31.1 C
Jakarta
12 Juni 2025, 19:25 PM WIB

Pak Kapolda Tersesat Mencitrakan Orang Bali

AKSI demonstrasi untuk menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja yang disahkan DPR RI 5 Oktober 2020 lalu memantik demonstrasi di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Tak terkecuali di Bali pada Kamis (8/10). Bahkan, demonstrasi ini berlangsung ricuh di beberapa tempat. Begitu juga di Denpasar, Bali.

Demonstrasi dengan kekuatan massa ribuan itu mengambil start di Kampus Universitas Udayana, Jalan PB Sudirman mulai Pukul 14.00 Wita. Setengah dari jumlah massa long march ke Kantor DPRD Bali di Renon. Dan sebagian lagi bertahan di Jalan Sudirman.

Massa aksi yang mendatangi Kantor DPRD Bali berujung ricuh. Namun, demo ini akhirnya bubar sekitar Pukul 17.00 Wita. Kemudian massa bergabung kembali dengan massa di Jalan Sudirman.

Sekitar Pukul 18.00, massa yang terkonsentrasi di Jalan Sudirman kembali ricuh lantaran dibubarkan polisi. Tembakan gas air mata dilemparkan dan water cannon disemprotkan ke arah massa. Massa membalas dengan lemparan batu. 

Kapolda Bali Irjen Petrus Reinhard Golose tampak memimpin pembubaran massa aksi.  Dua jam antara polisi dan massa saling serang. Sekitar Pukul 20.00 Wita, kericuhan pun mereda. 

Dalam wawancara dengan wartawan setelah kericuhan mereda, Petrus Golose membuat beberapa pernyataan yang mengejutkan. Ia membangun narasi bahwa yang menggelar demonstrasi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di Bali banyak bukan orang Bali. Terlebih melakukan aksi kekerasan juga bukan tipikal orang Bali.

Klaim Petrus Golose ini sontak saja memantik reaksi di kalangan masyarakat. Ada yang membenarkan, banyak pula yang menentang narasi tersebut.

Untuk menjawab pro-kontra atas narasi yang dibangun kepolisian ini I Wayan Widyantara, jurnalis radarbali.id berbincang dengan Dr. Ngurah Suryawan, seorang pengajar di Universitas Warmadewa dan Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari.

Ngurah, demikian biasa ia disapa merupakan lulusan S1 Antropologi dan S2 Kajian Budaya di Universitas Udayana (Unud), dan doktor lulusan Universitas Gajah Mada (UGM).

Ia juga penulis yang sangat produktif. Beberapa tulisannya telah dibukukan. Di antaranya Ladang Hitam di Pulau Dewa: Pembantaian Massal di Bali 1965Genealogi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern: Bara di Bali Utara; Mencari Bali yang Berubah; dan sejumlah buku tentang Papua.

Berikut petikan wawancara dengan Ngurah Suryawan yang berlangsung Jumat (9/10).

Bagaimana Anda melihat narasi Kapolda Bali bahwa yang demo menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di Bali adalah bukan orang Bali?

Ini sesat pikir yang akut dalam melihat jejak politik manusia Bali. Citra manusia Bali yang penurut, harmonis, dan anti-kekerasan adalah konstruksi yang dilekatkan oleh rezim kolonial dan kemudian direproduksi oleh negara ini dalam mencitrakan Bali.

Apakah citra manusia Bali yang dilakukan rezim kolonial dan direproduksi rezim pemerintahan Indonesia ada tujuannya?

Tujuannya adalah agar manusia Bali terlelap tidur dengan citra tersebut. Dampaknya jelas sekali, manusia Bali menjadi apolitis karena memang dibuat demikian. Lebih lagi ketika pariwisata menuntut manusia-manusia penurut demi kestabilan dan kedamaian.

Apa yang salah dari pernyataan Kapolda Bali tersebut?

Pernyataan Pak Kapolda tersesat untuk mencitrakan orang Bali lemah lembut yang diproduksi oleh negara. Pak Kapolda lupa bahwa sejarah politik orang Bali adalah sejarah kekerasan.

Sejarah kekerasan, apa maksudnya?

Pembantaian ’65 yang menimpa orang Bali dan kekerasan atas nama adat dan kebudayaan, dan kekerasan simbolik atas nama razia para migran, menunjukkan cermin dari melekatnya kekerasan dalam kehidupan dan kebudayaan Bali.

Lalu mengapa pola seperti ini sering dilakukan?

Pola ini terbukti ampuh untuk menyingkirkan orang Bali dalam arus perubahan sosial dalam melakukan gerakan yang kritis. Demonstrasi dianggap bukan budaya Bali. Budaya Bali adalah adiluhung, tetapi tanah-tanah Bali perlahan namun pasti menyusut. Caranya dengan cara memisahkan citra tersebut dengan realitas yang nyata terjadi di lapangan.

Apakah yang disampaikan Kapolda berbahaya?

Pernyataan Pak Kapolda banyak bukan orang Bali yang ikut dalam demo berusaha menggiring perpecahan. Ini bukan soal orang Bali, nak Jawa, Batak, Padang, Dayak atau yang lain. Ini soal nasib rakyat Indonesia dengan adanya pemberlakuan UU Cipta Kerja ini.

Seperti apa orang Bali semestinya kalau dilihat dari kaca mata Anda?

Ini cara lama untuk membuat orang Bali dalam zona nyaman, mabuk dengan citra harmoni yang melekat padanya. Sehingga tanpa sadar nanti tersingkir ketika natah dan sumber penghidupannya direbut dengan citra harmonis dan adiluhung tersebut.

Menurut saya saatnya sekarang orang Bali membuka mata dan kritis melihat segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Jangan mau dibodohi dan dibuat mabuk oleh citra tersebut.

AKSI demonstrasi untuk menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja yang disahkan DPR RI 5 Oktober 2020 lalu memantik demonstrasi di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Tak terkecuali di Bali pada Kamis (8/10). Bahkan, demonstrasi ini berlangsung ricuh di beberapa tempat. Begitu juga di Denpasar, Bali.

Demonstrasi dengan kekuatan massa ribuan itu mengambil start di Kampus Universitas Udayana, Jalan PB Sudirman mulai Pukul 14.00 Wita. Setengah dari jumlah massa long march ke Kantor DPRD Bali di Renon. Dan sebagian lagi bertahan di Jalan Sudirman.

Massa aksi yang mendatangi Kantor DPRD Bali berujung ricuh. Namun, demo ini akhirnya bubar sekitar Pukul 17.00 Wita. Kemudian massa bergabung kembali dengan massa di Jalan Sudirman.

Sekitar Pukul 18.00, massa yang terkonsentrasi di Jalan Sudirman kembali ricuh lantaran dibubarkan polisi. Tembakan gas air mata dilemparkan dan water cannon disemprotkan ke arah massa. Massa membalas dengan lemparan batu. 

Kapolda Bali Irjen Petrus Reinhard Golose tampak memimpin pembubaran massa aksi.  Dua jam antara polisi dan massa saling serang. Sekitar Pukul 20.00 Wita, kericuhan pun mereda. 

Dalam wawancara dengan wartawan setelah kericuhan mereda, Petrus Golose membuat beberapa pernyataan yang mengejutkan. Ia membangun narasi bahwa yang menggelar demonstrasi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di Bali banyak bukan orang Bali. Terlebih melakukan aksi kekerasan juga bukan tipikal orang Bali.

Klaim Petrus Golose ini sontak saja memantik reaksi di kalangan masyarakat. Ada yang membenarkan, banyak pula yang menentang narasi tersebut.

Untuk menjawab pro-kontra atas narasi yang dibangun kepolisian ini I Wayan Widyantara, jurnalis radarbali.id berbincang dengan Dr. Ngurah Suryawan, seorang pengajar di Universitas Warmadewa dan Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari.

Ngurah, demikian biasa ia disapa merupakan lulusan S1 Antropologi dan S2 Kajian Budaya di Universitas Udayana (Unud), dan doktor lulusan Universitas Gajah Mada (UGM).

Ia juga penulis yang sangat produktif. Beberapa tulisannya telah dibukukan. Di antaranya Ladang Hitam di Pulau Dewa: Pembantaian Massal di Bali 1965Genealogi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern: Bara di Bali Utara; Mencari Bali yang Berubah; dan sejumlah buku tentang Papua.

Berikut petikan wawancara dengan Ngurah Suryawan yang berlangsung Jumat (9/10).

Bagaimana Anda melihat narasi Kapolda Bali bahwa yang demo menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di Bali adalah bukan orang Bali?

Ini sesat pikir yang akut dalam melihat jejak politik manusia Bali. Citra manusia Bali yang penurut, harmonis, dan anti-kekerasan adalah konstruksi yang dilekatkan oleh rezim kolonial dan kemudian direproduksi oleh negara ini dalam mencitrakan Bali.

Apakah citra manusia Bali yang dilakukan rezim kolonial dan direproduksi rezim pemerintahan Indonesia ada tujuannya?

Tujuannya adalah agar manusia Bali terlelap tidur dengan citra tersebut. Dampaknya jelas sekali, manusia Bali menjadi apolitis karena memang dibuat demikian. Lebih lagi ketika pariwisata menuntut manusia-manusia penurut demi kestabilan dan kedamaian.

Apa yang salah dari pernyataan Kapolda Bali tersebut?

Pernyataan Pak Kapolda tersesat untuk mencitrakan orang Bali lemah lembut yang diproduksi oleh negara. Pak Kapolda lupa bahwa sejarah politik orang Bali adalah sejarah kekerasan.

Sejarah kekerasan, apa maksudnya?

Pembantaian ’65 yang menimpa orang Bali dan kekerasan atas nama adat dan kebudayaan, dan kekerasan simbolik atas nama razia para migran, menunjukkan cermin dari melekatnya kekerasan dalam kehidupan dan kebudayaan Bali.

Lalu mengapa pola seperti ini sering dilakukan?

Pola ini terbukti ampuh untuk menyingkirkan orang Bali dalam arus perubahan sosial dalam melakukan gerakan yang kritis. Demonstrasi dianggap bukan budaya Bali. Budaya Bali adalah adiluhung, tetapi tanah-tanah Bali perlahan namun pasti menyusut. Caranya dengan cara memisahkan citra tersebut dengan realitas yang nyata terjadi di lapangan.

Apakah yang disampaikan Kapolda berbahaya?

Pernyataan Pak Kapolda banyak bukan orang Bali yang ikut dalam demo berusaha menggiring perpecahan. Ini bukan soal orang Bali, nak Jawa, Batak, Padang, Dayak atau yang lain. Ini soal nasib rakyat Indonesia dengan adanya pemberlakuan UU Cipta Kerja ini.

Seperti apa orang Bali semestinya kalau dilihat dari kaca mata Anda?

Ini cara lama untuk membuat orang Bali dalam zona nyaman, mabuk dengan citra harmoni yang melekat padanya. Sehingga tanpa sadar nanti tersingkir ketika natah dan sumber penghidupannya direbut dengan citra harmonis dan adiluhung tersebut.

Menurut saya saatnya sekarang orang Bali membuka mata dan kritis melihat segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Jangan mau dibodohi dan dibuat mabuk oleh citra tersebut.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/