SINGARAJA – Pemerintah segera menuntaskan proses ganti rugi lahan di jalur shortcut titik 7-10. Sayangnya nilai ganti rugi yang ditawarkan pemerintah, dikeluhkan warga pemilik lahan.
Harga yang ditawarkan dianggap tak layak, bahkan jauh dari nilai pasar. Kemarin Pemprov Bali mengundang warga-warga yang lahannya terdampak proyek shortcut titik 7-10, untuk hadir di Gedung Kesenian Gde Manik.
Tercatat ada 298 orang pemilik lahan yang diundang untuk menerima ganti rugi. Sebanyak 175 orang diantaranya berasal dari Desa Pegayaman, 155 orang berasal dari Desa Gitgit, dan 8 orang lainnya dari Desa Wanagiri.
Awalnya dalam pertemuan tersebut, warga ditawarkan sejumlah opsi. Mulai dari ganti rugi berupa tanah, ganti rugi berupa lahan dan bangunan, atau ganti rugi berupa saham.
Seluruh warga kemudian sepakat meminta ganti rugi dalam bentuk uang. Tim pembebasan lahan kemudian memanggil warga satu persatu dan memberikan nilai ganti rugi dalam amplop tertutup.
Sayangnya banyak warga yang merasa keberatan dengan nominal ganti rugi yang ditawarkan pemerintah. Nilai yang diberikan, jauh lebih kecil dari kebutuhan.
Untuk tanah misalnya, rata-rata diganti seharga Rp 30-33 juta per are. Sementara untuk tanaman diganti dengan nilai beragam.
Sayangnya nilai ganti rugi tanaman, tak termasuk nilai kerugian yang dialami warga. Belum lagi ganti rugi bangunan sanggah yang hanya diberikan Rp 19 juta.
Nilai ganti rugi itu dinilai tak cukup untuk membangun fasilitas sanggah kemulan. Bahkan untuk membeli sarana upakaranya pun tidak cukup.
Salah satu warga yang keberatan adalah Gede Sumedana. Ia memiliki lahan seluas 8,9 are di Banjar Dinas Gitgit, Desa Gitgit.
Lahan miliknya hanya dihargai Rp 33 juta per are. Total Sumedana mendapat tawaran ganti rugi Rp 341,24 juta.
Menurutnya, nilai itu sangat kecil. Sumedana menyebut tanah miliknya kini masih menjadi agunan di Bank Nasional Indonesia (BNI) 46.
Saat itu pihak bank memberikan harga Rp 60 juta. Sehingga total dia mendapat kucuran kredit hingga Rp 300 juta.
“Sekarang uangnya ini habis buat bayar utang itu saja. Saya tidak setuju, karena harganya terlalu murah. Apalagi pemerintah sudah menghilangkan mata pencaharian saya seumur hidup.
Saya rasanya dikalahkan sama pemerintah, mau ngotot juga tidak bisa. Dipaksa menerima,” keluh pria yang bekerja sebagai petani itu.
Sementara itu Ketua Tim Pembebasan Lahan, Komang Wedana tak menampik ada keberatan yang diajukan masyarakat.
Poin keberatan itu pun beragam. Seperti jumlah pendataan tanaman yang dilakukan pemerintah berbeda dengan yang didata oleh konsultan penilai, nilai tanaman produktif, termasuk nilai tanah.
“Kalau tanah hampir semua setuju. Nah kalau tanaman itu argumentasi begini. Warga menganggap cengkih itu seharusnya bukan pohonnya saja yag dihargai.
Tapi hasil panennya juga. Ketika pohon itu ditebang, mereka harus menanam. Paling 5-10 tahun lagi baru bisa panen. Nah waktu menunggu selama 10 tahun ini menurut mereka harus diperhitungkan juga,” kata Wedana.