersebut melakukan survei harga pada lima perusahaan percetakan di Singaraja dan Denpasar.
Dari lima perusahaan yang disurvey, dua perusahaan yakni PT. TLG dan UD. SG ternyata tidak pernah mendapat surat dari PPK RSUD Buleleng terkait permohonan informasi harga.
Kedua perusahaan menyatakan tidak pernah mengirim surat pada PPK untuk menginformasikan harga.
Anehnya, surat informasi harga dari dua perusahaan itu, dikantongi PPK RSUD Buleleng.
Saat diverifikasi, surat yang dikantongi PPK RSUD Buleleng ternyata berbeda dengan surat resmi yang dikeluarkan PT. TLG dan UD. SG.
Lantaran ada perbedaan kop surat dan nama direktur. Belakangan diketahui pula, satu dari lima perusahaan yang di survei, yakni UD. DH, ternyata milik pegawai kontrak RSUD Buleleng yang bertugas menyusun dokumen HPS.
Dampaknya dokumen HPS atas pengadaan barang cetak rekam medis pada tahun 2016 senilai Rp 1,2 miliar dan pengadaan pada tahun 2017 senilai Rp 779 juta, diragukan kewajarannya.
Proses itu pun berlanjut pada proses pengadaan. Dalam perjalanan, harga penawaran dari UD. DH yang dimiliki oknum pegawai kontrak tersebut, selalu lebih murah dari peserta lain, yakni UD. SG.
Dampaknya UD. DH pun memenangkan penawaran tersebut. Setelah menang, ternyata UD. DH melakukan sub kontraktor pekerjaan pada UD. SG dan percetakan TI, karena UD. DH tak sanggup mengerjakan proyek itu.
Saat ditelisik, ternyata UD. SG tidak pernah membuat dan memberikan dokumen penawaran harga seperti yang tercantum dalam dokumen pertanggungjawaban.
Konon masalah itu telah menjadi temuan BPK RI. Khusus untuk penyusunan dokumen HPS, BPK RI menyatakan penyusunan HPS pengadaan barang cetak rekam medis “belum dapat diyakini kewajarannya”.
Sedangkan untuk proses pengadaan belanja rekam medis, BPK menemukan bahwa belanja cetak rekam medis menjadi lebih mahal sebesar Rp 41,9 juta.
Sehingga UD. DH harus mengembalikan kelebihan bayar senilai Rp 41,9 juta ke kas daerah.
Kepala Inspektorat Buleleng Putu Yasa, yang dikonfirmasi sore kemarin, belum bersedia memberikan penjelasan terkait temuan BPK di RSUD Buleleng. Alasannya, ia tengah berada di Jogjakarta.
“Saya sedang di Jogjakarta, tidak pegang dokumen itu. Besok saya sudah balik. Coba besok ya, biar tidak salah nanti penjelasannya,” kata Yasa