27.2 C
Jakarta
16 September 2024, 0:57 AM WIB

Kemarau Panjang, Warga Selat Krisis Air Bersih Berbulan-bulan

SELAT – Warga di Desa Selat, Kecamatan Sukasada, Buleleng mengeluh. Krisis air bersih yang terjadi di desa tersebut, tak kunjung tertangani.

Selama berbulan-bulan warga kesulitan mengakses air bersih di rumah mereka. Ironisnya hingga kini tak kunjung ada bantuan suplai air bersih yang diberikan pada warga.

Krisis air bersih itu paling banyak dialami oleh warga di Banjar Dinas Bululada, Banjar Dinas Selat, serta Banjar Dinas Gambuh.

Kondisi itu telah dialami sejak bulan Juli lalu hingga kini. Tiga bulan berselang, situasi belum juga membaik.

Selama krisis air bersih, warga terpaksa mencari air bersih di pemandian terdekat. Terutama di Kayehan Duren yang terletak di Banjar Dinas Selat.

Pada hari kerja, biasanya warga mulai mengantre pada pukul 16.00 sore. Antrean itu akan mengular dan biasanya baru tuntas sekitar pukul 23.00 malam.

Bila akhir pekan atau hari libur, antrean sudah mengular sejak pagi hingga pukul 19.00 petang.

Saking seringnya antrean mengular hingga malam hari, warga memasang lampu penerangan secara swadaya.

Salah seorang warga, Wayan Santika mengatakan, tiap hari dirinya selalu mencari air di Kayehan Duren. Dalam sehari ia bisa bolak-balik hingga empat kali.

Sekali mencari air, ia akan membawa empat buah jerigen dengan kapasitas masing-masing 40 liter.

“Ini untuk makan dan minum sehari-hari. Kalau untuk mandi dan cuci, biasanya ke sumber air di Desa Tukadmungga. Belum lagi untuk minum ternak,” ujarnya.

Santika mengaku air bersih sudah lama tak mengalir ke rumah warga. Padahal, ia telah memasang sambungan air bersih yang dikelola PAM desa.

Kondisi tahun ini disebut paling parah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun lalu, ia menyebut air masih mengalir ke rumah warga.

Meski air harus ditampung pada malam hari hingga pagi hari. Warga yang memiliki uang lebih banyak, biasanya membeli air bersih seharga Rp 100 ribu.

Uang sebanyak itu hanya untuk air sebanyak 1.100 liter. “Kalau yang punya uang dan rumahnya di pinggir jalan, bisa saja beli.

Tapi, kalau petani penggarap seperti saya, rumah agak di dalam, mana mampu beli air harga segitu,” imbuhnya.

Hingga kini sebagian besar warga masih mengandalkan air bersih dari sumber air tersebut. Bantuan suplai air bersih dari pemerintah, disebut belum pernah dirasakan warga.

“Belum pernah saya dengar dari pemerintah bawa air ke Selat,” ujar Santika.

 

 

 

 

 

SELAT – Warga di Desa Selat, Kecamatan Sukasada, Buleleng mengeluh. Krisis air bersih yang terjadi di desa tersebut, tak kunjung tertangani.

Selama berbulan-bulan warga kesulitan mengakses air bersih di rumah mereka. Ironisnya hingga kini tak kunjung ada bantuan suplai air bersih yang diberikan pada warga.

Krisis air bersih itu paling banyak dialami oleh warga di Banjar Dinas Bululada, Banjar Dinas Selat, serta Banjar Dinas Gambuh.

Kondisi itu telah dialami sejak bulan Juli lalu hingga kini. Tiga bulan berselang, situasi belum juga membaik.

Selama krisis air bersih, warga terpaksa mencari air bersih di pemandian terdekat. Terutama di Kayehan Duren yang terletak di Banjar Dinas Selat.

Pada hari kerja, biasanya warga mulai mengantre pada pukul 16.00 sore. Antrean itu akan mengular dan biasanya baru tuntas sekitar pukul 23.00 malam.

Bila akhir pekan atau hari libur, antrean sudah mengular sejak pagi hingga pukul 19.00 petang.

Saking seringnya antrean mengular hingga malam hari, warga memasang lampu penerangan secara swadaya.

Salah seorang warga, Wayan Santika mengatakan, tiap hari dirinya selalu mencari air di Kayehan Duren. Dalam sehari ia bisa bolak-balik hingga empat kali.

Sekali mencari air, ia akan membawa empat buah jerigen dengan kapasitas masing-masing 40 liter.

“Ini untuk makan dan minum sehari-hari. Kalau untuk mandi dan cuci, biasanya ke sumber air di Desa Tukadmungga. Belum lagi untuk minum ternak,” ujarnya.

Santika mengaku air bersih sudah lama tak mengalir ke rumah warga. Padahal, ia telah memasang sambungan air bersih yang dikelola PAM desa.

Kondisi tahun ini disebut paling parah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun lalu, ia menyebut air masih mengalir ke rumah warga.

Meski air harus ditampung pada malam hari hingga pagi hari. Warga yang memiliki uang lebih banyak, biasanya membeli air bersih seharga Rp 100 ribu.

Uang sebanyak itu hanya untuk air sebanyak 1.100 liter. “Kalau yang punya uang dan rumahnya di pinggir jalan, bisa saja beli.

Tapi, kalau petani penggarap seperti saya, rumah agak di dalam, mana mampu beli air harga segitu,” imbuhnya.

Hingga kini sebagian besar warga masih mengandalkan air bersih dari sumber air tersebut. Bantuan suplai air bersih dari pemerintah, disebut belum pernah dirasakan warga.

“Belum pernah saya dengar dari pemerintah bawa air ke Selat,” ujar Santika.

 

 

 

 

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/