28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 5:59 AM WIB

Distan Buleleng Jamin Porang Petani Diserap Pasar

SINGARAJA – Dinas Pertanian Buleleng berupaya menggandeng pihak ketiga dalam pemasaran komoditas porang. Upaya itu dilakukan agar hasil panen petani benar-benar dapat diserap pasar. Baik itu dalam bentuk katak, atau dalam bentuk umbi.

 

Maklum saja, di Buleleng sejak 2020 lalu terjadi demam porang. Petani ramai-ramai beralih komoditas dengan menanam porang. Dengan harapan petani juga mendapat untung dari hasil budi daya tersebut.

 

Mengacu data Dinas Pertanian Buleleng, hingga kini luas tanam komoditas porang mencapai 252,38 hektare. Sebagian besar di antaranya ada di Kecamatan Gerokgak, dengan areal tanam seluas 55 hektare, disusul Kecamatan Kubutambahan dengan luas lahan 54,47 hektare.

 

Kepala Dinas Pertanian Buleleng I Made Sumiarta mengatakan, saat ini tanaman porang lebih banyak digeluti oleh petani-petani perorangan. Sangat jarang yang terhimpun dalam kelompok.

 

“Mereka biasanya parsial. Terpisah di beberapa lokasi,” kata Sumiarta saat ditemui di ruang kerjanya Selasa kemarin (22/2).

 

Saat ini beberapa petani mulai melakukan panen porang. Hanya saja dalam bentuk umbi. Namun dalam bentuk katak. Biasanya katak porang itu dimanfaatkan kembali sebagai bibit. Harganya pun relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan umbi.

 

Untuk mendapatkan umbi, diperkirakan butuh waktu hingga 4 tahun sejak penanaman pertama. Menurut Sumiarta saat ini Distan Buleleng memilih fokus dengan kerjasama pemasaran. Saat ini sudah ada pihak ketiga yang siap menyerap hasil panen porang. Yakni PT. Siligitha di Desa Banjarasem, kecamatan Seririt.

 

“Mereka sudah sanggup menyerap hasil panen petani. Baik dalam bentuk katak maupun umbi. Kami fokus membenahi pemasaran dulu. Supaya petani benar-benar mendapat hasil dari komoditas yang mereka tanam,” ujarnya.

 

Rencananya mulai tahun 2023 mendatang, pihaknya juga akan melakukan pelatihan pengolahan porang. Sehingga petani merasakan dampak yang lebih besar.

 

“Ketimbang mereka hanya menjual umbi, mungkin harganya lebih murah. Lebih baik diolah. Entah itu jadi tepung, mie, atau bentuk lainnya. Sehingga harganya bisa lebih tinggi,” kata Sumiarta.

 

 

SINGARAJA – Dinas Pertanian Buleleng berupaya menggandeng pihak ketiga dalam pemasaran komoditas porang. Upaya itu dilakukan agar hasil panen petani benar-benar dapat diserap pasar. Baik itu dalam bentuk katak, atau dalam bentuk umbi.

 

Maklum saja, di Buleleng sejak 2020 lalu terjadi demam porang. Petani ramai-ramai beralih komoditas dengan menanam porang. Dengan harapan petani juga mendapat untung dari hasil budi daya tersebut.

 

Mengacu data Dinas Pertanian Buleleng, hingga kini luas tanam komoditas porang mencapai 252,38 hektare. Sebagian besar di antaranya ada di Kecamatan Gerokgak, dengan areal tanam seluas 55 hektare, disusul Kecamatan Kubutambahan dengan luas lahan 54,47 hektare.

 

Kepala Dinas Pertanian Buleleng I Made Sumiarta mengatakan, saat ini tanaman porang lebih banyak digeluti oleh petani-petani perorangan. Sangat jarang yang terhimpun dalam kelompok.

 

“Mereka biasanya parsial. Terpisah di beberapa lokasi,” kata Sumiarta saat ditemui di ruang kerjanya Selasa kemarin (22/2).

 

Saat ini beberapa petani mulai melakukan panen porang. Hanya saja dalam bentuk umbi. Namun dalam bentuk katak. Biasanya katak porang itu dimanfaatkan kembali sebagai bibit. Harganya pun relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan umbi.

 

Untuk mendapatkan umbi, diperkirakan butuh waktu hingga 4 tahun sejak penanaman pertama. Menurut Sumiarta saat ini Distan Buleleng memilih fokus dengan kerjasama pemasaran. Saat ini sudah ada pihak ketiga yang siap menyerap hasil panen porang. Yakni PT. Siligitha di Desa Banjarasem, kecamatan Seririt.

 

“Mereka sudah sanggup menyerap hasil panen petani. Baik dalam bentuk katak maupun umbi. Kami fokus membenahi pemasaran dulu. Supaya petani benar-benar mendapat hasil dari komoditas yang mereka tanam,” ujarnya.

 

Rencananya mulai tahun 2023 mendatang, pihaknya juga akan melakukan pelatihan pengolahan porang. Sehingga petani merasakan dampak yang lebih besar.

 

“Ketimbang mereka hanya menjual umbi, mungkin harganya lebih murah. Lebih baik diolah. Entah itu jadi tepung, mie, atau bentuk lainnya. Sehingga harganya bisa lebih tinggi,” kata Sumiarta.

 

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/