31 C
Jakarta
19 April 2024, 9:54 AM WIB

Pemerintah Adopsi FCTC, Petani Cengkih Buleleng Ketar-Ketir, Terancam…

SINGARAJA – Petani cengkih di Kabupaten Buleleng, rupanya, ikut ketar-ketir dengan langkah pemerintah pusat mengadopsi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Contol/FCTC).

Sikap pemerintah itu diyakini akan membunuh petani cengkih. Sebab sebagian besar hasil panen petani cengkih justru diserap Industri Hasil Tembakau (IHT).

Saat ini hasil panen cengkih memang banyak berkontribusi bagi pertanian di Kabupaten Buleleng. Lahan perkebunan cengkih di Buleleng pun tersebar hampir di seluruh kecamatan.

Komoditas ini menopang perekonomian daerah, mengingat harganya yang cukup mahal. Salah seorang petani cengkih, Putu Ardana menyebut langkah pemerintah mengadopsi aturan dalam FCTC sangat mengkhawatirkan.

Menurutnya, hasil panen petani cengkih justru sebagian besar diserap untuk industri tembakau. Apabila tanaman tembakau di Indonesia harus diganti dengan tanaman lain, otomatis industri tembakau akan mati.

“Logikanya, hasil panen petani cengkih juga tidak akan terserap pasar,” kata Ardana yang berasal dari Desa Munduk itu.

Apabila cengkih di Buleleng tidak memberikan hasil optimal, Ardana meyakini perekonomian di desa-desa akan mandeg.

Hal itu juga berdampak pada perekonomian Buleleng yang akan terguncang. “Contoh saja. Tahun lalu di Munduk nggak ada panen cengkih karena faktor cuaca.

Pasar sepi, perekonomian mandeg. Ini dampaknya sangat buruk bagi kami. Kalau benar aturan itu diadopsi penuh, mungkin akan terjadi transmigrasi besar-besaran,” kata Ardana.

Sekjen Asosiasi Petani Cengkih Indonesia (APCI) Ketut Budiman menyatakan, kekhawatiran itu sangat beralasan.

Budiman menyatakan, 93 persen hasil panen petani cengkih justru diserap oleh industri hasil tembakau. Sisanya digunakan untuk kosmetik dan makanan.

Menurutnya, bila hasil panen cengkih tidak terserap optimal, hal itu akan menimbulkan goncangan pada perekonomian Buleleng.

“Di Buleleng itu luas lahan perkebunan cengkih sekitar 7.000 hektare. Kalau hasil panen itu tidak bisa diserap, bisa ada goncangan yang cukup besar,” kata pria asal Desa Tamblang itu.

Budiman menegaskan, asosiasi sebenarnya tak tinggal diam dengan kondisi itu. Asosiasi berusaha melakukan penelitian dan membuka pasar lain untuk komoditas cengkih.

Hanya saja, serapan hasil panen di sektor non industri tembakau masih sangat minim. 

SINGARAJA – Petani cengkih di Kabupaten Buleleng, rupanya, ikut ketar-ketir dengan langkah pemerintah pusat mengadopsi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Contol/FCTC).

Sikap pemerintah itu diyakini akan membunuh petani cengkih. Sebab sebagian besar hasil panen petani cengkih justru diserap Industri Hasil Tembakau (IHT).

Saat ini hasil panen cengkih memang banyak berkontribusi bagi pertanian di Kabupaten Buleleng. Lahan perkebunan cengkih di Buleleng pun tersebar hampir di seluruh kecamatan.

Komoditas ini menopang perekonomian daerah, mengingat harganya yang cukup mahal. Salah seorang petani cengkih, Putu Ardana menyebut langkah pemerintah mengadopsi aturan dalam FCTC sangat mengkhawatirkan.

Menurutnya, hasil panen petani cengkih justru sebagian besar diserap untuk industri tembakau. Apabila tanaman tembakau di Indonesia harus diganti dengan tanaman lain, otomatis industri tembakau akan mati.

“Logikanya, hasil panen petani cengkih juga tidak akan terserap pasar,” kata Ardana yang berasal dari Desa Munduk itu.

Apabila cengkih di Buleleng tidak memberikan hasil optimal, Ardana meyakini perekonomian di desa-desa akan mandeg.

Hal itu juga berdampak pada perekonomian Buleleng yang akan terguncang. “Contoh saja. Tahun lalu di Munduk nggak ada panen cengkih karena faktor cuaca.

Pasar sepi, perekonomian mandeg. Ini dampaknya sangat buruk bagi kami. Kalau benar aturan itu diadopsi penuh, mungkin akan terjadi transmigrasi besar-besaran,” kata Ardana.

Sekjen Asosiasi Petani Cengkih Indonesia (APCI) Ketut Budiman menyatakan, kekhawatiran itu sangat beralasan.

Budiman menyatakan, 93 persen hasil panen petani cengkih justru diserap oleh industri hasil tembakau. Sisanya digunakan untuk kosmetik dan makanan.

Menurutnya, bila hasil panen cengkih tidak terserap optimal, hal itu akan menimbulkan goncangan pada perekonomian Buleleng.

“Di Buleleng itu luas lahan perkebunan cengkih sekitar 7.000 hektare. Kalau hasil panen itu tidak bisa diserap, bisa ada goncangan yang cukup besar,” kata pria asal Desa Tamblang itu.

Budiman menegaskan, asosiasi sebenarnya tak tinggal diam dengan kondisi itu. Asosiasi berusaha melakukan penelitian dan membuka pasar lain untuk komoditas cengkih.

Hanya saja, serapan hasil panen di sektor non industri tembakau masih sangat minim. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/