26.2 C
Jakarta
10 Desember 2024, 1:56 AM WIB

Dari Upacara Tawur Panca Walikrama di Pura Payogan Agung Ketewel, Bali

GIANYAR- Desa Adat Ketewel menggelar Tawur Panca Walikrama di Pura Payogan Agung, Desa Ketewel, Kecamatan Sukawati. Upacara besar yang puncaknya pada Jumat (25/3) itu terakhir kali digelar 200 tahun silam. Kali ini, dipersembahkan puluhan ekor hewan mulai dari kebo, kera, menjangan hingga angsa.

 

Bendesa Desa Adat Ketewel, I Wayan Ari Suthama mengatakan upacara tersebut dilaksanakan berdasarkan sastra dresta kuno berupa Raja Purana Pura Payogan Agung. Menurut Raja Purana tersebut, Panca Walikrama sudah pernah digelar 4 kali sejak zaman kerajaan.

 

Pertama kali dilaksanakan pada era pemerintahan Ida Dalem Gelgel pada abad ke-15. Kedua dilanjutkan oleh putra Raja Mengwi bernama I Gusti Agung Maruta pada awal abad ke-17. Ketiga dilaksanakan oleh putra Ida Dalem Sukawati bernama Ida I Dewa Agung Made Karna pada akhir abad ke-17. Keempat dilaksanakan oleh Ida I Dewa Agung Made Batuan dari Puri Peliatan pada abad ke-18. 

 

Setelah itu, sekitar 200 tahun lamanya belum pernah melaksanakan karya agung Panca Walikrama. “Krama Ketewel sepakat mengadakan Panca Walikrama saat ini,” ujar Bendesa Ari Suthama.

 

Rangkaian upacara sesuai dengan isi sastra kuno. Termasuk menggunakan sarana sejumlah hewan. Jumlahnya mencapai puluhan ekor. Di antaranya Kebo Yusmerana, Kebo Anggrekulan, Kebo Klutuk sebanyak 16 ekor, Godel (anak sapi) sebanyak 6 ekor, Bojog Selem (kera hitam) sebanyak 2 ekor, Kambing Bang, Kambing Selem, Kambing Cemangi sebanyak 38 ekor, Celeng Alas, Celeng Butuan, Menjangan, Kidang, Babi, Asu (anjing) Bangbungkem, Itik, Angsa, Ayam dan lainnya.

 

“Pendanaan karya agung bersumber dari pendapatan usaha desa seperti LPD Desa Adat, BUPDA (Badan Usaha Padruen Desa Adat) hasil bertani pelaba pura serta dana punia,” terangnya.

 

Lebih lanjut dikatakan, upacara besar ini bukan saja mendoakan masyarakat Ketewel. “Boye je ngerastitiang krama lan jagat titiang ring Ketewel, sakewanten taler ngerastitiang krama lan jagat sebali, panegara Indonesia, meh-mehan ngrastitiang jagat makasami (Bukan saja mendoakan masyarakat Ketewel, juga mendoakan Bali, Indonesia dan seluruh negara, Red),” ungkapnya.

 

Pihaknya berharap, upacara ini bisa menyelamatkan dunia. “Mangda kadurmanggalan jagat minakadi gering agung Covid-19 prasida kaparipurna mekaon ring jagate (Supaya pandemi Covid-19 bisa pergi dari dunia, Red),” pungkas Ari Suthama.  

GIANYAR- Desa Adat Ketewel menggelar Tawur Panca Walikrama di Pura Payogan Agung, Desa Ketewel, Kecamatan Sukawati. Upacara besar yang puncaknya pada Jumat (25/3) itu terakhir kali digelar 200 tahun silam. Kali ini, dipersembahkan puluhan ekor hewan mulai dari kebo, kera, menjangan hingga angsa.

 

Bendesa Desa Adat Ketewel, I Wayan Ari Suthama mengatakan upacara tersebut dilaksanakan berdasarkan sastra dresta kuno berupa Raja Purana Pura Payogan Agung. Menurut Raja Purana tersebut, Panca Walikrama sudah pernah digelar 4 kali sejak zaman kerajaan.

 

Pertama kali dilaksanakan pada era pemerintahan Ida Dalem Gelgel pada abad ke-15. Kedua dilanjutkan oleh putra Raja Mengwi bernama I Gusti Agung Maruta pada awal abad ke-17. Ketiga dilaksanakan oleh putra Ida Dalem Sukawati bernama Ida I Dewa Agung Made Karna pada akhir abad ke-17. Keempat dilaksanakan oleh Ida I Dewa Agung Made Batuan dari Puri Peliatan pada abad ke-18. 

 

Setelah itu, sekitar 200 tahun lamanya belum pernah melaksanakan karya agung Panca Walikrama. “Krama Ketewel sepakat mengadakan Panca Walikrama saat ini,” ujar Bendesa Ari Suthama.

 

Rangkaian upacara sesuai dengan isi sastra kuno. Termasuk menggunakan sarana sejumlah hewan. Jumlahnya mencapai puluhan ekor. Di antaranya Kebo Yusmerana, Kebo Anggrekulan, Kebo Klutuk sebanyak 16 ekor, Godel (anak sapi) sebanyak 6 ekor, Bojog Selem (kera hitam) sebanyak 2 ekor, Kambing Bang, Kambing Selem, Kambing Cemangi sebanyak 38 ekor, Celeng Alas, Celeng Butuan, Menjangan, Kidang, Babi, Asu (anjing) Bangbungkem, Itik, Angsa, Ayam dan lainnya.

 

“Pendanaan karya agung bersumber dari pendapatan usaha desa seperti LPD Desa Adat, BUPDA (Badan Usaha Padruen Desa Adat) hasil bertani pelaba pura serta dana punia,” terangnya.

 

Lebih lanjut dikatakan, upacara besar ini bukan saja mendoakan masyarakat Ketewel. “Boye je ngerastitiang krama lan jagat titiang ring Ketewel, sakewanten taler ngerastitiang krama lan jagat sebali, panegara Indonesia, meh-mehan ngrastitiang jagat makasami (Bukan saja mendoakan masyarakat Ketewel, juga mendoakan Bali, Indonesia dan seluruh negara, Red),” ungkapnya.

 

Pihaknya berharap, upacara ini bisa menyelamatkan dunia. “Mangda kadurmanggalan jagat minakadi gering agung Covid-19 prasida kaparipurna mekaon ring jagate (Supaya pandemi Covid-19 bisa pergi dari dunia, Red),” pungkas Ari Suthama.  

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/