SINGARAJA– Sejumlah sekolah dasar di Kabupaten Buleleng, terancam overload siswa. Sebab tidak ada sekolah lain yang jadi alternatif siswa dalam proses Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB).
Sejumlah sekolah yang terancam overload adalah SDN 1 Banyuasri dan SDN 1 Baktiseraga. Pada tahun ajaran 2022/2023, SDN 1 Banyuasri berencana menerima 87 orang siswa yang dibagi ke dalam 3 rombongan belajar. Dari 87 kursi itu, sebanyak 67 orang akan diterima lewat jalur zonasi, 13 orang dari jalur afirmasi, dan 4 orang dari jalur mutasi orang tua.
Sementara di SDN 1 Baktiseraga, akan menerima 56 orang siswa. Terdiri dari 45 orang dari jalur zonasi, 8 orang dari jalur afirmasi, dan 3 orang dari perpindahan mutasi orang tua. Puluhan siswa itu akan dibagi ke dalam 2 rombongan belajar.
Kepala SDN 1 Baktiseraga, Putu Ada mengungkapkan, setiap tahun jumlah pelamar di sekolahnya memang melebihi daya tampung. Pada tahun lalu misalnya, ada 78 orang yang mendaftar. Khusus tahun ini, pada hari pertama pendaftaran saja sudah ada 40 orang yang mengajukan lamaran. Padahal pendaftaran masih akan berlangsung hingga Sabtu (25/6) mendatang.
Menurutnya kondisi sekolah memang padat. Sebab sekolah itu merupakan satu-satunya sekolah dasar di Desa Baktiseraga. Mereka harus menerima siswa dari Banjar Dinas Bangkang, Tista, Seraya, dan Galiran. Selain itu beberapa siswa dari Desa Panji dan Kelurahan Banyuasri juga ikut diterima. “Karena hitungan zonasi itu kan jarak dari rumah tinggal ke sekolah terdekat. Seperti yang dari Banyuasri, dia ke SDN 1 Banyuasri jauh, lebih dekat ke kami. Jadi harus kami terima,” jelas Ada saat ditemui kemarin (20/6).
Berkaca dari tahun-tahun sebelumnya, pemerintah selalu memberikan kebijakan khusus pada SDN 1 Baktiseraga. Karena penduduk usia sekolah di wilayah itu cukup banyak. “Tiap tahun ada diskresi dari Dinas Pendidikan. Tahun ini mudah-mudahan tidak melebihi kuota,” katanya.
Sementara itu Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Buleleng I Made Astika mengatakan, PPDB pada tingkat SD akan memberikan prioritas dari sisi usia. Ia mengingatkan agar sekolah langsung menerima siswa yang telah berusia di atas 7 tahun.
Selain itu sekolah juga harus memperhitungkan daya tampung. “Ketika ada anak tidak dapat sekolah, maka kami akan melakukan pemetaan kembali. Bisa saja tetap di sekolah itu, atau ke sekolah lain yang masih ada sisa kuota. Tapi tetap kami perhitungkan jarak terdekat antara rumah orang tua dengan sekolah,” ujar Astika.
Apabila jumlahnya masih cukup banyak, maka pihaknya akan mempertimbangkan menambah rombongan belajar atau menerapkan skema double shift. “Prinsipnya tidak boleh ada anak usia sekolah yang tercecer. Karena pendidikan itu hak dasar mereka,” tegasnya. (eps)