29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 1:16 AM WIB

Rusak Parah, Butuh Waktu 10 Tahun Rehabilitasi Hutan Bali Barat

NEGARA – Kerusakan hutan karena pembalakan liar di kawasan pengelolaan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD)

Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bali Barat, Dinas Kehutanan Provinsi Bali, membutuhkan waktu sekitar 10 tahun untuk mengembalikan hutan kembali rimbun.

Namun, hal itu tergantung dari masyarakat yang diberikan kewenangan mengelola hutan. Menurut Kepala Seksi Perencanaan dan Pemanfaatan UPTD KPH Bali Barat Agus Sugiyanto,

program rehabilitasi hutan yang rusak akibat pembalakan liar dan dialihfungsikan menjadi perkebunan oleh warga membutuhkan waktu sekitar 10 tahun atau bisa kurang dari 10 tahun.

 “Tidak mungkin, tidak sampai diatas 10 tahun sudah bisa jalan. Karena sekarang saja sudah berjalan” ujar Agus Sugiyanto.

Menurutnya, dengan potensi program bersama masyarakat tentu lebih optimis pengamanan dan perlindungan akan lebih bagus.

Karena masyarakat bisa memanfaatkan secara legal. Sekarang justru diberikan pendampingan teknis maupun pendanaan.

Sekarang tergantung masyarakat keseriusannya mengelola hutan dengan menanam pohon, baik pohon buah dan pohon produksi lainnya.

“Kita melihat, program ini kalau dieksekusi dengan baik tentu jelas luar biasa hasilnya. Kalau masyarakat dikasih program maunya merabas hutan saja, kita pidanakan saja,” tegasnya.

Ditanya mengenai kondisi bangunan pos pengamanan hutan pinggir hutan Banjar Kembang Sari, Desa Tukadaya, Kecamatan Melaya yang kondisinya rusak, bangunan tersebut sudah lama rusak.

“Dulu diharapkan menjadi pos pengamanan terpadu bersama masyarakat, tetapi programnya tidak jelas.

Kalau sekarang andaikan ada pos pengamanan terpadu bisa jalan, karena masyarakat diberi kesempatan mengelola hutan,” terangnya.

Kondisi tersebut tidak jauh beda dengan KRPH yang tersebar yang ada di beberapa kecamatan, dari lima KRPH empat di antaranya sudah rusak.

Seperti RPH Pulukan, RPH Yehembang rusak parah dan gabung RPH Tegal Cangkring yang kondisinya juga rusak.

Begitu juga RPH Candikusuma kondisinya tidak jauh beda. “KRPH Sudah diperbaiki RPH Penginuman Melaya,” ungkapnya.

Hutan kawasan Banjar Kembang Sari, Desa Tukadaya, Kecamatan Melaya kondisi hutan sudah tidak seperti hutan, melainkan untuk lahan kebun warga.

Hutan sudah diblok warga yang merasa memilikinya dengan pagar tanaman seperti tanaman gamal untuk pakan ternak. Di lahan yang dipagar terdapat tanaman seperti pisang, bahkan tanaman kunyit.  

Sedangkan kondisi hutan di KPH Bali Barat yang kritis seluas 108 dari luas lahan seluruhnya 38 ribu hektare.

Kawasan hutan kritis tersebar dari Pengragoan hingga Gilimanuk, namun terparah di wilayah Kecamatan Melaya.

Saat ini semua kawasan yang dulu dirambah sudah dijadikan blok pemanfaatan yang bisa dikelola masyarakat untuk ditanami buah-buahan, seperti durian. 

NEGARA – Kerusakan hutan karena pembalakan liar di kawasan pengelolaan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD)

Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bali Barat, Dinas Kehutanan Provinsi Bali, membutuhkan waktu sekitar 10 tahun untuk mengembalikan hutan kembali rimbun.

Namun, hal itu tergantung dari masyarakat yang diberikan kewenangan mengelola hutan. Menurut Kepala Seksi Perencanaan dan Pemanfaatan UPTD KPH Bali Barat Agus Sugiyanto,

program rehabilitasi hutan yang rusak akibat pembalakan liar dan dialihfungsikan menjadi perkebunan oleh warga membutuhkan waktu sekitar 10 tahun atau bisa kurang dari 10 tahun.

 “Tidak mungkin, tidak sampai diatas 10 tahun sudah bisa jalan. Karena sekarang saja sudah berjalan” ujar Agus Sugiyanto.

Menurutnya, dengan potensi program bersama masyarakat tentu lebih optimis pengamanan dan perlindungan akan lebih bagus.

Karena masyarakat bisa memanfaatkan secara legal. Sekarang justru diberikan pendampingan teknis maupun pendanaan.

Sekarang tergantung masyarakat keseriusannya mengelola hutan dengan menanam pohon, baik pohon buah dan pohon produksi lainnya.

“Kita melihat, program ini kalau dieksekusi dengan baik tentu jelas luar biasa hasilnya. Kalau masyarakat dikasih program maunya merabas hutan saja, kita pidanakan saja,” tegasnya.

Ditanya mengenai kondisi bangunan pos pengamanan hutan pinggir hutan Banjar Kembang Sari, Desa Tukadaya, Kecamatan Melaya yang kondisinya rusak, bangunan tersebut sudah lama rusak.

“Dulu diharapkan menjadi pos pengamanan terpadu bersama masyarakat, tetapi programnya tidak jelas.

Kalau sekarang andaikan ada pos pengamanan terpadu bisa jalan, karena masyarakat diberi kesempatan mengelola hutan,” terangnya.

Kondisi tersebut tidak jauh beda dengan KRPH yang tersebar yang ada di beberapa kecamatan, dari lima KRPH empat di antaranya sudah rusak.

Seperti RPH Pulukan, RPH Yehembang rusak parah dan gabung RPH Tegal Cangkring yang kondisinya juga rusak.

Begitu juga RPH Candikusuma kondisinya tidak jauh beda. “KRPH Sudah diperbaiki RPH Penginuman Melaya,” ungkapnya.

Hutan kawasan Banjar Kembang Sari, Desa Tukadaya, Kecamatan Melaya kondisi hutan sudah tidak seperti hutan, melainkan untuk lahan kebun warga.

Hutan sudah diblok warga yang merasa memilikinya dengan pagar tanaman seperti tanaman gamal untuk pakan ternak. Di lahan yang dipagar terdapat tanaman seperti pisang, bahkan tanaman kunyit.  

Sedangkan kondisi hutan di KPH Bali Barat yang kritis seluas 108 dari luas lahan seluruhnya 38 ribu hektare.

Kawasan hutan kritis tersebar dari Pengragoan hingga Gilimanuk, namun terparah di wilayah Kecamatan Melaya.

Saat ini semua kawasan yang dulu dirambah sudah dijadikan blok pemanfaatan yang bisa dikelola masyarakat untuk ditanami buah-buahan, seperti durian. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/